Universitas
Kristen Duta Wacana
Nama/
NIM : Winda
Patrika Embun Sari/ 50190056
Program
Studi/ Semester : Magister Teologi/
Gasal 2019-2020
Mata
Kuliah/ Tugas : Teologi,
Spiritualitas dan Seni/ Makalah Akhir
(REVISI)
Spiritualitas
dalam Lagu Karungut Dayak Kalimantan
Tengah:
“Riwut Karuhei” (Angin yang Membiuskan)
Pendahuluan
Ada
beragam cara bagi seseorang untuk mengekspresikan perasaannya. Salah satunya
adalah melalui lagu. Lirik sebuah lagu kadangkala bersumber dari pengalaman
pribadi. Hal ini salah satunya saya lihat dalam lagu Riwut Karuhei. Lagu yang berasal dari Kalimantan Tengah ini menarik
untuk diperhatikan lebih dalam, karena di dalamnya terkandung tidak hanya
lirik-lirik sebagai karya seni, namun juga sebuah laku spritualitas.
Lirik lagu dan terjemahan:
1.
Mapuiku ikau je manyan garu, mampisik ganan buluh marindu
akam manyundau andi putir busu, mansanan aka aku balingu
akam manyundau andi putir busu, mansanan aka aku balingu
(Ku bakar engkau wahai
kemenyan, untuk membangunkan roh pengasih
Supaya kau menemui si putri bungsu, beritahu dia
saya sudah rindu)
2.
Nguhus ku ikau petak kamalai, balaku ganam tulak manyampai
manyundau andi kaleka melai, hambaruan kue laku habambai
manyundau andi kaleka melai, hambaruan kue laku habambai
(Kuelus engkau tanah
penjinak mohon engkau berangkat pergi
Menemukan tempat adik ku tinggal, mohon jiwa
kami bisa bersatu)
3.
Pahiauku ikau suling lamiang, ganan humbang lingu umba manimang
mandehen petehku riwut je tarawang, maja lewu nupi andi busu pandang
mandehen petehku riwut je tarawang, maja lewu nupi andi busu pandang
(Kutiup engkau suling
bambu, roh bambu rindu turut merayu
Menguatkan pesanku angin yang terbang,
mengunjungi mimpi adikku bungsu sayang)
4.
Hatambeleng tampuh riwut mahalau, manuju andi melai lewu kejau
melai lewu nupi kue hasundau, hambaruan kakam dumah maja ikau
melai lewu nupi kue hasundau, hambaruan kakam dumah maja ikau
(Bersama pusaran angin
yang lewat, ke arah adikku di negeri yang jauh
Di dunia mimpi kita bertemu, jiwa kakak datang
mengunjungimu)
5.
Manjapai ku je sewut talagan adam, mangunci aram tunduk hambaruan
danum satitik asal tamparam, bara kandungan je indu bapam
danum satitik asal tamparam, bara kandungan je indu bapam
(Ku keluarkan jurus
telaga adam, mengunci namamu tunduk jiwamu
Setetes air asal
usulmu, hasil hubungan ibu dan ayahmu)
6.
Hayak bagarak talaga uju, tulak narusan je lawang kuwu
ngarambang sabenget andi putir busu, mangat katawam kakam manggau
ngarambang sabenget andi putir busu, mangat katawam kakam manggau
(Mengikuti gerakan
tujuh telaga, membuka jalan ke kamar pingitan
Membuat pagar selamat adikku putri bungsu,
supaya kaka gampang bertemu)
7.
Lepah injapai auh pantap jela, mampisik ganam riwut suara
Riwut Karuhei babala maja, manggaduh berengmu intan garinda
Riwut Karuhei babala maja, manggaduh berengmu intan garinda
(Semua keluar jurus
bicara, membangunkan roh angin suara
Angin membiuskan datang berkunjung, mengurus
dirimu intan permata)
8.
Hayal paniruhmu busu andi, malis mamangkut gaguling hai
hambaruan kakam dumah manggapi, sambewa dengam melai lewu nupi
hambaruan kakam dumah manggapi, sambewa dengam melai lewu nupi
(Nyenyak tidurmu adikku
sayang, senyap memeluk guling besar
Jiwa kaka datang menghampiri, bersama denganmu
di dunia mimpi)
9.
Kue sambewa hamalem jituh, kasih dan sayang jadi
bagaduh
hining bujur buah kakam hamauh, ela huangmu batindar akan uluh
hining bujur buah kakam hamauh, ela huangmu batindar akan uluh
(Kita bersama malam
ini, kasih sayang saling mengurus
Dengan baik-baik kaka bicara, supaya
keinginanmu jangan beralih ke orang lain)
10. Jite
petehku puna bahimat, melai pikiram ikau mancatat
leket badehen andi maingat, atei huang kue hinje kambulat
leket badehen andi maingat, atei huang kue hinje kambulat
(Itu pesanku sunguh
sungguh, tulis itu di otakmu
Supaya melekat adik
mengingat, hati dan pikiran kita bersatu)
11. Sampai
tuh helu kakam basuara, nyandehan huangmu intan garinda
sadar barendeng pikiram barima, halajur bingat kakam jagau linga.
sadar barendeng pikiram barima, halajur bingat kakam jagau linga.
(Sampai disini dahulu
kaka bicara, sementara keinginan intan permata
Sadar berpikir, selalu
mengingat kaka yang perkasa)
Secara singkat, lagu
ini mengisahkan tentang cinta dan
kerinduan seorang laki-laki kepada kekasihnya. Seni adalah lagu itu sendiri,
makna dari lagu Karungut ini
sangatlah dalam. Meskipun laki-laki ini tidak berdoa kepada Tuhan, namun dalam
liriknya ia menyampaikan kepada alam dan angin rasa rindu pada kekasihnya
tersebut. Terdapat makna cinta dari lagu Karungut
ini. Sang penulis lagu menggambarkan betapa cantik dan indah rupa dari
kekasihnya tersebut. Ia tidak ingin kehilangan sang kekasih. Saya ingin melihat
unsur spritualitas dari lagu tersebut di atas.
Lagu Karungut
Riwut Karuhei
Lagu Karungut adalah sebuah kesenian tradisional dari Kalimantan
Tengah, Indonesia. Seni ini berupa sastra lisan atau juga bisa
disebut pantun yang dilagukan. Karungut merupakan karya yang dijunjung masyarakat Dayak sebagai
sastra besar klasik dan merupakan semacam pantun atau gurindam. Pelantun Karungut mengisahkan syair-syair
kebajikan dengan meramu bermacam legenda, nasihat, teguran, dan peringatan
mengenai kehidupan sehari-hari. Karungut
sering dilantunkan pada acara penyambutan tamu yang dihormati. Salah satu
ekspresi kegembiraan dan kebahagiaan diungkapkan dalam bentuk Karungut. Terkadang
ditemukan perulangan kata pada akhir kalimat, a a a a, atau a b a b, namun
terkadang juga tidak. Untuk mengamati cara tutur orang Dayak dalam
mengekspresikan perasaan mereka, maka terjemahan kedalam bahasa Indonesia
dibuat sebagai mana adanya, kata per kata.
Lagu Karungut adalah salah satu kesenian
tradisional yang sangat komunikatif, karena pesan-pesan yang disampaikan
berbentuk pantun dalam bahasa daerah Dayak dan mudah dimengerti pendengar dan
penontonnya. Karungut
diiringi alat musik sape, bisa
juga menggunakan band atau organ. Karungut merupakan seni khas Kalimantan Tengah yang mempunyai arti
dan makna yang sangat dalam untuk ritual dan untuk menyampaikan segala sesuatu
sesuai dengan keperluannya. Dahulu karangut dinyanyikan para ibu untuk
menidurkan putra-putrinya. Dewasa ini Karungut
dapat ditemui di tempat hajatan perkawinan maupun khitanan, untuk menyambut
tamu penting, untuk kampanye pilkada dan lain-lain.
Menurut
kepercayaan suku Dayak di Kalimantan Tengah, pada zaman dahulu manusia
diturunkan dari langit bersamaan palangka bulau (tetek
tatum). Pada waktu berada di bumi, palangka
bulau adalah alat untuk menurunkan manusia dari langit ke bumi oleh Ranying
Hatalla langit atau dewa para petinggi suku Dayak. Maka dari itulah
mulai adanya alunan suara atau tembang-tembang dan sejak itulah Karungut muncul. Bahasa yang digunakan
dalam Karungut adalah bahasa Sangiang atau sejenis bahasa
Ngaju yang sangat tinggi sastranya digunakan dalam upacara
adat dan berkomunikasi dengan roh halus. Dalam kehidupan masyarakat Dayak yang
melaksanakan upacara, khususnya upacara adat, keagamaan, perkawinan, dan
syukuran selalu di warnai dengan kegiatan kesenian seperti tari Manasai nyanyian Karungut, Karunya, Tandak Mandau, dan Deder Segala kemampuan spiritual, kesaktian
dalam bentuk apapun yang telah mereka miliki berasal dari Ranying Hatalla dan selalu bersifat positif, menuju kearah
kebaikan.[1]
Bait 1:
Pada bait
ini sang pembawa karungut langsung
pada keinginannya untuk membakar kemenyan agar wewangian dari kemenyan dapat
dikirim bersama angin. Pada bait ini sudah diungkapkan soal roh. Namanya adalah Bulu Marindu, wewangian dari kemenyan tadi adalah
alat untuk membangun roh. Sesungguhnya roh pengasih
ini adalah roh yang dipelihara oleh orang Dayak. Roh tersebut dari alam. Kedekatan
orang Dayak dengan alam menjadikan mereka selalu mengamati gerak lembut
perubahan alam. Akibatnya orang Dayak semakin mampu menyatu dengan alam.
Kebersatuan dengan alam, keheningan, menjadikan mereka mampu menyerap getaran
alam. Kepekaan menjadi semakin terasah dan perlahan tapi pasti tumbuh dan
berkembang kemampuan spiritual dalam dirinya. Itulah
mengapa kedekatan mereka dengan alam dipahami bahwa segala sesuatunya adalah
pemberian Ranying Hatalla Langit. Segala
pemberian dari Ranying Hatalla Langit adalah
positif, semacam anugerah bagi mereka.
Bait 2:
Orang Dayak, baik
laki-laki maupun perempuan mempunyai perasaan yang halus. Dalam percintaan
mereka sangat setia, hingga tidak enggan mengorbankan jiwa raga bagi orang yang
dicintai. Mencari tanah penjinak atau tanah yang tidak pernah susut adalah hal
yang tidak mudah. Ketika seseorang merelakan diri untuk mencari tanah tersebut
maka bisa dikatakan cinta mereka adalah sungguh-sungguh.
Bait 3:
Disebutkan
bahwa ia meniup suling lamiang. Suling bambu di sini bukan
sembarang suling namun sudah diberi lamiang.
Arti dari Lamiang, lilis, atau
merjan ialah sejenis manik-manik kuno yang warnanya abadi tak kan pernah
luntur oleh waktu. Fungsi lamiang/lilis/ merjan adalah sebagai penekang
hambaruan atau penguat semangat dan keyakinan dalam segala tindakan, bahkan
berperan pula sebagai alat pengakuan dan kemantapan berpijak. Apabila seorang
tamu yang oleh Suku Dayak telah diterima dengan baik, kemudian dioleskan (saki/palas) dan pada pergelangan
tangannya diikatkan lamiang/lilis/merjan kuno, maka hal tersebut
menunjukkan bahwa tamu tersebut telah diterima dengan baik bahkan telah
menerima penghormatan besar yang setinggi-tingginya. Fungsi lain dari lamiang/lilis/merjan,
dapat berfungsi sebagai perhiasan wanita. Lamiang/lilis/merjan dapat
pula digunakan untuk membayar hukuman denda pada suatu pelanggaran adat.
Dibunyikan suling lamiang agar angin dapat menyampaikan
pesan kepada kekasihnya yang jauh darinya. Bersama dengan angin itu terdapat
roh yang semakin menguatkan cinta antara keduanya. Meski tidak bersama saat itu
akan tetapi bisa bertemu dulu melalui mimpi dan bersama karena hanya dengan itu
dulu kerinduan itu dapat tersampaikan.
Bait 4:
Masih bicara soal angin. Di bait ini laki-laki ingin
sekali bersama dengan kekasihnya tersebut. Seolah berharap jika pusaran angin telah
sampai maka mereka berdua dapat bersatu. Peran angin bagi orang Dayak itu sangat
penting. Dalam ritual adat juga orang sangat mengandalkan angin untuk
menyampaikan pesan. Di samping memang juga kepercayaan nenek moyang pengendali
angin itu memang ada.
Bait 5:
Jurus talagan adam yang diungkapkan dalam
bahasa sangiang (ritual) ini memang
tidak bisa diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Hambaruan di sini adalah ungkapan untuk jiwa dalam diri kekasihnya.
Bait 6:
Lewat
lagu itu mau disampaikan kata-kata yang dinyanyikan telah mengunci jiwa
kekasihnya. Gerakan tujuh telaga membawa roh lak-laki dan mendapati kekasih yang
jauh, ia berada di kamar pingitan. Terkurung jiwanya di dalam kamar tersebut,
roh angin pun mudah menemukannya karena jiwa laki-laki sedang mencari
kekasihnya.
Bait 7:
Bait ini adalah bait yang paling utama dari lirik lagu
karena permintaan kepada angin telah sampai dan singgah kepada kekasihnya. Roh
angin itu sudah menyampaikan pesan kerinduan dan bisa dikatakan roh angin ini
tidak perlu waktu lama untuk menjumpai kekasih yang disayangi oleh
laki-lakinya.
Bait 8:
Laki-laki
memuji kekasihnya. Mereka bertemu dalam mimpi. Mengutip Howard L. Rice tentang
salah satu contoh pengalaman spiritual yaitu pengalaman audiovisioner dan
audivisioner.
Bait 9:
Pesan
dari laki-laki, supaya kekasihnya bersama-sama saling berkasih satu sama lain.
Roh sudah sampai dan roh angin sudah membiuskan pesan kepada sang kekasih.
Ketika telah bersama mereka saling memadu kasih.
Bait 10:
Bait ini mau menegaskan bahwa pesan yang telah
disampaikan tadi harus kekasihnya ingat
dan simpan di dalam pikiran dan hatinya.
Bait 11:
Bait terakhir merupakan bait penutup. Di mana telah habis
segala sesuatu yang mau dikatakan lewat lagu ini. Terdapat pesan untuk
kekasihnya bahwa laki-laki dalam lagu ini hanya dialah satu-satunya yang paling
tampan dan gagah.
Spiritualitas dalam Lagu Riwut
Karuhei
a.
Ajaran Spritualitas oleh Howard L. Rice
Di dalam lirik lagu ini ada spritualitas yang sangat kuat
disampaikan. Howard L. Rice menjelaskan soal spiritualitas secara jelas dalam
bukunya Reformed Spirituality.
Dalam buku
Howard L. Rice dijelaskan bahwa spiritualitas dimulai dari kesalehan (piety). Ini sebenarnya bermula dari
penekanan Yohanes Calvin yang mengungkapkan bahwa mengambil waktu pribadi dan
berdoa dengan Tuhan adalah perlu. Metode yang digunakan oleh Yohanes Calvin
adalah membaca Alkitab secara meditatif. Metode yang hampir sama dengan metode
Benediktus yaitu lectio divina. Manusia
dapat menemukan pengampunan dan petunjuk dari Tuhan ketika berdoa secara
pribadi. Prinsip dasarnya adalah Allah sebagai pribadi yang menciptakan manusia
sebagai mahluk yang spritual. Manusia membutuhkan Allah, terus menerus berjuang
untuk mengalami pertumbuhan spiritual.[2]
Howard L. Rice mendeskripsikan bahwa terdapat enam macam pengalaman
spiritual, yaitu pengalaman pertobatan, pengalaman ekstasis, pengalaman
visioner dan audiovisioner, pengalaman intuitif, pengalaman transenden dan
pengalaman spititual yang bersifat visioner.
1. Pengalaman pertobatan (conversion experiences)
Orang berubah dari yang awalnya hidup tanpa
tujuan ke hidup dengan tujuan. Sebenarnya merupakan bagian dari pengalaman
mistik.
2. Pengalaman ekstatis (ecstatic experiences)
Pengalaman spritualitas yang bisa terjadi saat
kecelakaan maut. Orang-orang yang mengalami ini bisa merasakan bahwa dunia
lebih indah dari sebelumnya. Ini juga termasuk sebagai pengalaman mistik.
3. Pengalaman visioner dan audiovisioner (visionary and auditory experiences)
Pengalaman ini bisa dialami melalui mimpi.
4. Pengalaman intiutif (intuitive experience)
Pengalaman yang secara batin mendapat jawaban
atas persoalan yang rumit. Seolah-olah tersinkronisasi.
5. Pengalaman transenden (transcendent experiences)
Pengalaman ini yang bisa disebut dengan nature misticism, hilang dan kemudian
menyatu dengan alam.
6. Pengalaman spritual yang bersifat inkarnasional (incarnational experiences)
Spritualitas kedagingan adalah mengalami Allah bisa
dianugerahi melalui yang lain. Bisa melalui berhubungan seks, karena
seksualitas adalah kesatuan metafor antara yang ilahi dengan manusia. [3]
Terkait
penjabaran Howard L. Rice soal pengalaman spiritual, saya melihat bahwa salah tiga
dari keenam jenis spiritual di atas, pengalaman spiritual transenden, adalah
pengalaman yang paling mirip menggambarkan pengalaman dalam lagu Riwut Karuhei ini. Pengalaman yang sama
ketika laki-laki dalam lagu ini meminta supaya alam dalam konteks ini adalah
angin sebagai perantara dan bekerja agar kerinduannya tersampaikan.
Selain
dari pengalaman spiritualitas transenden, pengalaman spiritual inkarnasional
juga termasuk di dalamnnya. Di dalam lirik lagu disampaikan bahwa laki-laki itu
membayangkan bahwa ia melakukan hubungan seksual dengan kekasihnya, bahkan
dikatakan bahwa ia mengikat jiwa kekasihnya sendiri. Hal ini adalah bukti bahwa
pengalaman spiritual kedagingan benar-benar adalah suatu anugerah. Karena
memang Allah menciptakan nafsu dan seksualitas kepada manusia.
Pengalaman
spiritualitas visioner dan
audiovisioner juga termasuk dalam lagu Riwut Karuhei karena berbicara soal
mimpi pada bait yang ke-8. Akan tetapi, dari ketiga pengalaman spiritual
tersebut, pengalaman spiritual transenden, menyatu lalu hilang dengan alam (nature misticism) adalah yang paling
kuat karena peran angin dan tanah yang membuat hal yang diinginkan menjadi
terjadi.
b.
Ajaran Spiritualitas oleh Martin Buber
Dalam
buku I-Thou, Martin Buber juga
membahas soal spiritualitas. Martin Buber lahir 8 Februari 1878 di Wina, dan
merupakan filsuf Jerman keturunan Yahudi. Pada tahun 1923 menulis pemikiran
dengan tema Ich und Du atau
dalam bahasa Indonesia adalah Aku dan Engkau atau dalam bahasa Inggris I and Thou. Buber mengembangkan
suatu ide dialog dan eksistensi manusia dengan Allah. Dapat dikatakan semacam
cara memahami Allah dengan menggunakan perjumpaan pada batin manusia atau
melihat kepada diri sendiri.
Spritualitas
itu dapat didapatkan melalui relasi. Martin Buber menekankan ada tiga prinsip
dalam relasi. Pertama, adalah hidup bersama dengan alam, kedua, hidup bersama
dengan orang lain, dan yang ketiga adalah hidup dengan spritual beings. Buber juga membahas bagaimana hubungan manusia
dengan Tuhan itu harus bersifat dialogis. Buber menekankan relasi I-Thou harus dimiliki oleh manusia. Selain
I-Thou, manusia juga perlu relasi I-It. Relasi I-Thou tidak hanya ditemukan dalam hubungan antar manusia akan
tetapi juga hubungan manusia dengan alam, dari situ juga terbentuk spiritual beings, disinilah relasi I-It tersebut.[4]
Sejauh
yang dipahami, penekanan Buber adalah perjumpaan dengan Tuhan adalah sebuah
pengalaman spiritualitas. I-Thou adalah
relasi dialogis, sebuah perjumpaan orang lain yang bisa juga bicara.. I-It adalah relasi bertemu dengan diri sendiri yang tidak bisa bicara, memberi persepsi tentang yang dilihat
(monolog). Relasi I-It dilihat sebagai relasi
subjek-objek. Sebuah pemahaman pasca memahami orang lain. Aku bertemu dengan
kamu, mengidentifikasi diri kamu. Di dalam pemahaman akan Allah di Perjanjian
Lama, Thou menyapa diriku sebelum aku
menyapa Thou. Allah dalam perjanjian
Lama adalah Allah yang berinisiatif. Thou
itu yang paling awal. Buber dipengaruhi oleh filosof Feuerbach
(dipengaruhi oleh filosof Baruch Spinoza) yang mengatakan bahwa Allah adalah
alam. Alam diciptakan Allah, secara tidak langsung ketika manusia berelasi
dengan alam berarti ada Allah dan hadir. Di balik It ada Thou itu. Being didefinisikan yaitu “kemenjadian”.
Sementara spritual beings adalah
sesuatu yang ada, adanya sebuah
spirit di alam.
Melalui penjelasan di
atas, terkait relasi I-It yang
menggambarkan keterhubungan manusia dengan alam. Kedekatan dengan alam
menghadirkan spiritual beings. Lagu Riwut Karuhei adalah gambaran dari
relasi I-It tersebut. Adanya spirit yang terbentuk karena hubungan
yang erat dijalin dengan alam.
Dalam
buku The Silent Cry, Dorothe Soelle juga mengkritik Buber soal konsepnya Ecstasy
and Confession, dalam bukunya Ecstatic Confessions (1909),
“The commotion lets me have things and the ideas
that go with them, only not unity of world or of I: it is all the same. I, the
world, we-no, I the world am what is moved out of reach, what cannot be grasped,
what cannot be experienced. I give the bundle a name and say "world"
to it, but the name is not a unity that is experienced. I give the bundle a
subject and say "I" to it, but the subject is not a unity that is
experienced. Name and subject belong to the commotion, and mine is the hand
that reaches out-into empty space.”
Saya
ingin mengerti kalimat ini secara sederhana, the commotion gives me ideas. I am what can’t be reach. What can’t be
experienced. Name and Subject are not a unity that is experieced but those are
belong to commotion. Mine reaches out into empty spaces. Bahwa kekacauan
dalam kehidupan manusia termasuk apapun itu adalah I, adalah dunia (yang
pergi bersama dengan kekacauan tersebut). Tapi It itu spesial, tidak bersamaan dengan unity (kesatuan). Saya pahami bahwa kekacauan itu terpisah dari
kesatuan.
Lalu
Soelle mengungkapkan demikian:
“It experiences itself as a unity, no longer because
it has surrendered itself wholly to a thing of the world, but because it has
submerged itself entirely in itself, has plunged down to the very ground of itself,
is kernel and husk, sun and eye, carouser and drink, at once. This most inward
of all experiences
Menurut
Soelle bahwa sebuah pengalaman apapun itu, ialah kesatuan tersebut. Termasuk mengalami
dirinya sendiri. Adalah sebagai satu kesatuan, bukan lagi karena ia telah
menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada sesuatu dari dunia, tetapi karena ia
telah merendam dirinya sepenuhnya dalam dirinya sendiri. Ini yang paling dalam
dari semua pengalaman yang disebut ekstase.
Saya
melihat bahwa kesatuan dengan apapun itu termasuk dengan alam ialah ekstase
tersebut.
Spiritualitas dalam lagu Riwut Karuhei
Secara singkat, lagu Riwut Karuhei
terdapat lirik yang mengisyaratkan mengenai kesatuan si penulis lagu dengan
alam. Hilang lalu menyatu dengan alam (nature
misticism). Pengalaman spiritual juga bisa terjadi di alam.[6]
Ketika penulis lagu mengatakan bahwa ia dapat menyatu dengan angin untuk mengunjungi
sang kekasih dan dapat mengurus kekasihnya. Selain itu, mimpi pun menjadi
jawaban atas kerinduan.
Berdasarkan tulisan pak Emanuel Gerrit Singgih (selanjutnya EGS) mengenai
“dunia roh”, dalam lagu ini pun terdapat pemahaman mengenai dunia roh. Harus
saya akui, bahwa ada beberapa fungsi roh, selain menjadi perantara, teman, roh
juga dapat dilihat sebagai diri dari penulis lagu itu yang pergi beraksi ke
sang kekasih. Di dalam tulisan EGS mengenai “dunia roh” menjelaskan bahwa roh
memiliki peran yang sangat penting. Ada pembagian di mana orang-orang lokal
dapat membedakan adanya kuasa-kuasa yang baik dan kuasa-kuasa yang jahat. Meskipun
di zaman sekarang kepercayaan-kepercayaan seperti ini ditinggalkan, akan tetapi
sebenarnya orang-orang masih bicara soal pengalaman bertemu dengan roh ketika
mereka dalam percakapan informal.[7]
Saya setuju dengan pendapat pak EGS, karena roh-roh itu sendiri ada yang
ditafsirkan sebagai roh yang baik dan roh yang jahat. Di dalam lagu ini roh itu
memiliki fungsi yang baik dimana roh angin yang mewakili perasaan dan rasa
rindu dari laki-laki ini kepada sang kekasihnya.Selain itu juga tanah dilihat sebagai
kekuatan hidup. Lagu ini juga mempercayakan tanah sebagai objek yang dapat
membawa kepada tujuan dari si penulis lagu.
Bagi orang Dayak sendiri ada roh
jahat dan ada juga roh baik. Dari sekian banyak roh baik,
beberapa di antaranya:
1.
Raja Uju Hakanduang. Uju berarti tujuh karena jumlah
mereka ada tujuh orang Roh Suci pembawa ajaran Tuhan.
2. Raja Tunggal Sangumang: membawa rezeki, iman dan
kesempurnaan.
3. Rawing Tempun Telun: bertugas
mengantar roh ke surga.
4.
Manteri Mama Luhing Bungai, Salutan Raja Nalawung Bulau: memberi
hikmah dan kebijaksanaan.
5. Raja Sambung Maut:berkuasa
atas maut.
6. Raja Entai Nyahu:penjaga
kuburan
Beberapa roh jahat di antaranya:
1. Angui Mama Lengai Bungai
berarti bunglon selalu berubah-ubah dan menyesatkan.
2. Rajan Peres atau Jagan
Hantuen Peres artinya Raja penyakit.
3. Nyaring Pampahilep artinya
jadi-jadian.
Orang Dayak juga mengenal dan
menghormati para pembantu Ranying Hatalla yang bertugas menyejahterakan
dan menjaga keselamatan dan keamanan suku, di antaranya:
1. Putir Selong Tamanang,
Penguasa parei-behas (padi-beras)
2. Raja Angking Langit, salah
satu orang terdekat Ranying Hatalla
Langit.
3. Nyaru Menteng: penguasa
perang, angin, petir, halilintar, api.
6.
Janjalung Tatu Riwut: penguasa mata angin, bertugas mengendalikan semua
arah mata angin.
7. Gambala
Rajan Tanggara: sama dengan Janjulung
Tatu Riwut penguasa mata angin, bertugas mengendalikan semua arah mata
angin.
8. Raja
Tuntung Tahaseng: berkaitan dengan usia atau nafas kehidupan manusia.
Apabila ada manusia yang meminta umur panjang, berhasil tidaknya ditentukan
oleh Ranying Hatalla. Raja Tuntung Tahaseng tidak punya wewenang
menentukan. Ia hanya menjembatani komunikasi antara manusia dengan Ranying
Hatalla.
9. Tamanang
Tarai Bulan: bertugas merawat harta duniawi baik yang masih baru, maupun
yang sudah usang.
10.
Raja Sapanipas: bertugas mengamati, memelihara, dan memperbaiki
kehidupan manusia yang nasibnya kurang
beruntung.
11. Raja Mise Andau: pengendali waktu. [8]
Orang Dayak pada zaman nenek moyang
menganggap bahwa baik roh baik maupun roh jahat punya peran dalam kehidupan
mereka. Sehingga kedua roh tersebut diberi perlakuan yang bisa dikatakan sama,
yaitu diberi makan. Sebagai ungkapan terima kasih, roh baik yang telah
mengusahakan segala sesuatu dengan baik sehingga kehidupan berjalan lancar
tanpa halangan. Roh jahat juga diharapkan tidak mengacau kehidupan.
Mengutip
dari buku The Silent Cry, Soelle
menjelaskan bahwa setiap orang adalah bagian dari alam.[9]
“This mystical experience of
nature points to the dependency of human beings. Into the place of an allegedly
total autonomy there enters a knowledge that we human beings, latecomers to the
planet, are dependent on plants and animals. What make life on earth possible in
the first place are the sun, the photosynthetic power of green plants, and the
existence of the primordial sea's simple bacteria, all of which are not only
the source and power of life but also have created the ozone layer and the
oxygen-filled atmosphere”.[10]
Bahwa sesungguhnya manusia sangat bergantung dengan
alam dan melalui itu terdapat suatu pengalaman mistis. Manusia butuh matahari,
butuh oksigen dari tumbuhan hijau. Soelle menjelaskan soal hubungan erat antara
pengalaman mistik dengan mystical
sensibility yang membuat orang mampu menyadari dan mengakui sebuah
pengalaman sebagai perjumpaan dengan Tuhan. Ada situasi-situasi di balik mystical sensibility tersebut yang Soelle
sebut sebagai mystical experiences yang
terdiri dari alam (nature),
penderitaan (suffering), perjamuan
suci (holy communion) dan kegembiraan
(joy). Terkait dengan hal itu bisa
dikatakan bahwa dalam lagu Riwut Karuhei ini
juga ada unsur pengalaman mistik. Pengalaman ekstase yang seolah membayangkan
dirinya pergi bersama pusaran angin, bersama dalam mimpi dan melakukan hubungan
seksual. Sebagaimana diungkapkan dalam lirik lagu juga bahwa angin dan tanah
punya peran yang sangat penting untuk tujuan yang ingin dicapai.
Riwut Karuhei di dalam Alkitab
Saya melihat bahwa dalam Kidung Agung 4:16 ada kesamaan kalimat namun
tidak sama persis. Jika melihat objek dan pengkalimatan di Kidung Agung ini
memiliki persamaan seperti tujuan dari lagu Riwut
Karuhei. Penyampaian pesan kerinduan.
Kidung Agung adalah sebuah kumpulan syair-syair
cinta, sangat intim. Disini saya melihat
Kidung Agung 4:16 yang memiliki unsur yang sama dengan lagu Riwut Karuhei. Menggunakan angin sebagai
perantara penyampaian pesan.
“Bangunlah,
hai angin utara, dan marilah, hai angin selatan, bertiuplah dalam kebunku,
supaya semerbaklah bau rempah-rempahnya! Semoga kekasihku datang ke kebunnya
dan makan buah-buahnya yang lezat.”
Mempelai
perempuan menyuruh angin utara dan angin selatan bertiup kepadanya, supaya
keharuman luar biasa yang oleh mempelai laki-laki dianggap berasal darinya
dapat menyebar keluar darinya bagaikan dari suatu kebun penuh buah-buahan yang
sangat sedap. Karena kebun ini atau kebun buah-buahan ini adalah dia sendiri,
maka dia di sini memanggil kekasihnya untuk datang dan menikmati buah-buahan
itu yang memang merupakan hak dari sang mempelai laki-laki. Mempelai perempuan
berharap supaya angin sejuk bertiup ke kebunnya. Tampaknya, angin sejuk tadi
juga membawa serta bau rempah-rempah yang semerbak. Dua jenis angin, angin
utara yang sejuk dan angin yang selatan panas, diundang untuk membawa kata-kata
yang manis kepada kekasihnya yang ada di tempat yang jauh.[11] Angin
sejuk membawa suasana yang indah dan wewangian semerbak. Di ayat ini mempelai perempuan
datang ke kebunMemang di ayat ini mempelai
perempuan yang memuji, tetapi yang paling penting adalah kesamaan lagu Riwut Karuhei dengan ayat ini sama-sama
memerintahkan angin untuk menyampaikan perasaan mereka. Dapat dilihat bahwa
melalui alam rasa kerinduan yang tidak tersampaikan karena jarak.
Dari lagu Riwut Karuhei terdapat pujian yang tulus, eksklusif, hanya untuk
kekasihnya seorang. Kedekatan dan keintiman sepasang kekasih menciptakan
momen-momen yang tidak terlupakan sehingga saling keterkenalan satu sama lain
semakin dekat.
Relevansi
Menurut saya, lagu ini tidak hanya memiliki unsur
seni. Di dalamnya juga terdapat unsur
Teologi dan Spiritualitas. Spiritualitas dalam lagu Riwut Karuhei itu sama dengan pengalaman spiritual yang terjadi di
alam. Sama halnya dengan penjelasan Martin Buber soal relasi I-It. Memang relasi I-It sering
disalahartikan karena sikap manusia yang serakah dan menguasai It. Buber juga mengungkapkan relasi buruk
antara manusia dengan alam jika manusia tidak bersikap serakah dan merusak.
Maka seperti lagu Riwut Karuhei yang
masih mempercayakan alam untuk mengantarkan kerinduan kepada kekasihnya,
berkaitan erat dengan ungkapan dalam
Kidung Agung 4:16 yang meminta angin untuk menyampaikan perasaan dan wangi-wangian
semerbak dari buah di kebun agar sampai
kepada kekasihnya memiliki unsur yang sama.
Daftar Pustaka
Buber, Martin. I and Thou. United
States of America: Library of Congress Catalog Card. 1958.
Lembaga Alkitab Indonesia. Tafsiran Alkitab Masa Kini 2,
Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina kasih/OMF, 1976, 359.
Rice, Howard L. Reformed Sprituality: An Introduction for
believers. United States of America: Westminster/Jhon Knox Press. 1991.
Riwut, Tjilik. Maneser Panatau Tatu Hiang Menyelami Kekayaan Leluhur. Sanaman
Mantikei. Penyunting: Dra. Nila Riwut.
Soelle, Dorothe. The Silent Cry: Mysticism and Resistance. Diterjemahkan oleh Barbara Rumscheidt dan
Martin Rumscheidt. Minneapolis: Fortress Press. 2001.
Singgih, Emanuel Gerrit. Sebuah Pemahaman Posmodern Terhadap “Dunia Roh” dalam Konteks
Orang-orang Kristen di Indonesia Masa Kini (artikel).
[1] Tjilik Riwut, Maneser Panatau
Tatu Hiang Menyelami Kekayaan Leluhur, 346.
[2] Howard L. Rice, Reformed Spiritualty: An Introduction for
Believers, US: Westminster/ John Knox Press, 1991, 8.
[3] Howard L. Rice, Reformed Spiritualty: An Introduction for
Believers, US: Westminster/ John Knox Press, 1991. 30-35.
[4] Martin Buber, I and Thou, United States of America:
Library of Congress Catalog Card, 1958. 6.
[5]
Dorothe Soelle, The silent cry Mysticism and Resistance, Diterjemahkan oleh Barbara Rumscheidt dan
Martin Rumscheidt. Minneapolis: Fortress Press,
2001, 30.
[6] Howard L. Rice, Reformed Spiritualty: An Introduction for
Believers... 35.
[7] Lihat tulisan Emanuel Gerrit
Singgih, Sebuah Pemahaman Posmodern
Terhadap “Dunia Roh” dalam Konteks Orang-orang Kristen di Indonesia Masa
Kini...4.
[8]
Tjilik Riwut, Maneser Panatau Tatu Hiang Menyelami Kekayaan Leluhur, Sanaman Mantikei, 463-464.
[9]
Dorothe Soelle, The silent cry
Mysticism
and Resistance, Diterjemahkan
oleh Barbara Rumscheidt dan Martin Rumscheidt. Minneapolis: Fortress
Press, 2001, 99.
[10] Dorothe Soelle, The silent cry Mysticism and Resistance,...110-111.
[11]
Lembaga Alkitab Indonesia. Tafsiran
Alkitab Masa Kini 2, Jakarta:
Yayasan Komunikasi Bina kasih/OMF, 1976, 359.
Komentar
Posting Komentar