Langsung ke konten utama

Selena Gomez alami Emotional Breakdown


Universitas Kristen Duta Wacana
Nama                                      : Winda Patrika Embun Sari, S.Th
NIM                                        : 50190056
Mata Kuliah/Tugas               : Budaya Populer/ Makalah Akhir
Dosen Pengampu                  : Yahya Wijaya, M.Th, Ph.D
 

Public Figure Mengalami Emotional Breakdown dipicu oleh Media Sosial

Pendahuluan
            Dewasa ini, di mana saja, kapan saja, orang-orang selalu membawa smartphone  dalam genggaman mereka. Smartphone adalah benda yang sangat penting zaman sekarang. Tidak bisa dipungkiri kini manusia di era digital tidak bisa lepas dari yang namanya teknologi yang memudahkan para penggunanya untuk melakukan aktivitas. Smartphone adalah alat elektronik yang paling mudah digunakan, paling mudah dibawa dalam genggaman. Hanya dengan benda itu semua orang dapat mencari informasi, memberi informasi dan memainkan apa saja dari aplikasi yang tersedia. Kecanggihan dari teknologi smarthphone itu sendiri selalu berkembang dalam waktu yang sangat signifikan. Perkembangan teknologi yang semakin maju membuat semua orang menjadi bergantung dengan alat ini. Sesuai dengan generasinya memang sangat mendominasi anak-anak usia remaja dan pemuda menghabiskan harinya hanya dengan bermain dengan smartphone. Menurut detikInet pengguna internet Indonesia didominasi oleh kaum milenial, data terbaru dari sampel yang dikumpulkan hasil menunjukkan 95% generasi milenial  yang  merupakan kelompok orang yang lahir pada awal tahun 1980-an hingga awal 2000-an. Usia milenial lainnya yang merajai posisi teratas lainnya soal pengguna internet di Indonesia ini, yaitu 20-24 tahun.[1] Public figure tentu membutuhkan pendukung sesuai dengan konteks zamannya dan media sosial adalah wadahnya. Tetapi media sosial tidak selalu membawa dampak yang baik. Bagaimana public figure menggunakan media sosial dengan tidak mengganggu kesehatan mental mereka? Semua orang merasakan beberapa tingkat stres dalam hidup mereka pada satu waktu atau yang lain, tetapi gangguan emosi berbeda.
            Tulisan ini mencoba untuk melihat seberapa besar pengaruh media sosial bagi public figure sehingga memicu emotional breakdown bagi diri mereka. Saya akan menggunakan pendekatan revisi korelasional, yang mengadvokasi kompleksitas nilai-nilai percakapan antara pertanyaan dan wawasan dari tradisi keagamaan dan budaya populer dengan mendasari diri pada sumbangsih nilai dari keduanya.[2] Saya akan memakai pendekatan ini dengan melihat dari kacamata psikologi tentang emotional breakdown dan apa kata para ahli tentang media sosial. Saya juga akan melihat kacamata teologi tentang media sosial dan beberapa pemahaman soal emotional breakdown. Kemudian akan memberikan sumbangsih dari kedua pandangan tersebut.
Pembahasan
            Seorang public figure menjadi terkenal menjadi terkenal dikarenakan media sosial. Dewasa ini media sosial menjadi hal yang sangat penting sekali bagi public figure. Media sosial menjadi wadah untuk menuangkan kreasi-kreasi orang-orang yang kreatif.
Ada beberapa pertanyaan sebelum masuk lebih jauh ke dalam pembahasan.
1.      Mengapa media sosial dapat memicu emotional breakdown?
2.      Siapa saja yang cenderung terkena emotional breakdown?
3.      Bagaimana mencegah emotional breakdown?
A.    Media Sosial dan Emotional Breakdown
1.      Media Sosial
Smartphone menjadi sebuah kebutuhan dan keharusan. Seperti dua sisi uang koin yang tidak bisa dipisahkan. Selain banyak sekali aplikasi-aplikasi media sosial yang dapat memberikan kepuasan tersendiri bagi yang menggunakannya. Media sosial menjadi tempat untuk menunjukkan diri, berbisnis, bermain dan lain sebagainya. Beberapa contoh media sosial dengan pengguna terbanyak yaitu Instagram dan Youtube. Aplikasi lain yang sangat penting untuk berkomunikasi dan juga sebagai media penyebaran informasi. Informasi yang terbaru dan viral sangat mudah menyebar melalui media sosial. Hanya dalam waktu beberapa menit setelah kejadian, setiap orang dapat menikmati informasi tersebut. Tentu saja Whatsapp, Messengers, Line, Facebook dan lain sebagainya dipakai untuk kelancaran berkomunikasi. Kecanggihan dari smartphone ini tentu saja sudah bisa menghitung aplikasi mana yang paling sering digunakan dalam sehari. Penggunaan untuk data internet pun dapat dilihat berapa megabyte per harinya. Media sosial juga menyediakan hal-hal yang menyenangkan, berbagai macam fitur sehingga pengguna tidak cepat bosan, filter-filter menarik dan kekinian. Namun berikut ini beberapa dampak positif dari media sosial. Jenis media sosial apapun sekarang ini dilengkapi dengan fitur komunikasi video call, voice call, dan message.
Dampak Positif Media Sosial
1.      Media sosial menjadikan setiap pengguna (user) dapat terhubung dengan orang di mana saja, kapan saja dan kemana saja. Sangat praktis karena terdapat dalam smartphone.
2.      Sebagai sarana untuk menyebarkan informasi yang terbaru
3.      Selain itu juga mencari informasi dalam aplikasi-aplikasi khusus. Ini menyenangkan.
4.      Aplikasi-aplikasi yang edukatif juga bisa ditemukan, jejaring pertemanan yang jauh maupun yang dekat sekarang sudah tidak ada kendala.
5.      Media sosial dapat digunakan sebagai wadah berbisnis. Media sosial memudahkan semua orang untuk bekerja tanpa harus pergi ke kantor.
6.      Orang dapat terkenal dan hanya bermodalkan media sosial.
7.      Lahirnya aksi-aksi kreatif dan media sosial menjadi wadah menyalurkan kepada setiap pengguna media sosial di seluruh dunia.

Dampak positif di atas akan membawa kepada keuntungan bagi yang menggunakan sosial media dengan bijaksana. Public figure yang terkenal tentu saja sangat memerlukan media sosial agar karya-karyanya dapat terus dilihat orang banyak.
Tentu ada dampak dibalik penggunaan smartphone ini. Meskipun dampak positif yang lebih banyak dilihat, yang kemudian dampak negatif tidak terlalu digubris oleh pengguna smartphone. Kesehatan mental bisa sangat berpengaruh karena banyaknya waktu habis hanya untuk bermain dengan smartphone. Kecemasan atau penurunan emosi adalah salah satunya, ia dapat dideskripsikan sebagai kondisi mental yang sedang stabil. Selama masa ini, penderita tidak kenal siapa tidak dapat menangani kehidupannya sendiri. Penggunanya merasa bahwa mereka memiliki banyak teman, merasa ada kebersamaan padahal bisa saja tidak saling mengenal, memiliki komunitas, persahabatan. Tetapi semua itu hanyalah ilusi. Sebenarnya smartphone adalah perangkat khayalan. Manusia diperbudak oleh kecanggihan-kecanggihan di dalamnya. Tidak ada persahabatan yang sungguh nyata.
Media sosial adalah tempat di mana setiap orang bebas untuk berekspresi. Di mana cemoohan orang-orang tidak bisa dihindari, jika itu terkait hal yang tidak sesuai dengan pendapat-pendapat para pengguna media sosial lain.  Media sosial memicu depresi dan akibatnya banyak yang bunuh diri hanya karena komentar-komentar jahat.


Dampak Negatif Media Sosial
1.    Penggunaan media sosial yang berlebihan memicu emotional breakdown. Tubuh dapat memberitahukan jika kondisinya sudah tidak bisa dikendalikan lagi.
2.    Detak jantung yang tidak beraturan dan perasaan yang kalut, sedih tiba-tiba, stress akut. Sulit untuk menenangkan diri. Sakit kepala yang teramat sangat.
3.    Stress yang menyebabkan insomnia. Tetapi juga bisa merasa kurang tidur padahal waktu yang dihabiskan hanya untuk tidur. Konsentrasi menurun.
4.    Rasa cemas yang berubah menjadi rasa takut.
5.    Banyaknya orang bunuh diri karena pembicaraan orang lain di media sosial. Kasus bullying lewat media sosial. Bukan hanya pedang dan pisau saja yang dapat membunuh karakter seseorang tetapi juga perkataan.
2.      Emotional Breakdown
Emotional Breakdown adalah sebuah penyakit yang mudah dikenali. Mood seseorang yang tiba-tida berubah, menjadi paranoid dan lain sebagainya. Emotional breakdown  bisa dikatakan depresi disebabkan karena kepribadian yang lemah, takut jika tidak diterima. Jiwa yang kacau. Kebingungan hingga tak berdaya. Kecemasan, stress akut, insomnia, kepanikan. Media sosial adalah salah satu pemicu stress dan kecemasan yang berlebihan.

B.  Public Figure Sasaran Emotional Breakdown
Saya mencoba untuk melihat bagaimana orang bisa mengalami hal seperti ini, tidak mengenal usia, tidak mengenal itu anak-anak maupun orang dewasa, remaja maupun pemuda. Jabatan dan pekerjaan apapun. Akan tetapi sesuai dengan topik bahasan maka sorotan saya adalah public figure yang mengalami emotional breakdown sampai kepada dampak dibalik penyakit tersebut. Selebriti bahkan pendeta sekalipun sekalipun mengalaminya, contoh public figure yang pertama adalah Selena Gomez.[3]



1.    Selena Gomez
Selena Marie Gomez adalah seorang penyanyi, aktris, dan produser berkebangsaan Amerika Serikat. Lahir pada tanggal 22 Juli 1992, itu berarti sekarang ia berumur 27 tahun. Seorang public figure sukses dan terkenal. Selena Gomez memulai karirnya sejak tahun 2002 dan aktif sampai sekarang. Seorang pengguna media sosial aktif dan memiliki 163 juta pengikut di instagram. Berada di peringkat kedua setelah pemain sepak bola terkenal Christiano Ronaldo. Namun pada 10 Oktober 2019, Selena Gomez harus menarik diri dari halayak publik. Ini disebabkan karena penyakit yang dideritanya. Selain penyakit lupus, gagal ginjal, Selena Gomez juga mengalami emotional breakdown. Pada tanggal 10 Oktober itu juga Selena Gomez dinyatakan mengalami depresi, karena sebelumnya pada tahun 2017, ia harus transpalasi ginjal.[4]
Ada beberapa penyebab yang diperkirakan sebagai sumber dari depresi yang Selena Gomez alami. Cibiran-cibiran orang banyak di media sosial tentang hubungannya dengan mantan kekasih yaitu Justin Bieber. Hal ini membuat Selena harus vakum dari media sosial hampir 10 bulan. Ada juga yang dikenal sebagai penyakit fobia media sosial, ia aktif di media sosial tetapi tidak siap dengan konsekuensi yang akan diterima setelah itu. Selena Gomez mengakui bahwa ia terganggu dengan kata-kata yang tidak masuk akal.
2.    Sulli F(X)
Choi Jin-ri, lebih dikenal dengan nama panggungnya Sulli adalah aktris, penyanyi, penari, model, dan MC. Ia debut saat masih kecil pada tahun 2005. Ia mantan anggota dari girlband Korea Selatan, F(X) yang bergabung pada 2009 di bawah label SM Entertainment. Ia lahir pada 29 Maret 1994.
Negara Korea adalah negara yang tingkat bunuh dirinya paling tinggi. Baru-baru saja selebriti yang termasuk mantan member f(x) girlband Korea bunuh diri karena karena begitu banyak komentar-komentar dari para haters tentang dirinya. Ia adalah selebriti sejak ia masih belia, menjadi pemain di berbagai drama film. Meninggal 14 Oktober 2019, manajernya sendiri dari SM entertaiment yang mengkonfirmasi bahwa ia mengantung diri di lantai dua apartemennya sendiri. Ini adalah hal yang serius, mental seseorang dapat jatuh hanya karena komentar-komentar di media sosial. Pemerintahan Korea bahkan sampai merancangkan Undang-undang anti bully (Sulli Law).[5]
Media sosial menjadi tempat orang bersembunyi dari kenyataan. Seolah-olah dia senang dan bahagia dengan kehidupannya. Akan tetapi tidak ada hal yang mudah juga bagi mereka. Mereka pun bisa mengungkapkan “aku pura-pura bahagia”, “jangan terlalu keras kepada ku, aku bukan orang jahat”.
3.    Ayrton Lim
            Ayrton Lim usianya baru 19 tahun, tapi ia memilih untuk mengakhiri hidupnya. Tidak lama seorang atlet renang asal Malaysia ini juga bunuh diri karena penyakit yang sama, diperkirakan juga karena depresi. [6]
Emotional breakdown membawa sejuta penyakit yang dipengaruhi media sosial. Tidak bisa dipungkiri bahwa setiap akan terkena  emotional breakdown jika tidak ada sikap yang bijaksana dalam menghadapi orang-orang yang tidak bijak dalam bermedia sosial.
4.    Jarid Wilson (Jason)
            Jarid Wilson adalah seorang pastor yang berasal dari California, Amerika Serikat. Ia bahkan terkenal sebagai orang yang advokasi kesehatan mental meninggal dunia karena bunuh diri. Pastor bernama Jarid Wilson bertugas di Gereja Harvest Christian Fellowship yang beranggotakan 15.000 orang selama 18 bulan sebelum kematiannya.
 Sebelum meninggal, Jason menulis demikian: "Mencintai Yesus tidak selalu menyembuhkan pikiran untuk bunuh diri. Mencintai Yesus tidak selalu menyembuhkan depresi. Tapi itu tidak berarti Yesus tidak menawarkan kita persahabatan dan penghiburan. Dia SELALU melakukan itu".[7]
            Depresi tidak mengenal siapapun. Seperti yang saya ungkapkan sebelumnya, stress bisa menghampiri siapa saja, akan tetapi emotional breakdown itu berbeda. Semua orang dapat melihat bahwa seorang pendeta berkhotbah dengan kata-kata populer. Media sosial juga dapat digunakan sebagai alat untuk berkhotbah, contohnya adalah aplikasi Yes He Is. Dari sini dapat dilihat, begitu banyak kata-kata motivasi yang mungkinkah itu berita kenabian atau bukan. Tujuannya yang pasti adalah menjadi populer melalui media sosial. Merupakan suatu kewajaran jika seorang pastor pun dapat memilih jalan hidupnya yaitu dengan mengakhiri hidupnya sendiri. Di media sosial memungkinkan orang banyak tidak memandang agama apapun dapat mengunjungi situs-situs jejaring media sosial tersebut. Suatu kewajaran juga kalau orang-orang radikal tidak senang dengan apa saja yang telah dipublikasikan di dalamnya. Berbeda dengan seorang teolog yang benar-benar belajar firman Tuhan. Media sosial menjadi alat kontrol untuk dipakai di depan publik. Demi kepentingan publikasi dan lain sebagainya, orang lain hadir dan membuat public figure terus menjadi orang yang super human. Di media sosial tidak dapat dipungkiri ada manusia yang sangat aktif dan interaktif tanpa memperdulikan resiko yang akan dialami orang-orang hanya oleh ujaran dan tindakannya.
C.  Media Sosial dan Emotional Breakdown Secara Psikologis dan Teologis
Disini saya akan mencoba melihat apa pendapat beberapa orang dari segi sosiologis tentang Emotional Breakdown. Dari salah satu tulisan mengenai Analisis Gangguan Mental demikian: Kecemasan pasti terjadi di setiap pribadi orang. Dalam hidup selalu ada konflik batin yang tidak bisa dihindari. Hidup selalu punya dinamika yang tidak tetap. Tubuh menjadi alarm jika ada sesuatu yang tidak normal pada diri seseorang. [8] Dia juga memberikan pendapat dari Freud yang membedakan kecemasan menjadi dua yaitu kecemasan objektif dan kecemasan neurotik. Dijelaskan bahwa kecemasan objektif itu merupakan respon yang konkret ketika dalam bahaya, ini berkaitan dengan lingkungan., sedangkan kecemasan neurotik merupakan kecemasan di bawah alam sadar karena konflik yang terjadi tidak terjadi secara konkret. [9]
Ahli psikologi berpendapat bahwa depresi adalah suatu respon normal terhadap stress kehidupan. Ada situasi-situasi yang menyebabkan orang bisa menjadi depresi. Pekerjaan, sakit hati, gagal dan lain sebagainya. Namun jika tidak dapat pulih itulah bukanlah suatu kewajaran.[10]
Sebuah artikel membagi dua soal emotioal breakdown berikut ini:
a.       Faktor biologis (atau disebut gangguan mental organik):
1.    Gangguan pada fungsi sel saraf di otak.
2.    Infeksi, misalnya akibat bakteri Streptococcus.
3.    Kelainan bawaan atau cedera pada otak.
4.    Kerusakan otak akibat terbentur atau kecelakaan.
5.    Kekurangan oksigen pada otak bayi saat proses persalinan.
6.    Memiliki orang tua atau keluarga penderita gangguan mental.
7.    Penyalahgunaan NAPZA dalam jangka panjang.
8.    Kekurangan nutrisi.
b.  Faktor psikologis:
1.      Peristiwa traumatik, seperti kekerasan dan pelecehan seksual.
2.      Kehilangan orang tua atau disia-siakan di masa kecil.
3.      Kurang mampu bergaul dengan orang lain.
4.      Perceraian atau ditinggal mati oleh pasangan.
5.      Perasaan rendah diri, tidak mampu, marah, atau kesepian.[11]

Saya melihat bahwa, memang tidak dari kacamata medis belum menyinggung soal emotional breakdown yang disebabkan oleh media sosial. Akan tetapi, dari segi psikologis di atas peristiwa traumatik dapat dialami orang dari media sosial, apalagi pelecehan seksual. Hal ini paling sering terjadi dewasa ini, ujaran-ujaran yang menanggapi sebuah gambar yang diposting yang dinilai seksi misalnya, ini tidak bisa dihindari jika pengguna dari media sosial itu sendiri tidak bijak.

Perlu juga untuk melihat bagaimana pendapat dari  segi teologi tentang media sosial berikut ini:
Era digital merupakan saat di mana partisipasi setiap orang diundang dan diberi ruang yang luas. Komunikasi itu sesungguhnya bersifat dua arah, bukan searah. Secara sederhana: ada pesan yang disampaikan dan ada tanggapannya. Tanpa partisipasi, tidak ada kesalingan dan kebersamaan, dan karenanya tidak ada komunitas atau persekutuan. Media sosial, seperti Facebook, Twitter, Instagram, WhatsApp, Messenger, Linkedln dirancang dengan konsep interkonektivitas dan jejaring dengan menyediakan ruang interaksi atau partisipasi setiap orang. Prinsip partisipasi yang berlaku di dunia nyata, juga berlaku di dunia maya.
Media sosial pada dasarnya merupakan penerapan sekaligus perluasan prinsip interkonektivitas, interaksi, dan partisipatoris yang memperlihatkan manusia sebagai makhluk sosial (Kejadian 1: 27-28). Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang bertumbuh, berkembang, dan dewasa dalam hubungannya dengan sesamanya. Penciptaan telah menunjukkan sifat partisipatoris dan itu berlangsung dalam hubungan dengan Allah dan dengan sesama manusia.[12]


Dewasa ini, orang lebih suka membagikan ayat-ayat dari Alkitab yang mereka sukai di media sosial. Dikarenakan mewakili perasaan atau sekedar ingin berbagi. Hal ini lebih menarik daripada mendengarkan ayat yang dipilih oleh pendeta setiap hari Minggu. Selain itu juga karena banyak ayat-ayat Alkitab yang membuat perasaan orang yang awalnya cemas dan khawatir lebih menarik daripada datang kepada Tuhan dan berdoa atas apa yang dirasakan.[13] 
Bergereja sekarang orang bisa melalui media sosial. Iman tidak didapatkan dengan pergi ke gereja, telah ada Virtual Church. Ini mau menunjukkan bahwa bukan hal yang mustahil jika kedepannya gereja secara konteks gedung akan ditinggalkan. Sekarang bukannya zamannya membawa Alkitab dalam bentuk buku, Alkitab telah digantikan oleh aplikasi di dalam smartphone. Bukan hal yang asing lagi saya secara pribadi merasa bahwa sebenarnya penggunaan sosial media di gereja mengganggu fokus jemaat. Orang memang pergi ke gereja tetapi asik dengan media sosial di smartphone-nya. Tidak hanya itu saja, games juga menjadi pemicu. Orang-orang menjadi lupa dengan orang di sekitar dan fokus dengan apa yang ada di genggamannya. 
D.  Relevansi
Penggunaan media sosial di lingkup gereja bagi saya adalah kewajaran. Tidak bisa dihindari lagi perkembangan teknologi informasi dewasa ini. Media sosial adalah wadah banyak orang berekspresi, berkomunikasi dan berkomunitas melalui itu. Orang bebas berelasi dengan komunitas di lingkup gerejanya, berkomunikasi dan sharing jarak jauh. Jarak bukan lagi halangan karena jangkauannya sudah tidak ada batasan.
Ada kebebasan bagi siapa saja. Saya menyoroti kata salah satu artikel berikut ini:
Injil Lukas (4: 18) mengatakan bahwa Yesus “...datang untuk memberitakan pembebasan untuk orang-orang tawanan... untuk membebaskan orang-orang tertindas...” Tawanan di sini bisa berupa ketakutan untuk bersuara, berpendapat berbeda, atau menyatakan kebenaran. Sedangkan penindasan itu bentuknya bisa berupa teror, ancaman, persekusi terhadap orang-orang yang dipandang bersuara kritis dan berbeda meskipun mereka menyampaikan kebenaran dan keadilan.[14]

Meskipun ada kebebasan akan tetapi gereja harus bijak dalam menyikapi akan hal ini. Media sosial menarik perhatian umat lebih banyak daripada pelayanan dari gereja itu sendiri. Sehingga komunitas real dalam gereja itu tidak berfungsi dengan baik. Selain itu, kita dapat melihat media sosial mengubah karakter umat Kristen. Bisa dikatakan bahwa orang  hidup di dunia nyata akan tetapi jiwanya ada di media sosial. Orang menjadi fake, narsis, berburu likes dari media sosial. Seringkali aktivitas lain menjadi terabaikan karena asyik  dengan media sosial. Dewasa ini penting sekali untuk berbagi apa saja yang dilakukan, baik itu aktivitas sehari-hari ataupun aktivitas dalam gereja itu sendiri. Banyak fenomena yang terjadi, orang mengambil gambar dari apa yang ditulis di roti untuk Perjamuan Kudus. Meskipun sesungguhnya  ini sedikit mengganggu.
Hal yang penting adalah semua orang dapat mengalami yang namanya emotional breakdown seperti yang sudah dijelaskan kalau orang tidak bisa lagi mengatasi stressnya sendiri. Kembali kepada persoalan media sosial yang memicu emotional breakdown  saya mau kembali pada akar psikologis yang saya kutip sebelumnya, bahwa pengalaman traumatik dapat dialami dari aktifnya seseorang yang tidak bijak menggunakan media sosialnya. Selain itu juga, penggunaan media sosial yang tidak ada batasan waktu juga dapat memicu emotional breakdown karena memang media sosial menarik penggunanya untuk terus mengekspresikan diri.
Emosi seseorang dapat dikendalikan oleh media sosial. Orang bisa saja pura-pura bahagia di media sosial padahal dalam kenyataan yang terjadi mereka tidak sebahagia di media sosial. Mendapatkan perhatian dari teman-teman palsu. Orang-orang yang tidak pernah ditemui. Akan tetapi yang  seperti itulah yang diburu dan dicari di media sosial. Seolah-olah itu menenangkan hati dan pikiran.
Bagaimana gereja menyikapi ini? Media sosial juga bisa menjadi jawaban. Melalui komunitas media sosial bisa digunakan untuk saling sharing juga soal kesehatan mentalnya. Kehadiran dari orang-orang sekitar sangat penting untuk menenangkan pikiran dan jiwa. Bisa saja dengan berbagi kebahagian-kebahagian kecil dengan mengajak berkumpul dan melakukan aktivitas yang menyenangkan. Setiap orang pasti ada masalah tapi menjadi pendengar bagi orang lain sudah cukup dan menghargai apa saja yang diungkapnya sehingga orang juga bisa memiliki rasa kekeluargaan yang hangat dari komunitas gerejanya sendiri.
Di sisi lain, Alkitab juga mengingatkan bahwa janganlah sama seperti dunia ini (Roma 12:2).  Ini adalah penerapan kritis terhadap iman juga. Media sosial menjadi pegangan yang penting. Kemajuan zaman dewasa ini tentu saja mengajak semua berjalan bersamanya.
Penutup
Kesimpulan
Terdapat pesan pastoral juga dalam penggunaan media sosial. Meskipun sangat jarang bahwa fenomena emotional breakdown tidak terjadi di gereja. Sebagai umat tentu tidak sama porsi dengan para public figure yang memang hidupnya mau tidak mau menjalankan dan mempublikasi apapun kehidupan mereka. Orang yang bukan public figure dan public figure, we are not playing at the same ring. Manusia yang hidup dalam populer culture itu memiliki sesuatu yang berbeda.
Apa yang dikatakan oleh Alkitab memiliki peringatan supaya manusia dapat waspada dan mengingat bahwa dunia diciptakan oleh Tuhan untuk manusia. Akan tetapi manusia tidak berasal dari dunia. Manusia harus bisa menunjukkan bahwa ia bisa mengikuti zaman tetapi tidak berubah lalu menjadi sama dengan dunia dengan segala kefanaannya ini. Manusia memang berkesistensi di dunia. Manusia menjalin relasi dengan orang banyak, dengan orang di seluruh dunia dan relasi itu tidak sepenuhnya nyata atau real.  Itu pun sifatnya fana. Ketika media sosial juga menjadi alat di sisi lain ia bisa juga menjadi pedang.  Manusia juga harus memiliki sisi awareness tentang manusia lainnya.
Public figure menciptakan pengikut-pengikut oleh karena karya dan kreatifitasnya di media sosial. Dapat dikatakan mereka memiliki culture creater atau culture followers. Akan tetapi meskipun demikian, baik public figure maupun tidak, setiap orang juga harus memiliki kecerdasan budaya (culture intelligent) supaya tidak jatuh ke dalam keadaan yang dapat membuat seseorang terpuruk hanya oleh karena ujaran-ujaran tidak menyenangkan di media sosial. Selalu ada juga pro dan kontra. Di mana jika diperhatikan bahwa relasi dengan orang-orang di media sosial bukanlah hubungan yang nyata, hanya sedikit saja hubungan yang real, selebihnya adalah hubungan yang fana. Ujaran-ujaran yang dilontarkan baik dan buruk oleh para pengikut di media sosial bukanlah urusan mereka, yang penting adalah hadir dan membuat para public figure memakan dan menelan ujaran mereka. Oleh karena itu para pengikut public figure di media sosial tidak pernah tahu bahwa tidak semua public figure memiliki mental yang kuat, atau dapat dikatakan bahwa kekuatan untuk acuh dengan semua itu, inilah yang menjadi sorotan kemunculannya emotional breakdown di kalangan public figure. Ada banyak orang yang mau menjadi populer dengan menghalalkan segala cara agar menjadi populer. Termasuk dengan mengatakan hal-hal yang tidak masuk akal.


Daftar Pustaka
Buku
Lynch, Gordon. Understanding Theology and Populer Culture. Malden, MA: Wiley-Blackwell. 2015.

Jurnal
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia. Warga Gereja Merespon Revolusi Media Sosial :Panduan Bermedia Sosial.  Jakarta, 2018.
Pratikto, Tantowi Gilang. “Analisis Gangguan Kepribadian Tokoh Blanche Dalam Naskah Pusaran karya Tennessee Williams terjemahan Toto Sudarto Bachtiar”. Skripsi S.Sn., Jakarta. 2012.

Artikel dari internet
Agus Tri Haryanto. “Pengguna Internet Indonesia Didominasi Milenial”. “detikInet”. https://inet.detik.com/telecommunication/d-4551389/pengguna-internet-indonesia-didominasi-milenial. (diakses 05/11/2019 pukul 07:45 WIB).
Mardyana. “Alami Emotional Breakdown, Selena Gomez Masuk Rumah Sakit untuk Kedua Kalinya dalam Seminggu”. “Womantalk”. https://womentalk.com/celebrity/articles/alami-emotional-breakdown-selena-gomez-masuk-rumah-sakit-untuk-kedua-kalinya-dalam-seminggu-A2JZY (diakses pada 07 November 2019 pukul 14.42 WIB).

Thea Fathanah Arbar. “Korea Bahas RUU Anti Bully “Sulli Law” Bulan Depan”. “CNBC Indonesia”. http://www.cbbcindonesia.com/lifestyle/20191105210807-33-112950/korea-bahas-ruu-anti-bully-sulli-law-bulan-depan (diakses pada hari Kamis, 07 November 2019, pukul 14.23 WIB).

Murni Azman. “Atlet Renang Post Kata-kata Akhir Di IG Sebelum Ditemui Mati Bunuh Diri Kerana Kemurungan”. “SAYS”. https://says.com/my/seismik/atlet-renang-post-kata-kata-di-ig-sebelum-ditemui-mati-bunuh-diri-kerana-kemurungan?utm_source=says_mobile&utm_medium=whatsapp&utm_campaign=mobile_share (diakses pada 07 November 2019 pukul 14.35 WIB).

Kemal Al Fajar. “Tips Mengatasi Nervous Breakdown Gara-gara Kelewat Stres”. Hello Sehat. https://hellosehat.com/hidup-sehat/mengatasi-nervous-breakdown-adalah/. (diakses pada Rabu, 20 November 2019, pukul 21.09 wib).
dr. Tjin Willy. “Gangguan Mental”. ALODOKTER. https://www.alodokter.com/kesehatan-mental. (diakses pada Rabu, 20 November 2019).
Chris Stokel-Walker. “How smartphones and social media are changing Christianity”. BBC Future. https://www.bbc.com/future/article/20170222-how-smartphones-and-social-media-are-changing-religion. (diakses pada 20 November 2019, pukul 21:26 wib).




[1] Agus Tri Haryanto, “Pengguna Internet Indonesia Didominasi Milenial”, “detikInet”, Kamis, 16 Mei 2019, diakses 05/11/2019 pukul 07:45 WIB. https://inet.detik.com/telecommunication/d-4551389/pengguna-internet-indonesia-didominasi-milenial.
[2] Gordon Lynch, Understanding Theology and Populer Culture, Malden, MA: Wiley-Blackwell, 2015, 102. 
[3] Mardyana, “Alami Emotional Breakdown, Selena Gomez Masuk Rumah Sakit untuk Kedua Kalinya dalam Seminggu”, “Womantalk”, 12 Okotober 2018, diakses pada 07 November 2019, pukul 14.42 WIB. https://womentalk.com/celebrity/articles/alami-emotional-breakdown-selena-gomez-masuk-rumah-sakit-untuk-kedua-kalinya-dalam-seminggu-A2JZY
[4] Siti Afifiyah, “Enam Hal Paling Fenomenal dari Selena Gomez”, “tagar.id”, 14 November 2019, diakses 13 Desember 2019, pukul 16.25 WIB. https://www.tagar.id/enam-hal-paling-fenomenal-dari-selena-gomez
[5] Thea Fathanah Arbar, “Korea Bahas RUU Anti Bully “Sulli Law” Bulan Depan”, “CNBC Indonesia”, 05 November 2019, diakses pada hari Kamis, 07 November 2019, pukul 14.23 WIB. http://www.cbbcindonesia.com/lifestyle/20191105210807-33-112950/korea-bahas-ruu-anti-bully-sulli-law-bulan-depan
[6] Murni Azman, “Atlet Renang Post Kata-kata Akhir Di IG Sebelum Ditemui Mati Bunuh Diri Kerana Kemurungan”, “SAYS”, 25 Oktober 2019, diakses pada 07 November 2019 pukul 14.35 WIB. https://says.com/my/seismik/atlet-renang-post-kata-kata-di-ig-sebelum-ditemui-mati-bunuh-diri-kerana-kemurungan?utm_source=says_mobile&utm_medium=whatsapp&utm_campaign=mobile_share
[7] Sahistya Dhanes, “Pastor Gereja Besar California Bunuh Diri”, “Akurat.Co” Kamis, 12 September 2019, diakses pada 13 Desember 2019, pukul 16.48 WIB, https://akurat.co/news/id-760628-read-pastor-gereja-besar-california-bunuh-diri
[8] Tantowi Gilang Pratikto, “Analisis Gangguan Kepribadian Tokoh Blanche Dalam Naskah Pusaran karya Tennessee Williams terjemahan Toto Sudarto Bachtiar”, (Skripsi S.Sn., Jakarta, 2012), 32.
[9] Tantowi Gilang Pratikto, “Analisis Gangguan Kepribadian Tokoh Blanche Dalam Naskah Pusaran karya Tennessee Williams terjemahan Toto Sudarto Bachtiar”,...32-33.
[10] Kemal Al Fajar, “Tips Mengatasi Nervous Breakdown Gara-gara Kelewat Stres”, Hello Sehat, Juni 26, 2018, diakses pada Rabu, 20 November 2019, pukul 21.09 wib, https://hellosehat.com/hidup-sehat/mengatasi-nervous-breakdown-adalah/.

[11] dr. Tjin Willy, “Gangguan Mental”, ALODOKTER, 23 Agustus 2019, diakses pada Rabu, 20 November 2019, https://www.alodokter.com/kesehatan-mental.

[12] Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia,  Warga Gereja Merespon Revolusi Media Sosial :Panduan Bermedia Sosial,   Jakarta, 2018, 11.

[13] Chris Stokel-Walker, “How smartphones and social media are changing Christianity”, BBC Future, 23 Februari 2017, diakses pada 20 November 2019, pukul 21:26 wib, https://www.bbc.com/future/article/20170222-how-smartphones-and-social-media-are-changing-religion.


[14] Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia,  Warga Gereja Merespon Revolusi Media Sosial:Panduan Bermedia Sosial,   Jakarta, 2018, 12.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lirik Lagu Dayak Kalimantan Tengah Ciptaan Jefri E. Sindem Tamparan Hasupa

Katika ku munduk kabuat Tabayang senyum andi je mamikat Kai..kai tumun tuh angat Handau hamalem santar taingat Curahku akam lewat lagu tuh Mangesah tamparam ku supa dengam mu Dahang tujuan kakam hamauh Salamat mahining duhai sayang ku Tagal haranan cinta ku dengam Angat ku yakin cinta baya akam Munduk mendengku saraba sala Pandangan pertama ku jatuh cinta Aduh akai nah jata Hatalla Taguncang angat ku je jantung jiwa Metuh tamparan ku sundau dengam mu Bisikan cinta je ingkeme ku Angat perasaan ku je tutu-tutu Aku te yakin ikau jodohku

Riwut Karuhei

Universitas Kristen Duta Wacana Nama/ NIM                             : Winda Patrika Embun Sari/ 50190056 Program Studi/ Semester       : Magister Teologi/ Gasal 2019-2020 Mata Kuliah/ Tugas               : Teologi, Spiritualitas dan Seni/ Makalah Akhir (REVISI) Spiritualitas dalam Lagu Karungut Dayak Kalimantan Tengah: “ Riwut Karuhei ” (Angin yang Membiuskan) Pendahuluan             Ada beragam cara bagi seseorang untuk mengekspresikan perasaannya. Salah satunya adalah melalui lagu. Lirik sebuah lagu kadangkala bersumber dari pengalaman pribadi. Hal ini salah satunya saya lihat dalam lagu Riwut Karuhei. Lagu yang berasal dari Kalimantan Tengah ini menarik untuk diperhatikan lebih d...

Hedonisme dalam 2 Samuel 12:1-25

Universitas Kristen Duta Wacana Nama/ NIM                             : Winda Patrika Embun Sari/ 50190056 Program Studi/ Semester       : Magister Teologi/ Gasal 2019-2020 Mata Kuliah/ Tugas               : Tafsir Kontekstual Perjanjian Lama/ Makalah Akhir   Hedonisme dalam 2 Samuel 12:1-25 1.1. Pendahuluan a.     Pengantar Dewasa ini, setiap orang punya kecenderungan untuk hidup konsumtif. Gaya hidup konsumtif lazimnya disebut dengan hedonisme. Kamus Besar Bahasa Indonesia (selanjutnya KBBI) mendefinisikan hedonisme sebagai “ pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup”. Umumnya hedonisme dipahami sebagai satu hal yang negatif. Tapi pada dasarnya hedonisme ...