Media
Sosial Memicu Penurunan Mental (Emotional
Breakdown)
All people feel some
degree of stress in their life at one time or another, but an emotional
breakdown is different.
Semua orang merasakan
beberapa tingkat stres dalam hidup mereka pada satu waktu atau yang lain,
tetapi gangguan emosi berbeda. Tidak
bisa dipungkiri kini manusia di era digital tidak bisa lepas dari yang namanya
teknologi yang memudahkan para penggunanya untuk melakukan aktivitas. Smartphone adalah alat elektronik yang
paling mudah digunakan, paling mudah dibawa dalam genggaman. Hanya dengan benda
itu semua orang dapat mencari informasi, memberi informasi dan memainkan apa
saja dari aplikasi yang tersedia. Kecanggihan dari teknologi smarthphone itu sendiri selalu
berkembang dalam waktu yang sangat signifikan. Perkembangan teknologi yang
semakin maju membuat semua orang menjadi bergantung dengan alat ini. Sesuai
dengan generasinya memang sangat mendominasi anak-anak usia remaja dan pemuda
menghabiskan harinya hanya dengan bermain dengan smartphone. Menurut detikInet
pengguna internet Indonesia didominasi oleh kaum milenial, data terbaru dari sampel yang dikumpulkan hasil
menunjukkan 95% generasi milenial yang merupakan kelompok orang yang lahir pada awal
tahun 1980-an hingga awal 2000-an. Usia milenial lainnya yang merajai posisi
teratas lainnya soal pengguna internet di Indonesia ini, yaitu 20-24 tahun.[1]
Dampak
negatif dari penggunaan smartphone tak
dapat dihindari. Salah satunya adalah emotional
breakdown yang membawa banyak lagi penyakit-penyakit yang lain seperti
kecemasan sosial (social anxienty),
depresi dan penyebab bunuh diri (suicide).
Paper ini akan membahas seputar dampak dari penggunaan media sosial dan bagaimana gereja menyikapinya.
Kata
kunci: Media sosial, emotional breakdown,
kecemasan sosial (social anxienty),
depresi, suicide.
A. Masalah yang disoroti
1. Penggunaan
media sosial yang berlebihan memicu emotional breakdown. Tubuh dapat
memberitahukan jika kondisinya sudah tidak bisa dikendalikan lagi.
2. Detak
jantung yang tidak beraturan dan perasaan yang kalut, sedih tiba-tiba, stress
akut. Sulit untuk menenangkan diri. Sakit kepala yang teramat sangat.
3. Stress
yang menyebabkan insomnia. Tetapi juga bisa merasa kurang tidur padahal waktu
yang dihabiskan hanya untuk tidur. Konsentrasi menurun.
4. Rasa
cemas yang berubah menjadi rasa takut.
Saya
mencoba untuk melihat bagaimana orang bisa mengalami hal seperti ini, tidak
mengenal usia, tidak mengenal itu anak-anak maupun orang dewasa, remaja maupun
pemuda. Jabatan dan pekerjaan apapun. Selebriti sekalipun mengalaminya,
contohnya adalah Selena Gomez.[2]
Ada
juga yang dikenal sebagai penyakit fobia media sosial, ia aktif di media sosial
tetapi tidak siap dengan konsekuensi yang akan diterima setelah itu.
Media
sosial adalah tempat di mana setiap orang bebas untuk berekspresi. Di mana
cemoohan orang-orang tidak bisa dihindari, jika itu terkait hal yang tidak
sesuai dengan pendapat-pendapat para pengguna media sosial lain.
Media
sosial memicu depresi dan akibatnya banyak yang bunuh diri hanya karena
komentar-komentar jahat. Negara Korea adalah negara yang tingkat bunuh dirinya
paling tinggi. Baru-baru saja selebriti yang termasuk mantan member f(x) girlband Korea bunuh diri karena karena
begitu banyak komentar-komentar dari para haters
tentang dirinya. Ia adalah selebriti sejak ia masih belia, menjadi pemain
di berbagai drama film. Meninggal 14 Oktober 2019, manajernya sendiri dari SM entertaiment yang mengkonfirmasi bahwa
ia mengantung diri di lantai dua apartemennya sendiri. Ini adalah hal yang
serius, mental seseorang dapat jatuh hanya karena komentar-komentar di media
sosial. Pemerintahan Korea bahkan sampai merancangkan Undang-undang anti bully (Sulli Law).[3]
Media
sosial menjadi tempat orang bersembunyi dari kenyataan. Seolah-olah dia senang
dan bahagia dengan kehidupannya. Akan tetapi tidak ada hal yang mudah juga bagi
mereka. Mereka pun bisa mengungkapkan “aku pura-pura bahagia”, “jangan terlalu
keras kepada ku, aku bukan orang jahat”.
Tidak
lama seorang atlet renang asal Malaysia juga bunuh diri karena penyakit yang
sama, diperkirakan juga karena depresi. [4]
Namanya adalah Ayrton Lim.
Emotional breakdown membawa
sejuta penyakit yang dipengaruhi media sosial. Tidak bisa dipungkiri bahwa kita
akan terkena fase emotional breakdown.
B. Permasalah etis Teologis
1. Bergereja
sekarang orang bisa melalui media sosial. Iman tidak didapatkan dengan pergi ke
gereja: Fenomena Virtual Church. Gereja harus bagaimana? Bagaimana gereja menyikapi
hal ini?
2. Alkitab
dalam bentuk buku digantikan oleh aplikasi di dalam smartphone.
3. Penggunaan
sosial media di gereja mengganggu fokus jemaat. Orang menjadi tidak mau ke
gereja karena asik dengan media sosial di smartphone-nya.
Tidak hanya itu saja, games juga
menjadi pemicu. Orang-orang menjadi asik dengan apa yang ada di
genggamannya.
C. Pengaruh media sosial
1. Banyaknya
orang bunuh diri karena pembicaraan orang lain di media sosial. Kasus bullying lewat media sosial. Bukan hanya pedang dan pisau saja yang
dapat membunuh karakter seseorang tetapi juga perkataan.
2. Emotional breakdown. Membuat
depresi disebabkan karena kepribadian
yang lemah, takut jika tidak diterima. Jiwa yang kacau. Kebingungan hingga tak
berdaya. Membunuh secara perlahan. Siapa yang bertanggung jawab? Gereja harus bagaimana?
3. Kecemasan,
stress akut, insomnia, kepanikan.
Smartphone menjadi
sebuah kebutuhan dan keharusan. Seperti dua sisi uang koin yang tidak bisa
dipisahkan. Selain banyak sekali aplikasi-aplikasi media sosial yang dapat
memberikan kepuasan tersendiri bagi yang menggunakannya. Media sosial menjadi
tempat untuk menunjukkan diri, berbisnis, bermain dan lain sebagainya. Beberapa
contoh media sosial dengan pengguna terbanyak yaitu Instagram dan Youtube. Aplikasi
lain yang sangat penting untuk berkomunikasi dan juga sebagai media penyebaran
informasi. Informasi yang terbaru dan viral
sangat mudah menyebar melalui media sosial. Hanya dalam waktu beberapa
menit setelah kejadian, setiap orang dapat menikmati informasi tersebut.
Tentu
saja Whatsapp, Messengers, Line, Facebook
dan lain sebagainya dipakai untuk kelancaran berkomunikasi. Kecanggihan
dari smartphone ini tentu saja sudah
bisa menghitung aplikasi mana yang paling sering digunakan dalam sehari.
Penggunaan untuk data internet pun dapat dilihat berapa megabyte per harinya. Media sosial juga menyediakan hal-hal yang
menyenangkan, berbagai macam fitur sehingga pengguna tidak cepat bosan,
filter-filter menarik dan kekinian.
Tentu
ada dampak dibalik penggunaan smartphone
ini. Meskipun dampak positif yang lebih banyak dilihat, yang kemudian dampak
negatif tidak terlalu digubris oleh pengguna smartphone. Kesehatan mental bisa sangat berpengaruh karena
banyaknya waktu habis hanya untuk bermain dengan smartphone. Kecemasan atau penurunan emosi adalah salah satunya, ia
dapat dideskripsikan sebagai kondisi mental yang sedang stabil. Selama masa
ini, penderita tidak kenal siapa tidak dapat menangani kehidupannya sendiri.
Penggunanya
merasa bahwa mereka memiliki banyak teman, merasa ada kebersamaan padahal bisa
saja tidak saling mengenal, memiliki komunitas, persahabatan. Tetapi semua itu
hanyalah ilusi. Sebenarnya smartphone adalah
perangkat khayalan. Manusia diperbudak oleh kecanggihan-kecanggihan di
dalamnya. Tidak ada persahabatan yang sungguh nyata.
Emotional
Breakdown adalah sebuah penyakit yang mudah dikenali. Mood seseorang yang tiba-tida
berubah, menjadi paranoid dan lain sebagainya. Media sosial adalah salah satu
pemicu stress dan kecemasan yang berlebihan.
D.
Analisis-analisis terhadap emotional breakdown
secara akademis dan secara psikologis
Disini saya akan mencoba melihat
apa pendapat beberapa orang dari segi sosiologis tentang Emotional Breakdown. Dari salah satu tulisan mengenai Analisis
Gangguan Mental demikian: Kecemasan pasti terjadi di setiap
pribadi orang. Dalam hidup selalu ada konflik batin yang tidak bisa dihindari.
Hidup selalu punya dinamika yang tidak tetap. Tubuh menjadi alarm jika ada
sesuatu yang tidak normal pada diri seseorang. [5]
Dia juga memberikan pendapat dari Freud yang membedakan kecemasan menjadi dua
yaitu kecemasan objektif dan kecemasan neurotik. Dijelaskan bahwa kecemasan
objektif itu merupakan respon yang konkret ketika dalam bahaya, ini berkaitan
dengan lingkungan., sedangkan kecemasan neurotik merupakan kecemasan di bawah
alam sadar karena konflik yang terjadi tidak terjadi secara konkret. [6]
E.
Akar secara psikologis tentang emotional
breakdown
Ahli psikologi
berpendapat bahwa depresi adalah suatu respon normal terhadap stress kehidupan.
Ada situasi-situasi yang menyebabkan orang bisa menjadi depresi. Pekerjaan,
sakit hati, gagal dan lain sebagainya. Namun jika tidak dapat pulih itulah
bukanlah suatu kewajaran.[7]
Sebuah artikel
membagi dua soal emotioal breakdown berikut ini:
a.
Faktor biologis (atau disebut gangguan mental organik):
b.
Gangguan
pada fungsi sel saraf di otak.
e.
Kerusakan
otak akibat terbentur atau kecelakaan.
f.
Kekurangan
oksigen pada otak bayi saat proses persalinan.
g.
Memiliki
orang tua atau keluarga penderita gangguan mental.
h.
Penyalahgunaan
NAPZA dalam jangka panjang.
i.
Kekurangan
nutrisi.
b. Faktor psikologis:
2. Kehilangan orang
tua atau disia-siakan di masa kecil.
3. Kurang mampu
bergaul dengan orang lain.
4. Perceraian atau
ditinggal mati oleh pasangan.
5. Perasaan rendah
diri, tidak mampu, marah, atau kesepian.[8]
Saya melihat bahwa, memang
tidak dari kacamata medis belum menyinggung soal emotional breakdown yang disebabkan oleh media sosial. Akan tetapi,
dari segi psikologis di atas peristiwa traumatik dapat dialami orang dari media
sosial, apalagi pelecehan seksual. Hal ini paling sering terjadi dewasa ini, ujaran-ujaran
yang menanggapi sebuah gambar yang diposting yang dinilai seksi misalnya, ini
tidak bisa dihindari jika pengguna dari media sosial itu sendiri tidak bijak.
F.
Media Sosial dari Kacamata
Teologi
Perlu juga untuk melihat
bagaimana pendapat dari segi teologi
tentang media sosial berikut ini:
Era digital merupakan saat di mana
partisipasi setiap orang diundang dan diberi ruang yang luas. Komunikasi itu
sesungguhnya bersifat dua arah, bukan searah. Secara sederhana: ada pesan yang
disampaikan dan ada tanggapannya. Tanpa partisipasi, tidak ada kesalingan dan
kebersamaan, dan karenanya tidak ada komunitas atau persekutuan. Media sosial,
seperti Facebook, Twitter, Instagram,
WhatsApp, Messenger, Linkedln
dirancang dengan konsep interkonektivitas dan jejaring dengan menyediakan ruang
interaksi atau partisipasi setiap orang. Prinsip partisipasi yang berlaku di
dunia nyata, juga berlaku di dunia maya.
Media sosial pada dasarnya
merupakan penerapan sekaligus perluasan prinsip interkonektivitas, interaksi,
dan partisipatoris yang memperlihatkan manusia sebagai makhluk sosial (Kejadian
1: 27-28). Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang bertumbuh,
berkembang, dan dewasa dalam hubungannya dengan sesamanya. Penciptaan telah
menunjukkan sifat partisipatoris dan itu berlangsung dalam hubungan dengan
Allah dan dengan sesama manusia.[9]
Dewasa ini, orang lebih suka
membagikan ayat-ayat dari Alkitab yang mereka sukai di media sosial.
Dikarenakan mewakili perasaan atau sekedar ingin berbagi. Hal ini lebih menarik
daripada mendengarkan ayat yang dipilih oleh pendeta setiap hari Minggu. Selain
itu juga karena banyak ayat-ayat Alkitab yang membuat perasaan orang yang
awalnya cemas dan khawatir lebih menarik daripada datang kepada Tuhan dan
berdoa atas apa yang dirasakan.[10]
G. Pendekatan Revisi Korelasional
Mengadvokasi
kompleksitas nilai-nilai percakapan antara pertanyaan dan wawasan dari tradisi
keagamaan dan budaya populer dengan mendasari diri pada sumbangsih nilai dari
keduanya.[11]
Saya
akan memakai pendekatan ini dengan melihat dari kacamata psikologi tentang emotional breakdown dan apa kata para
ahli tentang media sosial. Saya juga akan melihat kacamata teologi tentang media
sosial. Kemudian akan memberikan sumbangsih dari kedua pandangan tersebut.
H. Kesimpulan
Penggunaan media
sosial di lingkup gereja bagi saya adalah kewajaran. Tidak bisa dihindari lagi
perkembangan teknologi informasi dewasa ini. Media sosial adalah wadah banyak
orang berekspresi, berkomunikasi dan berkomunitas melalui itu. Orang bebas
berelasi dengan komunitas di lingkup gerejanya, berkomunikasi dan sharing jarak
jauh. Jarak bukan lagi halangan karena jangkauannya sudah tidak ada batasan.
Ada kebebasan bagi
siapa saja. Saya menyoroti kata salah satu artikel berikut ini:
Injil Lukas (4: 18) mengatakan
bahwa Yesus “...datang untuk memberitakan pembebasan untuk orang-orang
tawanan... untuk membebaskan orang-orang tertindas...” Tawanan di sini bisa
berupa ketakutan untuk bersuara, berpendapat berbeda, atau menyatakan
kebenaran. Sedangkan penindasan itu bentuknya bisa berupa teror, ancaman,
persekusi terhadap orang-orang yang dipandang bersuara kritis dan berbeda
meskipun mereka menyampaikan kebenaran dan keadilan.[12]
Meskipun ada kebebasan akan tetapi
gereja harus bijak dalam menyikapi akan hal ini. Media sosial menarik perhatian
umat lebih banyak daripada pelayanan dari gereja itu sendiri. Sehingga
komunitas real dalam gereja itu tidak
berfungsi dengan baik. Selain itu, kita dapat melihat media sosial mengubah karakter
umat Kristen. Bisa dikatakan bahwa orang
hidup di dunia nyata akan tetapi jiwanya ada di media sosial. Orang
menjadi fake, narsis, berburu likes dari media sosial. Seringkali
aktivitas lain menjadi terabaikan karena asyik dengan media sosial.
Dewasa ini penting
sekali untuk berbagi apa saja yang dilakukan, baik itu aktivitas sehari-hari
ataupun aktivitas dalam gereja itu sendiri. Banyak fenomena yang terjadi, orang
mengambil gambar dari apa yang ditulis di roti untuk Perjamuan Kudus. Meskipun
sesungguhnya ini sedikit mengganggu.
Hal penting adalah
semua orang dapat mengalami yang namanya emotional breakdown seperti
yang sudah dijelaskan kalau orang tidak bisa lagi mengatasi stressnya sendiri. Kembali
kepada persoalan media sosial yang memicu emotional breakdown saya mau kembali pada akar psikologis yang
saya kutip sebelumnya, bahwa pengalaman traumatik dapat dialami dari aktifnya
seseorang yang tidak bijak menggunakan media sosialnya. Selain itu juga,
penggunaan media sosial yang tidak ada batasan waktu juga dapat memicu emotional
breakdown karena memang media sosial menarik penggunanya untuk terus
mengekspresikan diri.
Emosi seseorang dapat dikendalikan oleh media
sosial. Orang bisa saja pura-pura bahagia di media sosial padahal kenyataan
yang terjadi mereka tidak sebahagia di media sosial. Mendapatkan perhatian dari
teman-teman palsu. Orang-orang yang tidak pernah ditemui. Akan tetapi yang seperti itulah yang diburu dan dicari di media
sosial.
Bagaimana gereja
menyikapi ini? Media sosial juga bisa menjadi jawaban. Melalui komunitas media
sosial bisa digunakan untuk saling sharing juga soal kesehatan
mentalnya. Kehadiran dari orang-orang sekitar sangat penting untuk menenangkan
pikiran dan jiwa. Bisa saja dengan berbagi kebahagian-kebahagian kecil dengan
mengajak berkumpul dan melakukan aktivitas yang menyenangkan. Setiap orang
pasti ada masalah tapi menjadi pendengar bagi orang lain sudah cukup dan
menghargai apa saja yang diungkapnya sehingga orang juga bisa memiliki rasa
kekeluargaan yang hangat dari komunitas gerejanya sendiri.
Daftar
Pustaka
Artikel dari internet
Agus Tri Haryanto. “Pengguna Internet
Indonesia Didominasi Milenial”. “detikInet”. https://inet.detik.com/telecommunication/d-4551389/pengguna-internet-indonesia-didominasi-milenial.
(diakses 05/11/2019 pukul 07:45 WIB).
Mardyana.
“Alami Emotional Breakdown, Selena Gomez Masuk Rumah Sakit untuk Kedua Kalinya
dalam Seminggu”. “Womantalk”. https://womentalk.com/celebrity/articles/alami-emotional-breakdown-selena-gomez-masuk-rumah-sakit-untuk-kedua-kalinya-dalam-seminggu-A2JZY (diakses pada
07 November 2019 pukul 14.42 WIB).
Thea
Fathanah Arbar. “Korea Bahas RUU Anti Bully “Sulli Law” Bulan Depan”. “CNBC
Indonesia”. http://www.cbbcindonesia.com/lifestyle/20191105210807-33-112950/korea-bahas-ruu-anti-bully-sulli-law-bulan-depan (diakses pada
hari Kamis, 07 November 2019, pukul 14.23 WIB).
Murni
Azman. “Atlet Renang Post Kata-kata Akhir Di IG Sebelum Ditemui Mati Bunuh Diri
Kerana Kemurungan”. “SAYS”. https://says.com/my/seismik/atlet-renang-post-kata-kata-di-ig-sebelum-ditemui-mati-bunuh-diri-kerana-kemurungan?utm_source=says_mobile&utm_medium=whatsapp&utm_campaign=mobile_share (diakses pada 07
November 2019 pukul 14.35 WIB).
Kemal Al Fajar. “Tips
Mengatasi Nervous Breakdown Gara-gara Kelewat Stres”. Hello Sehat.
https://hellosehat.com/hidup-sehat/mengatasi-nervous-breakdown-adalah/. (diakses pada Rabu, 20 November 2019, pukul 21.09 wib).
dr. Tjin Willy. “Gangguan Mental”. ALODOKTER. https://www.alodokter.com/kesehatan-mental.
(diakses pada Rabu, 20 November 2019).
Chris
Stokel-Walker. “How smartphones and social media are changing Christianity”.
BBC Future. https://www.bbc.com/future/article/20170222-how-smartphones-and-social-media-are-changing-religion. (diakses pada 20 November 2019,
pukul 21:26 wib).
Buku
Lynch, Gordon. Understanding Theology and Populer Culture. Malden,
MA: Wiley-Blackwell. 2015.
Jurnal
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia. Warga Gereja Merespon Revolusi Media Sosial :Panduan
Bermedia Sosial. Jakarta,
2018.
Pratikto,
Tantowi Gilang. “Analisis Gangguan
Kepribadian Tokoh Blanche Dalam Naskah Pusaran karya Tennessee Williams
terjemahan Toto Sudarto Bachtiar”. Skripsi S.Sn., Jakarta. 2012.
Pesan
pastoral dalam penggunaan media sosial.
Fenomena
tidak terjadi di gereja.
Not playing at
the same ring.
Manusia
yang hidup dalam populer culture itu.
Ada
sesuatu yang berbeda.
Awareness
tentang manusia. Punya culture creater atau culture followers
What
the bible say dari sisi aware, kita bukan berasal dari dunia.
Berubah,
jangan sama seperti dunia,
Eksistensi
diri kita ditentukan oleh follower kita
Apa
benar kamu berelasi dengan likers atau followers mu itu.
Hubungan
fana, hubungan yang real dengan para followers.
Komenan
orang maya. Bukan urusan orang followers.
Selalu
ada dalam pro dan kontra. Wisdomnya apa kalau dari sini.
Filsafat
relasi, filsafat eksistensi.
Perspektif
relasi atau eksistensi.
Belum
tentu semua orang yang mengalami...
Untuk
siapa?
Relenvasi
soal public figure. Bisa ndak?
Cuek
is the best.
Seorang
pendeta berkhotbah dengan kata-kata populer. Nah kata-katanya itu berita
kenabian atau apa?
Berbeda
dengan seorang teolog yang benar-benar belajar firman Tuhan.
Ada
banyak orang yang mau menjadi populer dengan menghalalkan segala cara agar
menjadi populer.
Media
sosial menjadi alat kontrol untuk dipakai di depan public.
Demi
kepentingan publikasi dan lain sebagainya, dia harus terus menjadi orang yang
super human.
Bukan
untuk semua orang.... public figure yang bersosial media (relevansi)
Manusia
yang aktif dan interaktif dengan media sosial (umum).
Jangan
terlalu luas permasalahannya. Sehingga tidak menemukan permasalahan. Harus
lebih spesifik.
Sistem
referensi.
Di
sini dengan mengutip,
Menggiring
pembaca
Tentang
yang terakhir di atas
[1]
Agus Tri Haryanto, “Pengguna Internet
Indonesia Didominasi Milenial”, “detikInet”, Kamis,
16 Mei 2019, diakses 05/11/2019 pukul 07:45 WIB. https://inet.detik.com/telecommunication/d-4551389/pengguna-internet-indonesia-didominasi-milenial.
[2] Mardyana, “Alami Emotional
Breakdown, Selena Gomez Masuk Rumah Sakit untuk Kedua Kalinya dalam Seminggu”,
“Womantalk”, 12 Okotober 2018, diakses pada 07 November 2019, pukul 14.42 WIB. https://womentalk.com/celebrity/articles/alami-emotional-breakdown-selena-gomez-masuk-rumah-sakit-untuk-kedua-kalinya-dalam-seminggu-A2JZY
[3] Thea Fathanah Arbar, “Korea
Bahas RUU Anti Bully “Sulli Law” Bulan Depan”, “CNBC Indonesia”, 05 November
2019, diakses pada hari Kamis, 07 November 2019, pukul 14.23 WIB. http://www.cbbcindonesia.com/lifestyle/20191105210807-33-112950/korea-bahas-ruu-anti-bully-sulli-law-bulan-depan
[4] Murni Azman, “Atlet Renang Post
Kata-kata Akhir Di IG Sebelum Ditemui Mati Bunuh Diri Kerana Kemurungan”,
“SAYS”, 25 Oktober 2019, diakses pada 07 November 2019 pukul 14.35 WIB. https://says.com/my/seismik/atlet-renang-post-kata-kata-di-ig-sebelum-ditemui-mati-bunuh-diri-kerana-kemurungan?utm_source=says_mobile&utm_medium=whatsapp&utm_campaign=mobile_share
[5] Tantowi Gilang Pratikto, “Analisis Gangguan Kepribadian Tokoh Blanche
Dalam Naskah Pusaran karya Tennessee Williams terjemahan Toto Sudarto
Bachtiar”, (Skripsi S.Sn., Jakarta, 2012), 32.
[6] Tantowi Gilang Pratikto, “Analisis Gangguan Kepribadian Tokoh Blanche
Dalam Naskah Pusaran karya Tennessee Williams terjemahan Toto Sudarto
Bachtiar”,...32-33.
[7]
Kemal Al Fajar, “Tips Mengatasi Nervous Breakdown Gara-gara Kelewat Stres”, Hello Sehat,
Juni 26, 2018, diakses pada Rabu, 20 November 2019, pukul 21.09 wib, https://hellosehat.com/hidup-sehat/mengatasi-nervous-breakdown-adalah/.
[8]
dr. Tjin Willy, “Gangguan
Mental”, ALODOKTER, 23 Agustus 2019, diakses pada Rabu, 20
November 2019, https://www.alodokter.com/kesehatan-mental.
[9] Persekutuan
Gereja-gereja di Indonesia, Warga Gereja Merespon Revolusi Media Sosial :Panduan
Bermedia Sosial, Jakarta, 2018, 11.
[10] Chris
Stokel-Walker, “How smartphones and
social media are changing Christianity”, BBC Future, 23 Februari 2017,
diakses pada 20 November 2019, pukul 21:26 wib, https://www.bbc.com/future/article/20170222-how-smartphones-and-social-media-are-changing-religion.
[11] Gordon Lynch, Understanding Theology and Populer Culture, Malden,
MA: Wiley-Blackwell, 2015, 102.
[12] Persekutuan Gereja-gereja di
Indonesia, Warga Gereja Merespon Revolusi Media Sosial :Panduan
Bermedia Sosial, Jakarta, 2018, 12.
Komentar
Posting Komentar