Langsung ke konten utama

Riwut Karuhei


Universitas Kristen Duta Wacana
Nama/ NIM                            : Winda Patrika Embun Sari/ 50190056
Program Studi/ Semester      : Magister Teologi/ Gasal 2019-2020
Mata Kuliah/ Tugas              : Teologi, Spiritualitas dan Seni/ Makalah Akhir
(REVISI)


Spiritualitas dalam Lagu Karungut Dayak Kalimantan Tengah:
Riwut Karuhei” (Angin yang Membiuskan)

Pendahuluan
            Ada beragam cara bagi seseorang untuk mengekspresikan perasaannya. Salah satunya adalah melalui lagu. Lirik sebuah lagu kadangkala bersumber dari pengalaman pribadi. Hal ini salah satunya saya lihat dalam lagu Riwut Karuhei. Lagu yang berasal dari Kalimantan Tengah ini menarik untuk diperhatikan lebih dalam, karena di dalamnya terkandung tidak hanya lirik-lirik sebagai karya seni, namun juga sebuah laku spritualitas.
Lirik lagu dan terjemahan:
1.      Mapuiku ikau je manyan garu, mampisik ganan buluh marindu
akam manyundau andi putir busu, mansanan aka aku balingu
(Ku bakar engkau wahai kemenyan, untuk membangunkan roh pengasih
Supaya kau menemui si putri bungsu, beritahu dia saya sudah rindu)
2.      Nguhus ku ikau petak kamalai, balaku ganam tulak manyampai
manyundau andi kaleka melai, hambaruan kue laku habambai
(Kuelus engkau tanah penjinak mohon engkau berangkat pergi
  Menemukan tempat adik ku tinggal, mohon jiwa kami bisa bersatu)
3.      Pahiauku ikau suling lamiang, ganan humbang lingu umba manimang
mandehen petehku riwut je tarawang, maja lewu nupi andi busu pandang
(Kutiup engkau suling bambu, roh bambu rindu turut merayu
 Menguatkan pesanku angin yang terbang, mengunjungi mimpi adikku bungsu sayang)
4.      Hatambeleng tampuh riwut mahalau, manuju andi melai lewu kejau
melai lewu nupi kue hasundau, hambaruan kakam dumah maja ikau
(Bersama pusaran angin yang lewat, ke arah adikku di negeri yang jauh
 Di dunia mimpi kita bertemu, jiwa kakak datang mengunjungimu)
5.      Manjapai ku je sewut talagan adam, mangunci aram tunduk hambaruan
danum satitik asal tamparam, bara kandungan je indu bapam
(Ku keluarkan jurus telaga adam, mengunci namamu tunduk jiwamu
Setetes air asal usulmu, hasil hubungan ibu dan ayahmu)
6.      Hayak bagarak talaga uju, tulak narusan je lawang kuwu
ngarambang sabenget andi putir busu, mangat katawam kakam manggau
(Mengikuti gerakan tujuh telaga, membuka jalan ke kamar pingitan
 Membuat pagar selamat adikku putri bungsu, supaya kaka gampang bertemu)
7.      Lepah injapai auh pantap jela, mampisik ganam riwut suara
Riwut Karuhei babala maja, manggaduh berengmu intan garinda
(Semua keluar jurus bicara, membangunkan roh angin suara
 Angin membiuskan datang berkunjung, mengurus dirimu intan permata)
8.      Hayal paniruhmu busu andi, malis mamangkut gaguling hai
hambaruan kakam dumah manggapi, sambewa dengam melai lewu nupi
(Nyenyak tidurmu adikku sayang, senyap memeluk guling besar
 Jiwa kaka datang menghampiri, bersama denganmu di dunia mimpi)
9.      Kue sambewa hamalem jituh, kasih dan sayang jadi bagaduh
hining bujur buah kakam hamauh, ela huangmu batindar akan uluh
(Kita bersama malam ini, kasih sayang saling mengurus
 Dengan baik-baik kaka bicara, supaya keinginanmu jangan beralih ke orang lain)
10.  Jite petehku puna bahimat, melai pikiram ikau mancatat
leket badehen andi maingat, atei huang kue hinje kambulat
(Itu pesanku sunguh sungguh, tulis itu di otakmu
Supaya melekat adik mengingat, hati dan pikiran kita bersatu)
11.  Sampai tuh helu kakam basuara, nyandehan huangmu intan garinda
sadar barendeng pikiram barima, halajur bingat kakam jagau linga.
(Sampai disini dahulu kaka bicara, sementara keinginan intan permata
Sadar berpikir, selalu mengingat kaka yang perkasa)

Secara singkat, lagu ini mengisahkan tentang cinta dan kerinduan seorang laki-laki kepada kekasihnya. Seni adalah lagu itu sendiri, makna dari lagu Karungut ini sangatlah dalam. Meskipun laki-laki ini tidak berdoa kepada Tuhan, namun dalam liriknya ia menyampaikan kepada alam dan angin rasa rindu pada kekasihnya tersebut. Terdapat makna cinta dari lagu Karungut ini. Sang penulis lagu menggambarkan betapa cantik dan indah rupa dari kekasihnya tersebut. Ia tidak ingin kehilangan sang kekasih. Saya ingin melihat unsur spritualitas dari lagu tersebut di atas.
Lagu Karungut Riwut Karuhei
Lagu Karungut adalah sebuah kesenian tradisional dari Kalimantan Tengah, Indonesia. Seni ini berupa sastra lisan atau juga bisa disebut pantun yang dilagukan. Karungut merupakan karya yang dijunjung masyarakat Dayak sebagai sastra besar klasik dan merupakan semacam pantun atau gurindam. Pelantun Karungut mengisahkan syair-syair kebajikan dengan meramu bermacam legenda, nasihat, teguran, dan peringatan mengenai kehidupan sehari-hari. Karungut sering dilantunkan pada acara penyambutan tamu yang dihormati. Salah satu ekspresi kegembiraan dan kebahagiaan diungkapkan dalam bentuk Karungut. Terkadang ditemukan perulangan kata pada akhir kalimat, a a a a, atau a b a b, namun terkadang juga tidak. Untuk mengamati cara tutur orang Dayak dalam mengekspresikan perasaan mereka, maka terjemahan kedalam bahasa Indonesia dibuat sebagai mana adanya, kata per kata.
Lagu Karungut adalah salah satu kesenian tradisional yang sangat komunikatif, karena pesan-pesan yang disampaikan berbentuk pantun dalam bahasa daerah Dayak dan mudah dimengerti pendengar dan penontonnya. Karungut diiringi alat musik sape, bisa juga menggunakan band atau organ. Karungut merupakan seni khas Kalimantan Tengah yang mempunyai arti dan makna yang sangat dalam untuk ritual dan untuk menyampaikan segala sesuatu sesuai dengan keperluannya. Dahulu karangut dinyanyikan para ibu untuk menidurkan putra-putrinya. Dewasa ini Karungut dapat ditemui di tempat hajatan perkawinan maupun khitanan, untuk menyambut tamu penting, untuk kampanye pilkada dan lain-lain.
Menurut kepercayaan suku Dayak di Kalimantan Tengah, pada zaman dahulu manusia diturunkan dari langit bersamaan palangka bulau (tetek tatum). Pada waktu berada di bumi, palangka bulau adalah alat untuk menurunkan manusia dari langit ke bumi oleh Ranying Hatalla langit atau dewa para petinggi suku Dayak. Maka dari itulah mulai adanya alunan suara atau tembang-tembang dan sejak itulah Karungut muncul. Bahasa yang digunakan dalam Karungut adalah bahasa Sangiang atau sejenis bahasa Ngaju yang sangat tinggi sastranya digunakan dalam upacara adat dan berkomunikasi dengan roh halus. Dalam kehidupan masyarakat Dayak yang melaksanakan upacara, khususnya upacara adat, keagamaan, perkawinan, dan syukuran selalu di warnai dengan kegiatan kesenian seperti tari Manasai nyanyian Karungut, Karunya, Tandak Mandau, dan Deder Segala kemampuan spiritual, kesaktian dalam bentuk apapun yang telah mereka miliki berasal dari Ranying Hatalla dan selalu bersifat positif, menuju kearah kebaikan.[1]

Bait 1:
Pada bait ini sang pembawa karungut langsung pada keinginannya untuk membakar kemenyan agar wewangian dari kemenyan dapat dikirim bersama angin. Pada bait ini sudah diungkapkan  soal roh. Namanya adalah Bulu Marindu, wewangian dari kemenyan tadi adalah alat untuk membangun roh. Sesungguhnya roh pengasih ini adalah roh yang dipelihara oleh orang Dayak. Roh tersebut dari alam. Kedekatan orang Dayak dengan alam menjadikan mereka selalu mengamati gerak lembut perubahan alam. Akibatnya orang Dayak semakin mampu menyatu dengan alam. Kebersatuan dengan alam, keheningan, menjadikan mereka mampu menyerap getaran alam. Kepekaan menjadi semakin terasah dan perlahan tapi pasti tumbuh dan berkembang kemampuan spiritual dalam dirinya. Itulah mengapa kedekatan mereka dengan alam dipahami bahwa segala sesuatunya adalah pemberian Ranying Hatalla Langit. Segala pemberian dari Ranying Hatalla Langit adalah positif, semacam anugerah bagi mereka.
Bait 2:
Orang Dayak, baik laki-laki maupun perempuan mempunyai perasaan yang halus. Dalam percintaan mereka sangat setia, hingga tidak enggan mengorbankan jiwa raga bagi orang yang dicintai. Mencari tanah penjinak atau tanah yang tidak pernah susut adalah hal yang tidak mudah. Ketika seseorang merelakan diri untuk mencari tanah tersebut maka bisa dikatakan cinta mereka adalah sungguh-sungguh.
Bait 3:
Disebutkan bahwa ia meniup suling lamiang.  Suling bambu di sini bukan sembarang suling namun sudah diberi lamiang. Arti dari Lamiang, lilis, atau merjan ialah sejenis manik-manik kuno yang warnanya abadi tak kan pernah luntur oleh waktu. Fungsi lamiang/lilis/ merjan adalah sebagai penekang hambaruan atau penguat semangat dan keyakinan dalam segala tindakan, bahkan berperan pula sebagai alat pengakuan dan kemantapan berpijak. Apabila seorang tamu yang oleh Suku Dayak telah diterima dengan baik, kemudian dioleskan (saki/palas) dan pada pergelangan tangannya diikatkan lamiang/lilis/merjan kuno, maka hal tersebut menunjukkan bahwa tamu tersebut telah diterima dengan baik bahkan telah menerima penghormatan besar yang setinggi-tingginya. Fungsi lain dari lamiang/lilis/merjan, dapat berfungsi sebagai perhiasan wanita. Lamiang/lilis/merjan dapat pula digunakan untuk membayar hukuman denda pada suatu pelanggaran adat.
Dibunyikan suling lamiang agar angin dapat menyampaikan pesan kepada kekasihnya yang jauh darinya. Bersama dengan angin itu terdapat roh yang semakin menguatkan cinta antara keduanya. Meski tidak bersama saat itu akan tetapi bisa bertemu dulu melalui mimpi dan bersama karena hanya dengan itu dulu kerinduan itu dapat tersampaikan.
Bait 4:
            Masih bicara soal angin. Di bait ini laki-laki ingin sekali bersama dengan kekasihnya tersebut. Seolah berharap jika pusaran angin telah sampai maka mereka berdua dapat bersatu. Peran angin bagi orang Dayak itu sangat penting. Dalam ritual adat juga orang sangat mengandalkan angin untuk menyampaikan pesan. Di samping memang juga kepercayaan nenek moyang pengendali angin itu memang ada. 
Bait 5:
Jurus talagan adam yang diungkapkan dalam bahasa sangiang (ritual) ini memang tidak bisa diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Hambaruan di sini adalah ungkapan untuk jiwa dalam diri kekasihnya.
Bait 6:
Lewat lagu itu mau disampaikan kata-kata yang dinyanyikan telah mengunci jiwa kekasihnya. Gerakan tujuh telaga membawa roh lak-laki dan mendapati kekasih yang jauh, ia berada di kamar pingitan. Terkurung jiwanya di dalam kamar tersebut, roh angin pun mudah menemukannya karena jiwa laki-laki sedang mencari kekasihnya. 
Bait 7:
            Bait ini adalah bait yang paling utama dari lirik lagu karena permintaan kepada angin telah sampai dan singgah kepada kekasihnya. Roh angin itu sudah menyampaikan pesan kerinduan dan bisa dikatakan roh angin ini tidak perlu waktu lama untuk menjumpai kekasih yang disayangi oleh laki-lakinya.
Bait 8:
Laki-laki memuji kekasihnya. Mereka bertemu dalam mimpi. Mengutip Howard L. Rice tentang salah satu contoh pengalaman spiritual yaitu pengalaman audiovisioner dan audivisioner.
Bait 9:
Pesan dari laki-laki, supaya kekasihnya bersama-sama saling berkasih satu sama lain. Roh sudah sampai dan roh angin sudah membiuskan pesan kepada sang kekasih. Ketika telah bersama mereka saling memadu kasih.
Bait 10:
            Bait ini mau menegaskan bahwa pesan yang telah disampaikan tadi harus kekasihnya  ingat dan simpan di dalam pikiran dan hatinya.
Bait 11:
            Bait terakhir merupakan bait penutup. Di mana telah habis segala sesuatu yang mau dikatakan lewat lagu ini. Terdapat pesan untuk kekasihnya bahwa laki-laki dalam lagu ini hanya dialah satu-satunya yang paling tampan dan gagah.

Spiritualitas dalam Lagu Riwut Karuhei
a.    Ajaran Spritualitas oleh Howard L. Rice
            Di dalam lirik lagu ini ada spritualitas yang sangat kuat disampaikan. Howard L. Rice menjelaskan soal spiritualitas secara jelas dalam bukunya Reformed Spirituality.
Dalam buku Howard L. Rice dijelaskan bahwa spiritualitas dimulai dari kesalehan (piety). Ini sebenarnya bermula dari penekanan Yohanes Calvin yang mengungkapkan bahwa mengambil waktu pribadi dan berdoa dengan Tuhan adalah perlu. Metode yang digunakan oleh Yohanes Calvin adalah membaca Alkitab secara meditatif. Metode yang hampir sama dengan metode Benediktus yaitu lectio divina. Manusia dapat menemukan pengampunan dan petunjuk dari Tuhan ketika berdoa secara pribadi. Prinsip dasarnya adalah Allah sebagai pribadi yang menciptakan manusia sebagai mahluk yang spritual. Manusia membutuhkan Allah, terus menerus berjuang untuk mengalami pertumbuhan spiritual.[2]
Howard L. Rice mendeskripsikan bahwa terdapat enam macam pengalaman spiritual, yaitu pengalaman pertobatan, pengalaman ekstasis, pengalaman visioner dan audiovisioner, pengalaman intuitif, pengalaman transenden dan pengalaman spititual yang bersifat visioner.
1.      Pengalaman pertobatan (conversion experiences)
Orang berubah dari yang awalnya hidup tanpa tujuan ke hidup dengan tujuan. Sebenarnya merupakan bagian dari pengalaman mistik.
2.      Pengalaman ekstatis (ecstatic experiences)
Pengalaman spritualitas yang bisa terjadi saat kecelakaan maut. Orang-orang yang mengalami ini bisa merasakan bahwa dunia lebih indah dari sebelumnya. Ini juga termasuk sebagai pengalaman mistik.
3.      Pengalaman visioner dan audiovisioner (visionary and auditory experiences)
Pengalaman ini bisa dialami melalui mimpi.
4.      Pengalaman intiutif (intuitive experience)
Pengalaman yang secara batin mendapat jawaban atas persoalan yang rumit. Seolah-olah tersinkronisasi.
5.      Pengalaman transenden (transcendent experiences)
Pengalaman ini yang bisa disebut dengan nature misticism, hilang dan kemudian menyatu dengan alam.
6.      Pengalaman spritual yang bersifat inkarnasional (incarnational experiences)
Spritualitas kedagingan adalah mengalami Allah bisa dianugerahi melalui yang lain. Bisa melalui berhubungan seks, karena seksualitas adalah kesatuan metafor antara yang ilahi dengan manusia. [3]

Terkait penjabaran Howard L. Rice soal pengalaman spiritual, saya melihat bahwa salah tiga dari keenam jenis spiritual di atas, pengalaman spiritual transenden, adalah pengalaman yang paling mirip menggambarkan pengalaman dalam lagu Riwut Karuhei ini. Pengalaman yang sama ketika laki-laki dalam lagu ini meminta supaya alam dalam konteks ini adalah angin sebagai perantara dan bekerja agar kerinduannya tersampaikan.
Selain dari pengalaman spiritualitas transenden, pengalaman spiritual inkarnasional juga termasuk di dalamnnya. Di dalam lirik lagu disampaikan bahwa laki-laki itu membayangkan bahwa ia melakukan hubungan seksual dengan kekasihnya, bahkan dikatakan bahwa ia mengikat jiwa kekasihnya sendiri. Hal ini adalah bukti bahwa pengalaman spiritual kedagingan benar-benar adalah suatu anugerah. Karena memang Allah menciptakan nafsu dan seksualitas kepada manusia.
Pengalaman spiritualitas visioner dan audiovisioner juga termasuk dalam lagu Riwut Karuhei karena berbicara soal mimpi pada bait yang ke-8. Akan tetapi, dari ketiga pengalaman spiritual tersebut, pengalaman spiritual transenden, menyatu lalu hilang dengan alam (nature misticism) adalah yang paling kuat karena peran angin dan tanah yang membuat hal yang diinginkan menjadi terjadi.



b.   Ajaran Spiritualitas oleh Martin Buber
Dalam buku I-Thou, Martin Buber juga membahas soal spiritualitas. Martin Buber lahir 8 Februari 1878 di Wina, dan merupakan filsuf Jerman keturunan Yahudi. Pada tahun 1923 menulis pemikiran dengan tema  Ich und Du atau dalam bahasa Indonesia adalah Aku dan Engkau atau dalam bahasa Inggris I and Thou. Buber mengembangkan suatu ide dialog dan eksistensi manusia dengan Allah. Dapat dikatakan semacam cara memahami Allah dengan menggunakan perjumpaan pada batin manusia atau melihat kepada diri sendiri.
Spritualitas itu dapat didapatkan melalui relasi. Martin Buber menekankan ada tiga prinsip dalam relasi. Pertama, adalah hidup bersama dengan alam, kedua, hidup bersama dengan orang lain, dan yang ketiga adalah hidup dengan spritual beings. Buber juga membahas bagaimana hubungan manusia dengan Tuhan itu harus bersifat dialogis. Buber menekankan relasi I-Thou harus dimiliki oleh manusia. Selain I-Thou, manusia juga perlu relasi I-It. Relasi I-Thou tidak hanya ditemukan dalam hubungan antar manusia akan tetapi juga hubungan manusia dengan alam, dari situ juga terbentuk spiritual beings, disinilah relasi I-It tersebut.[4]
Sejauh yang dipahami, penekanan Buber adalah perjumpaan dengan Tuhan adalah sebuah pengalaman spiritualitas. I-Thou adalah relasi dialogis, sebuah perjumpaan orang lain yang bisa juga bicara.. I-It adalah relasi bertemu dengan diri sendiri yang tidak bisa bicara,  memberi persepsi tentang yang dilihat (monolog). Relasi I-It dilihat sebagai relasi subjek-objek. Sebuah pemahaman pasca memahami orang lain. Aku bertemu dengan kamu, mengidentifikasi diri kamu. Di dalam pemahaman akan Allah di Perjanjian Lama, Thou menyapa diriku sebelum aku menyapa Thou. Allah dalam perjanjian Lama adalah Allah yang berinisiatif. Thou itu yang paling awal. Buber dipengaruhi oleh filosof  Feuerbach (dipengaruhi oleh filosof Baruch Spinoza) yang mengatakan bahwa Allah adalah alam. Alam diciptakan Allah, secara tidak langsung ketika manusia berelasi dengan alam berarti ada Allah dan hadir. Di balik It ada Thou itu. Being didefinisikan yaitu “kemenjadian”. Sementara spritual beings adalah sesuatu yang ada, adanya sebuah spirit di alam.   
 Melalui penjelasan di atas, terkait relasi I-It yang menggambarkan keterhubungan manusia dengan alam. Kedekatan dengan alam menghadirkan spiritual beings. Lagu Riwut Karuhei adalah gambaran dari relasi I-It tersebut. Adanya spirit yang terbentuk karena hubungan yang erat dijalin dengan alam.
Dalam buku The Silent Cry, Dorothe Soelle juga mengkritik Buber soal konsepnya Ecstasy and Confession, dalam bukunya Ecstatic Confessions (1909),
“The commotion lets me have things and the ideas that go with them, only not unity of world or of I: it is all the same. I, the world, we-no, I the world am what is moved out of reach, what cannot be grasped, what cannot be experienced. I give the bundle a name and say "world" to it, but the name is not a unity that is experienced. I give the bundle a subject and say "I" to it, but the subject is not a unity that is experienced. Name and subject belong to the commotion, and mine is the hand that reaches out-into empty space.”

Saya ingin mengerti kalimat ini secara sederhana, the commotion gives me ideas. I am what can’t be reach. What can’t be experienced. Name and Subject are not a unity that is experieced but those are belong to commotion. Mine reaches out into empty spaces. Bahwa kekacauan dalam kehidupan manusia termasuk apapun itu adalah I, adalah dunia (yang pergi bersama dengan kekacauan tersebut). Tapi It itu spesial, tidak bersamaan dengan unity (kesatuan). Saya pahami bahwa kekacauan itu terpisah dari kesatuan.

Lalu Soelle mengungkapkan demikian:  
“It experiences itself as a unity, no longer because it has surrendered itself wholly to a thing of the world, but because it has submerged itself entirely in itself, has plunged down to the very ground of itself, is kernel and husk, sun and eye, carouser and drink, at once. This most inward of all experiences
is what the Greeks call ek-stasis, a stepping-out.”[5]

Menurut Soelle bahwa sebuah pengalaman apapun itu, ialah kesatuan tersebut. Termasuk mengalami dirinya sendiri. Adalah sebagai satu kesatuan, bukan lagi karena ia telah menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada sesuatu dari dunia, tetapi karena ia telah merendam dirinya sepenuhnya dalam dirinya sendiri. Ini yang paling dalam dari semua pengalaman yang disebut ekstase.
Saya melihat bahwa kesatuan dengan apapun itu termasuk dengan alam ialah ekstase tersebut.
Spiritualitas dalam lagu Riwut Karuhei
Secara singkat, lagu Riwut Karuhei terdapat lirik yang mengisyaratkan mengenai kesatuan si penulis lagu dengan alam. Hilang lalu menyatu dengan alam (nature misticism). Pengalaman spiritual juga bisa terjadi di alam.[6] Ketika penulis lagu mengatakan bahwa ia dapat menyatu dengan angin untuk mengunjungi sang kekasih dan dapat mengurus kekasihnya. Selain itu, mimpi pun menjadi jawaban atas kerinduan.
Berdasarkan tulisan pak Emanuel Gerrit Singgih (selanjutnya EGS) mengenai “dunia roh”, dalam lagu ini pun terdapat pemahaman mengenai dunia roh. Harus saya akui, bahwa ada beberapa fungsi roh, selain menjadi perantara, teman, roh juga dapat dilihat sebagai diri dari penulis lagu itu yang pergi beraksi ke sang kekasih. Di dalam tulisan EGS mengenai “dunia roh” menjelaskan bahwa roh memiliki peran yang sangat penting. Ada pembagian di mana orang-orang lokal dapat membedakan adanya kuasa-kuasa yang baik dan kuasa-kuasa yang jahat. Meskipun di zaman sekarang kepercayaan-kepercayaan seperti ini ditinggalkan, akan tetapi sebenarnya orang-orang masih bicara soal pengalaman bertemu dengan roh ketika mereka dalam percakapan informal.[7] Saya setuju dengan pendapat pak EGS, karena roh-roh itu sendiri ada yang ditafsirkan sebagai roh yang baik dan roh yang jahat. Di dalam lagu ini roh itu memiliki fungsi yang baik dimana roh angin yang mewakili perasaan dan rasa rindu dari laki-laki ini kepada sang kekasihnya.Selain itu juga tanah dilihat sebagai kekuatan hidup. Lagu ini juga mempercayakan tanah sebagai objek yang dapat membawa kepada tujuan dari si penulis lagu.
            Bagi orang Dayak sendiri ada roh jahat dan ada juga roh baik. Dari sekian banyak roh baik, beberapa di antaranya:
1. Raja Uju Hakanduang. Uju berarti tujuh karena jumlah mereka ada tujuh orang Roh Suci pembawa ajaran Tuhan.
2. Raja Tunggal Sangumang: membawa rezeki, iman dan kesempurnaan.
3. Rawing Tempun Telun: bertugas mengantar roh ke surga.
4. Manteri Mama Luhing Bungai, Salutan Raja Nalawung Bulau: memberi hikmah dan kebijaksanaan.
5. Raja Sambung Maut:berkuasa atas maut.
6. Raja Entai Nyahu:penjaga kuburan
Beberapa roh jahat di antaranya:
1. Angui Mama Lengai Bungai berarti bunglon selalu berubah-ubah dan menyesatkan.
2. Rajan Peres atau Jagan Hantuen Peres artinya Raja penyakit.
3. Nyaring Pampahilep artinya jadi-jadian.
Orang Dayak juga mengenal dan menghormati para pembantu Ranying Hatalla yang bertugas menyejahterakan dan menjaga keselamatan dan keamanan suku, di antaranya:
1. Putir Selong Tamanang, Penguasa parei-behas (padi-beras)
2. Raja Angking Langit, salah satu orang terdekat Ranying Hatalla Langit.
3. Nyaru Menteng: penguasa perang, angin, petir, halilintar, api.
6. Janjalung Tatu Riwut: penguasa mata angin, bertugas mengendalikan semua arah mata angin.
7. Gambala Rajan Tanggara: sama dengan Janjulung Tatu Riwut penguasa mata angin, bertugas mengendalikan semua arah mata angin.
8. Raja Tuntung Tahaseng: berkaitan dengan usia atau nafas kehidupan manusia. Apabila ada manusia yang meminta umur panjang, berhasil tidaknya ditentukan oleh Ranying Hatalla. Raja Tuntung Tahaseng tidak punya wewenang menentukan. Ia hanya menjembatani komunikasi antara manusia dengan Ranying Hatalla.
9. Tamanang Tarai Bulan: bertugas merawat harta duniawi baik yang masih baru, maupun yang sudah usang.
10. Raja Sapanipas: bertugas mengamati, memelihara, dan memperbaiki kehidupan manusia   yang nasibnya kurang beruntung.
11. Raja Mise Andau:  pengendali waktu. [8]

Orang Dayak pada zaman nenek moyang menganggap bahwa baik roh baik maupun roh jahat punya peran dalam kehidupan mereka. Sehingga kedua roh tersebut diberi perlakuan yang bisa dikatakan sama, yaitu diberi makan. Sebagai ungkapan terima kasih, roh baik yang telah mengusahakan segala sesuatu dengan baik sehingga kehidupan berjalan lancar tanpa halangan. Roh jahat juga diharapkan tidak mengacau kehidupan.

            Mengutip dari buku The Silent Cry, Soelle menjelaskan bahwa setiap orang adalah bagian dari alam.[9]
“This mystical experience of nature points to the dependency of human beings. Into the place of an allegedly total autonomy there enters a knowledge that we human beings, latecomers to the planet, are dependent on plants and animals. What make life on earth possible in the first place are the sun, the photosynthetic power of green plants, and the existence of the primordial sea's simple bacteria, all of which are not only the source and power of life but also have created the ozone layer and the oxygen-filled atmosphere”.[10]

Bahwa sesungguhnya manusia sangat bergantung dengan alam dan melalui itu terdapat suatu pengalaman mistis. Manusia butuh matahari, butuh oksigen dari tumbuhan hijau. Soelle menjelaskan soal hubungan erat antara pengalaman mistik dengan mystical sensibility yang membuat orang mampu menyadari dan mengakui sebuah pengalaman sebagai perjumpaan dengan Tuhan. Ada situasi-situasi di balik mystical sensibility tersebut yang Soelle sebut sebagai mystical experiences yang terdiri dari alam (nature), penderitaan (suffering), perjamuan suci (holy communion) dan kegembiraan (joy). Terkait dengan hal itu bisa dikatakan bahwa dalam lagu Riwut Karuhei ini juga ada unsur pengalaman mistik. Pengalaman ekstase yang seolah membayangkan dirinya pergi bersama pusaran angin, bersama dalam mimpi dan melakukan hubungan seksual. Sebagaimana diungkapkan dalam lirik lagu juga bahwa angin dan tanah punya peran yang sangat penting untuk tujuan yang ingin dicapai.
           
Riwut Karuhei di dalam Alkitab
Saya melihat bahwa dalam Kidung Agung 4:16 ada kesamaan kalimat namun tidak sama persis. Jika melihat objek dan pengkalimatan di Kidung Agung ini memiliki persamaan seperti tujuan dari lagu Riwut Karuhei. Penyampaian pesan kerinduan.
            Kidung Agung adalah sebuah kumpulan syair-syair cinta, sangat intim. Disini saya  melihat Kidung Agung 4:16 yang memiliki unsur yang sama dengan lagu Riwut Karuhei. Menggunakan angin sebagai perantara penyampaian pesan.  
            “Bangunlah, hai angin utara, dan marilah, hai angin selatan, bertiuplah dalam kebunku, supaya semerbaklah bau rempah-rempahnya! Semoga kekasihku datang ke kebunnya dan makan buah-buahnya yang lezat.”
Mempelai perempuan menyuruh angin utara dan angin selatan bertiup kepadanya, supaya keharuman luar biasa yang oleh mempelai laki-laki dianggap berasal darinya dapat menyebar keluar darinya bagaikan dari suatu kebun penuh buah-buahan yang sangat sedap. Karena kebun ini atau kebun buah-buahan ini adalah dia sendiri, maka dia di sini memanggil kekasihnya untuk datang dan menikmati buah-buahan itu yang memang merupakan hak dari sang mempelai laki-laki. Mempelai perempuan berharap supaya angin sejuk bertiup ke kebunnya. Tampaknya, angin sejuk tadi juga membawa serta bau rempah-rempah yang semerbak. Dua jenis angin, angin utara yang sejuk dan angin yang selatan panas, diundang untuk membawa kata-kata yang manis kepada kekasihnya yang ada di tempat yang jauh.[11] Angin sejuk membawa suasana yang indah dan wewangian semerbak. Di ayat ini mempelai perempuan datang ke kebunMemang di ayat ini mempelai perempuan yang memuji, tetapi yang paling penting adalah kesamaan lagu Riwut Karuhei dengan ayat ini sama-sama memerintahkan angin untuk menyampaikan perasaan mereka. Dapat dilihat bahwa melalui alam rasa kerinduan yang tidak tersampaikan karena jarak.
            Dari lagu Riwut Karuhei terdapat pujian yang tulus, eksklusif, hanya untuk kekasihnya seorang. Kedekatan dan keintiman sepasang kekasih menciptakan momen-momen yang tidak terlupakan sehingga saling keterkenalan satu sama lain semakin dekat.

Relevansi
            Menurut saya, lagu ini tidak hanya memiliki unsur seni. Di dalamnya juga terdapat unsur  Teologi dan Spiritualitas. Spiritualitas dalam lagu Riwut Karuhei itu sama dengan pengalaman spiritual yang terjadi di alam. Sama halnya dengan penjelasan Martin Buber soal relasi I-It. Memang relasi I-It sering disalahartikan karena sikap manusia yang serakah dan menguasai It. Buber juga mengungkapkan relasi buruk antara manusia dengan alam jika manusia tidak bersikap serakah dan merusak. Maka seperti lagu Riwut Karuhei yang masih mempercayakan alam untuk mengantarkan kerinduan kepada kekasihnya, berkaitan erat dengan ungkapan dalam Kidung Agung 4:16 yang meminta angin untuk menyampaikan perasaan dan wangi-wangian semerbak dari buah di kebun  agar sampai kepada kekasihnya memiliki unsur yang sama.


Daftar Pustaka
Buber, Martin. I and Thou. United States of America: Library of Congress Catalog Card. 1958.

Lembaga Alkitab Indonesia. Tafsiran Alkitab Masa Kini 2, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina kasih/OMF, 1976, 359.
Rice, Howard L. Reformed Sprituality: An Introduction for believers. United States of America: Westminster/Jhon Knox Press. 1991.
Riwut, Tjilik. Maneser Panatau Tatu Hiang Menyelami Kekayaan Leluhur. Sanaman Mantikei. Penyunting: Dra. Nila Riwut.
Soelle, Dorothe. The Silent Cry: Mysticism and Resistance. Diterjemahkan oleh Barbara Rumscheidt dan Martin Rumscheidt. Minneapolis: Fortress Press. 2001.
Singgih, Emanuel Gerrit. Sebuah Pemahaman Posmodern Terhadap “Dunia Roh” dalam Konteks Orang-orang Kristen di Indonesia Masa Kini (artikel).


[1] Tjilik Riwut, Maneser Panatau Tatu Hiang Menyelami Kekayaan Leluhur, 346.
[2] Howard L. Rice, Reformed Spiritualty: An Introduction for Believers, US: Westminster/ John Knox Press, 1991, 8. 
[3] Howard L. Rice, Reformed Spiritualty: An Introduction for Believers, US: Westminster/ John Knox Press, 1991. 30-35.
[4] Martin Buber, I and Thou, United States of America: Library of Congress Catalog Card, 1958. 6.
[5] Dorothe Soelle, The silent cry Mysticism and Resistance, Diterjemahkan oleh Barbara Rumscheidt dan Martin Rumscheidt. Minneapolis: Fortress Press,  2001, 30.
[6] Howard L. Rice, Reformed Spiritualty: An Introduction for Believers... 35.
[7] Lihat tulisan Emanuel Gerrit Singgih, Sebuah Pemahaman Posmodern Terhadap “Dunia Roh” dalam Konteks Orang-orang Kristen di Indonesia Masa Kini...4.
[8]  Tjilik Riwut, Maneser Panatau Tatu Hiang Menyelami Kekayaan Leluhur, Sanaman Mantikei, 463-464.
[9]  Dorothe Soelle, The silent cry Mysticism and Resistance, Diterjemahkan oleh Barbara Rumscheidt dan Martin Rumscheidt. Minneapolis: Fortress Press,  2001,  99.
[10] Dorothe Soelle, The silent cry Mysticism and Resistance,...110-111.  
[11]  Lembaga Alkitab Indonesia. Tafsiran Alkitab Masa Kini 2, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina kasih/OMF, 1976, 359.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lirik Lagu Dayak Kalimantan Tengah Ciptaan Jefri E. Sindem Tamparan Hasupa

Katika ku munduk kabuat Tabayang senyum andi je mamikat Kai..kai tumun tuh angat Handau hamalem santar taingat Curahku akam lewat lagu tuh Mangesah tamparam ku supa dengam mu Dahang tujuan kakam hamauh Salamat mahining duhai sayang ku Tagal haranan cinta ku dengam Angat ku yakin cinta baya akam Munduk mendengku saraba sala Pandangan pertama ku jatuh cinta Aduh akai nah jata Hatalla Taguncang angat ku je jantung jiwa Metuh tamparan ku sundau dengam mu Bisikan cinta je ingkeme ku Angat perasaan ku je tutu-tutu Aku te yakin ikau jodohku

Hedonisme dalam 2 Samuel 12:1-25

Universitas Kristen Duta Wacana Nama/ NIM                             : Winda Patrika Embun Sari/ 50190056 Program Studi/ Semester       : Magister Teologi/ Gasal 2019-2020 Mata Kuliah/ Tugas               : Tafsir Kontekstual Perjanjian Lama/ Makalah Akhir   Hedonisme dalam 2 Samuel 12:1-25 1.1. Pendahuluan a.     Pengantar Dewasa ini, setiap orang punya kecenderungan untuk hidup konsumtif. Gaya hidup konsumtif lazimnya disebut dengan hedonisme. Kamus Besar Bahasa Indonesia (selanjutnya KBBI) mendefinisikan hedonisme sebagai “ pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup”. Umumnya hedonisme dipahami sebagai satu hal yang negatif. Tapi pada dasarnya hedonisme ...