Langsung ke konten utama

Teori Falsifikasi Popper


Universitas Kristen Duta Wacana
Nama/ NIM                            : Winda Patrika Embun Sari/ 50190056
Program Studi/ Semester      : Magister Teologi/ Gasal 2019-2020
Mata Kuliah/ Tugas              : Filsafat Ilmu/ Makalah Akhir
Dosen Pengampu                  : Pdt. Wahju Satria Wibowo, M. Hum., Ph.D


Teori Falsifikasi Karl Popper atas Agama yang Merasa Sempurna
Mengapa kebenaran selalu diperdebatkan? Mengapa harus ada yang benar dan ada yang salah? Mengapa harus ada hitam bila putih menyenangkan? Setiap orang punya definisinya sendiri tentang kebenaran. Tetapi apakah yang dipikirkan dan dimaksudkannya dengan kebenaran itu adalah sungguh sebuah kebenaran? Siapa penentu kebenaran? Apa kebenaran sesungguhnya? Kembali lagi kepada personal atau individu masing-masing. Untuk apa dicari sebuah kebenaran? Pertanyaan ini bisa saja memiliki unsur yang sama, mengapa kita tidak bahagia saja terus, kenapa harus ada kesedihan? Ya tentu saja tidak akan ada kata bahagia kalau tidak ada kesedihan. Kebenaran yang dipegang Kristen adalah Kitab Suci sebagai yang absolut. Agama juga seringkali merasa dirinya sempurna. Akan tetapi kita harus pakai kata “tunggu dulu”, perlu diragukan dulu segala sesuatunya, demikian kata Popper. Tulisan ini mau melihat pemahaman seorang Popper yang kritis terhadap epistemologi. Kemudian akan melihat agama dari kacamata Popper. Ia adalah orang yang memberi kritik terhadap logika pengetahuan. Bahkan baginya kritik digunakan menjadi metode untuk menemukan sebuah kebenaran.
A.  Siapa Karl Popper?
Sebelum masuk kepada teori, perlu untuk mengenal siapa itu Karl Popper. Ia adalah seorang filosof pada awal abad ke-20. Seorang yang kritis. Popper selalu membuka kemungkinan ilmu pengetahuan supaya dikritik. Namanya lengkapnya adalah Karl Raimund Popper. Lahir pada tanggal 28 Juli 1902 di Wina, yang pada waktu itu dapat mengklaim sebagai pusat budaya dunia barat.[1] Untuk melihat lebih lanjut bagaimana kehidupan dari Karl Popper, sebuah jurnal Stanford mencata bahwa orang tuanya, yang berasal dari Yahudi, membawanya dalam suasana yang kemudian dia gambarkan sebagai ‘kutu buku’. Ayahnya berprofesi sebagai pengacara, tetapi juga menaruh minat pada bidang klasik dan filsafat, dan mengomunikasikan minatnya pada putranya tentang masalah sosial dan politik supaya tidak hilang. Ibunya menanamkan dalam dirinya gairah untuk musik sehingga untuk beberapa waktu ia dengan serius mempertimbangkannya sebagai karier, dan memang ia awalnya memilih sejarah musik sebagai subjek kedua untuk pemeriksaan gelar Ph.D. Selanjutnya, kecintaannya pada musik menjadi salah satu kekuatan inspirasional dalam pengembangan pemikirannya, dan memanifestasikan dirinya dalam interpretasi Popper melancarkan kritiknya ketika positivisme logis mencapai titik kulminasi perkembangannya. Kulminasi berarti puncak tertinggi. Ia menggunakan kritik sebagai metode untuk mencapai kebenaran. Kritik yang dimaksudkan di sini adalah sebuah pendekatan rasional ilmiah untuk menguji apakah sebuah anggapan, hipotesis, atau teori benar. Dinamainya teori flasifikasi yang berbanding terbalik dengan positivis  yang menekankan verifikasi. Baginya, kritik merupakan satu-satunya metode untuk mendekati kebenaran.[2]
Bagi kaum positivisme sebuah data mengkonfirmasi teori, namun bagi Popper, data adalah kritik terhadap teori. Menyinggung soal quid facti, sebuah masalah yang berkaitan dengan apa yang dapat diketahui dan apa yang tidak dapat diketahui. Sepertinya kaum rasionalisme berperang melawan kaum empirisme. Menurut Popper, psikologi pengetahuan tidak banyak membantu untuk mengetahui apakah pengetahuan baru yang diperoleh itu benar. Hal ini menyangkut soal logika atau epistemologi. Berusaha untuk menjawab pertanyaan tentang kebenaran sebuah hipotesis ilmiah yang dapat diterima sebagai kebenaran. Lain halnya dengan persoalan quid iuris, suatu persoalan mengenai keabsahan pengetahuan dan kebenarannya. Popper ingin mengkritik pemikiran filosofis yang hanya pada masalah psikologi pengetahuan, ia sekaligus mengajak para filsuf untuk membatasi diri pada masalah logika ilmu.
Menarik sekali ternyata Popper belajar dari Thales. Thales adalah orang yang bijaksana. Seorang pemikir kritis dari Yunani yang diabadnya mitos adalah sebuah basis hidup. Thales dengan kepintarannya: “Bukan tentang apa yang diketahui tentang sesuatu, akan tetapi bagaimana cara mengetahui sesuatu”. Popper sangat kritis terhadap positivisme, berpangkal pada masalah induksi dan masalah demarkasi. Filsafat Popper memfokuskan diri pada karakter hipotetis dari pengetahuan ilmiah. Ada dimensi empiris. Ia menempatkan pengalaman atau data sebagai unsur dari falsifiabilitas sebuah teori ilmiah. Falsifiabilitas berarti kesalahan. Data dan pengalaman harus berjalan beriringan dalam mengkritisi ilmu pengetahuan. Rasionalisme kritis: mempertegas kemungkinan untuk salah dari pengetahuan manusia. Tidak ingin skeptisisme ilmiah.[3]
Mengacu kepada Jurnal Stanford, diungkapkan bahwa Popper menikah dengan Josephine Anna Henninger (Hennie) pada tahun 1930, dan dia mengawasi kesejahteraannya dengan dukungan dan pengabdian yang tak kunjung padam, melayani sebagai amanuensisnya hingga kematiannya pada tahun 1985. Pada tahap awal pernikahan mereka, mereka memutuskan bahwa mereka tidak akan pernah memiliki anak, sebuah keputusan yang Popper lihat di kemudian hari dengan keseimbangan batin yang jelas. Pada tahun 1937, Popper mengambil posisi mengajar filsafat di Universitas Canterbury di Selandia Baru, di mana ia akan tetap tinggal selama Perang Dunia Kedua, meskipun ia memiliki hubungan yang agak tegang dengan kepala departemennya. Selain itu, Hennie mengalami kesulitan beradaptasi dengan kehidupan yang jauh dari Wina asalnya dan kerinduan membuatnya semakin tidak bahagia; ini diperburuk oleh ketekunan etika kerja pribadi Popper, bagi mereka berdua sendiri sangat melelahkan.
Pencaplokan Austria pada tahun 1938 menjadi katalis yang mendorong Popper untuk memfokuskan kembali tulisannya pada filsafat sosial dan politik dan ia menerbitkan The Open Society and Its Enemies, kritiknya terhadap totalitarianisme, pada tahun 1945. Pada tahun 1946 ia pindah ke Inggris untuk mengajar di London School of Economics, dan menjadi profesor logika dan metode ilmiah di University of London pada tahun 1949. Dari titik ini, reputasinya dan statusnya sebagai seorang filsuf sains dan pemikir sosial berkembang pesat, dan ia terus menulis dengan produktif dan sejumlah karyanya. karya-karya, khususnya The Logic of Scientific Discovery (1959), sekarang banyak dilihat sebagai perintis klasik di lapangan. Namun, ia menggabungkan kepribadian yang agresif dengan semangat untuk pengembangan diri yang tidak banyak membuatnya disayangi oleh kolega profesional di tingkat pribadi. Dia merasa tidak nyaman di lingkungan filosofis Inggris pasca-perang yang kenyataannya terpaku pada masalah-masalah linguistik sepele yang didiktekan oleh Wittgenstein, yang dianggap sebagai musuh bebuyutannya. Popper adalah orang yang agak paradoks, yang komitmen teoretisnya terhadap keunggulan kritik rasional ditentang oleh permusuhan terhadap apa pun yang sama dengan penerimaan total atas pemikirannya sendiri, dan di Inggris, seperti yang terjadi di Wina, ia menjadi semakin sosok yang terisolasi, meskipun idenya terus menginspirasi dan mengundang kekaguman. Kagum dulu, kritik nanti.
Mengutip dari Jurnal Stanford, pada tahun-tahun berikutnya Popper mendapat kritik filosofis karena pendekatan preskriptifnya terhadap sains dan penekanannya pada logika pemalsuan. Ini digantikan oleh pandangan banyak orang melalui pendekatan sosio-historis yang diambil oleh Thomas Kuhn dalam The Structure of Scientific Revolutions (1962), yang memperdebatkan ketidakberperbandingan paradigma ilmiah saingan dan memperkenalkan kembali gagasan bahwa perubahan sains pada dasarnya adalah dialektis dan tergantung pada pembentukan konsensus (kesepakatan) dalam komunitas peneliti. Popper memiliki kepribadian yang agak melankolis dan meluangkan waktu untuk menyelesaikan kariernya, dia dilatih sebagai pembuat kabinet, memperoleh diploma mengajar sekolah dasar pada tahun 1925 dan memenuhi syarat untuk mengajar matematika dan fisika di sekolah menengah pada tahun 1929. Dia melakukan program doktoral dengan departemen psikologi di Universitas Wina di bawah pengawasan Karl Bühler, yang merupakan Otto Külpe, adalah salah satu anggota pendiri sekolah psikologi eksperimental Würzburg. Proyek Popper awalnya dirancang sebagai penyelidikan psikologis memori manusia, di mana ia telah melakukan penelitian awal. Akan tetapi, pengantar pokok bahasan bab yang direncanakan pada metodologi mengasumsikan posisi peningkatan keunggulan dan ini beresonansi dengan Bühler yang adalah sarjana Kantian (kantian juga digunakan untuk menggambarkan kedudukan kontemporari dalam falsafah fikiran, epistemologi, dan etika) terkemuka, seorang profesor filsafat dan juga psikologi, telah terkenal membahas masalah tersebut. 'krisis psikologi kontemporer'. Krisis ini menurut Bühler, terkait dengan pertanyaan tentang kesatuan psikologi dan telah dihasilkan oleh proliferasi paradigma yang kemudian bersaing dalam psikologi yang telah menggerogoti yang sebelumnya dominan dan satu problematis pada masalah metode. Dengan demikian, di bawah arahan Bühler, Popper mengalihkan topiknya ke masalah metodologi psikologi kognitif dan menerima gelar doktor pada tahun 1928 untuk disertasinya “Die Methodenfrage der Denkpsychologie”. Dalam memperluas pendekatan Kantian karya Bühler terhadap krisis dalam disertasi, Popper mengkritik program fisikis Moritz Schlick untuk psikologi ilmiah yang pada akhirnya didasarkan pada transformasi psikologi menjadi ilmu proses otak. Cita-cita yang terakhir ini, Popper berpendapat, adalah salah paham, tetapi masalah yang diangkat olehnya akhirnya memiliki efek memfokuskan kembali perhatiannya dari pertanyaan Bühler tentang kesatuan psikologi dengan keilmuannya, dan fokus filosofis ini pada pertanyaan tentang metode, obyektivitas dan klaim status ilmiah adalah menjadi perhatian utama seumur hidup baginya. Ini juga membawa orientasi pemikirannya sejalan dengan filosof analitik kontemporer seperti Frege dan Russell serta banyak anggota Lingkaran Wina dan membawanya untuk secara efektif meninggalkan psikologi untuk filsafat ilmu pengetahuan.
Dalam bahasa Karl Popper teori positivisme secara sistematis telah mengembangkan sebuah pendekatan yang terlalu induktivistis dan tidak memahami dengan baik apa artinya adjektif ilmiah dalam "pengetahuan ilmiah". Sebagai kritik terhadap pendekatan positivistis, Popper menawarkan sebuah pendekatan analitis, yang memfokuskan diri pada pengujian terhadap teori-teori ilmiah. Dengan ini dua hal coba dikemukan Popper. Yang pertama, locus pengetahuan ilmiah tidak terletak pada data yang atomistis, melainkan pada proposisi-proposisi ilmiah yang bersifat umum. Dengan pemikiran ini, Popper menempatkan kembali secara proporsional tesis klasik tentang pengetahuan proporsional dalam refleksinya tentang ilmu pengetahuan. Yang kedua, analisis Popper menunjukkan bahwa setiap proposisi ilmiah mengandung kemungkinan untuk salah. Karena itu tidak heran jika Popper sendiri mengusulkan pendekatan kritis terhadap setiap pemyataan ilmiah tersebut. Tesis Popper mengenai falsifikasi menjadi inti dari seluruh argumentasi tentang pengetahuan ilmiah.
Popper dianugerahi gelar bangsawan pada tahun 1965, dan pensiun dari Universitas London pada tahun 1969, meskipun ia tetap aktif sebagai penulis, penyiar, dan dosen hingga kematiannya pada tahun 1994.[4]

B.  Kritik Sebagai Metode
Sebelumnya yang disebut dengan positivisme berfungsi  membantu setiap orang untuk berpikir kritis terhadap ilmu pengetahuan dan melihat bahwa data adalah hal yang penting. Fokus penelitian pada data dan pada eksperimen merupakan implikasi langsung dari apa yang sebenarnya diperjuangkan oleh positivisme. Pengaruh positivisme dengan cepat meluas, sama luasnya dengan pengaruh ilmu pengetahuan itu sendiri pada cara berpikir manusia modem dewasa ini. Pemikiran positivistis sangat kuat pengaruhnya pada cara seseorang mengambil keputusan. Praktisnya, positivisme memang telah menjadi sebuah model pemikiran baru dalam cara berpikir manusia dewasa ini. Manusia modern berpikir dengan pola berpikir ilmiah-positivistis. Intinya, sesuatu dapat dikatakan sebagai sebuah kebenaran berdasarkan pada data. Namun, data bukanlah kriteria satu-satunya bagi ilmu pengetahuan. Filsafat ilmu pengetahuan abad ke-20 menunjukkan suatu garis pemikiran yang agak jelas bahwa positivisme, meskipun memiliki keunggulan yang mendasar, bukanlah satu-satunya teori ilmu pengetahuan. Pengalaman dan data dalam seluruh argumentasi ilmiah sampai pada apa arti pengalaman manusia itu sendiri dalam teori-teori hermeneutik, hal-hal seperti ini tidak dapat dihindari.[5]
Data, kalimat-kalimat protokol, operasionalisasi konsep, verifikasi, dan probabilitas telah menjadi konsumsi umum di kalangan ilmuwan dalam hampir semua bidang. Maka, secara amat menakjubkan pandangan ini memiliki pengaruh yang luas pada cara kita mengembangkan ilmu pengetahuan. Fokus penelitian pada data dan pada eksperimen merupakan implikasi langsung dari apa yang sebenarnya diperjuangkan oleh positivisme.[6]
Manusia modern berpikir dengan pola berpikir ilmiah-positivistis. Maka, kekuatan positivisme tidak hanya terletak pada apa yang dipikirkannya tetapi terlebih pada penerimaan yang luas atas tesisnya yang pokok, yaitu bahwa data merupakan prioritas utama ilmu pengetahuan. Namun di balik kekuatan ini terselubung kelemahan dasar dari positivisme. Keberatan-keberatan yang sudah didiskusikan pada akhir bab sebelumnya menunjukkan bahwa dari segi filsafat pengetahuan, data bukanlah kriteria satu-satunya bagi ilmu pengetahuan.
Beberapa teori epistemologi yang dimaksud adalah teori kritik dari Popper yang memberikan perhatian pada logika ilmu pengetahuan. Popper menggunakan kritik sebagai metode untuk mencapai kebenaran. Kritik yang dimaksudkan di sini adalah sebuah pendekatan rasional ilmiah untuk menguji apakah sebuah anggapan, hipotesis, atau teori benar.
Dalam bukunya yang berjudul Logik der Forschung tahun 1934, Popper sendiri menyebut teorinya ini dengan nama teori falsifikasi untuk dibedakan dari pendekatan positivistis yang smenekankan verifikasi. Jikalau positivisme menggunakan verifikasi sebagai alat untuk menguji sebuah teori atau hipotesis dengan tujuan memberikan konfirmasi terhadap sebuah teori, Popper menggunakan falsifikasi untuk tujuan sebaliknya. Dalam rumusannya yang sedikit paradoks Popper menegaskan bahwa suatu teori dapat dikatakan ilmiah jika teori tersebut terbuka pada kritik atau terbuka pada penilaian orang lain. Bagi Popper, kritik merupakan satu-satunya metode untuk mendekati kebenaran. Atau dengan perkataan lain, dengan menegaskan bahwa ilmu harus melihat apa yang salah dalam proposisi-proposisinya, ia semakin lama semakin mendekati kebenaran. Data yang bagi positivisme dilihat sebagai sarana mengkonfirmasi sebuah teori, pada logika Popper justru dilihat sebagai sarana bagi kritik terhadap teori.[7]
Penting untuk melihat persoalan berikut ini. Masalah paling penting dari filsafat ilmu pengetahuan adalah masalah tentang masalah. Artinya: masalah macam apa yang seharusnya menjadi masalah filsafat ilmu pengetahuan?
Popper melancarkan kritiknya ketika positivisme logis mencapai titik kulminasi perkembangannya. Kulminasi berarti puncak tertinggi. Ia menggunakan kritik sebagai metode untuk mencapai kebenaran. Kritik yang dimaksudkan di sini adalah sebuah pendekatan rasional ilmiah untuk menguji apakah sebuah anggapan, hipotesis, atau teori benar. Dinamainya teori flasifikasi yang berbanding terbalik dengan positivis  yang menekankan verifikasi. Baginya, kritik merupakan satu-satunya metode untuk mendekati kebenaran. Bagi Positivisme sebuah data adalah yang mengkonfirmasi teori, namun bagi Popper, data merupakan kritik terhadap teori. Persoalan quid facti, sebuah masalah yang berkaitan dengan apa yang dapat diketahui dan apa yang tidak dapat diketahui. Rasionalisme seolah bermusuhan dengan empirisme. Menurut Popper, psikologi pengetahuan tidak banyak membantu untuk mengetahui apakah pengetahuan baru yang diperoleh itu benar. Hal ini menyangkut soal logika atau epistemologi. Berusaha untuk menjawab pertanyaan tentang kebenaran sebuah hipotesis ilmiah yang dapat diterima sebagai kebenaran. Persoalan quid iuris, suatu persoalan mengenai keabsahan pengetahuan dan kebenarannya. Popper ingin mengkritik pemikiran filosofis yang hanya pada masalah psikologi pengetahuan, ia sekaligus mengajak para filsuf untuk membatasi diri pada masalah logika ilmu. Oleh karena itu Popper mengungkapkan bahwa, persoalan filsafat ilmu pengetahuan merupakan persoalan quid iuris, bukan persoalan quid facti.[8]
Popper banyak belajar dari Thales. Seorang filosof pemikir kritis dari Yunani yang di abadnya mitos adalah sebuah basis hidup. Thales dengan kepintarannya: “Bukan tentang apa yang diketahui tentang sesuatu, akan tetapi bagaimana cara mengetahui sesuatu”.
Kritik Popper terhadap positivisme, berpangkal pada masalah induksi dan masalah demarkasi (pemisahan). Filosof Popper memfokuskan diri pada karakter hipotetis dari pengetahuan ilmiah. Ada dimensi empiris. Ia menempatkan pengalaman atau data sebagai unsur dari falsifiabilitas sebuah teori ilmiah. Falsifiabilitas berarti Data dan pengalaman harus berjalan beriringan dalam mengkritisi ilmu pengetahuan. Rasionalisme kritis mencoba mempertegas kemungkinan untuk salah dari pengetahuan manusia. Popper hanya tidak ingin menjadi skeptis terhadap pengetahuan ilmiah.

C.  Teori Mungkin Salah

Popper menjelaskan bahwa setiap sistem teori memiliki ciri kemungkinan untuk salah. Kemudian kemungkinan tersebut dapat diperiksa jika kita melihat hubungan antara teori dan proposisi basis. Dari suatu teori, Popper menegaskan, kita dapat menurunkan proposisi-proposisi basis yang berbicara tentang fakta. Tetapi proposisi-proposisi dasar itu dapat tidak cocok satu sama lain. Hal ini dengan cara lain untuk mengatakan bahwa kita hanya bisa menguji kebenaran sebuah sistem teoretis jika sistem teoretis tersebut mengandung kemungkinan untuk salah.[9] Pengetahuan harus dikritik supaya mendekati kebenaran.
Secara sederhana kemungkinan untuk salah melekat pada setiap sistem ilmu pengetahuan empiris, jika sistem pemikiran ini ingin dihargai sebagai sistem yang benar. Inilah yang menjadi keprihatinan Popper. Secara logis, setiap pernyataan hipotesis jika-maka membuka kemungkinan untuk melihat kesalahan. Setiap hipotesis tentang suatu peristiwa tidak pernah dengan sendirinya benar. Sangat mungkin menjadi salah.

D.  Teori Falsifikasi
            Apa itu falsifikasi menurut Popper? Mengapa muncul teori falsifikasi? Apa alasan Popper? Popper mengungkapkan bahwa betul data adalah awal sesuatu tetapi jangan sampai lupa sisi psikologis yang punya potensi salah. Inilah teori falsifikasi. Sesuatu yang disebut benar kalau diverifikasi, itu menurut kaum positivisme. Namun bagi Popper malah sebaliknya, sesuatu disebut benar kalau difalsifikasikan (disalahkan). Sesuatu yang menurut orang lain benar bisa saja salah. Intinya begitu. Popper ingin ada kata “tunggu dulu”, kita perlu meragukan segala sesuatu yang ilmiah.
            Mengutip dari sebuah artikel yang juga berbicara tentang teori falsifikasi Karl Popper demikian, diungkapkan bahwa falsifikasi secara harfiah diartikan sebagai “melihat dari sudut pandang kesalahan”. Dengan menganggap teori itu salah, maka segala upaya dilakukan untuk membuktikaan teori tersebut memang mutlak salah,lalu dibuatlah teori baru untuk menggantikannya. Karl Popper telah membuktikan falsifikasi (suatu teori untuk membuktikan kesalahan suatu hal atau kejadian), yang berbeda dengan verifikasi (pembuktian sebuah kebenaran). Suatu teori selama tidak terbukti salah, maka ia akan mengalami penguatan (koroborasi) walaupun suatu saat bisa juga runtuh teori tersebut ketika didapatinya satu saja data yang berbeda yang bisa meruntuhkan teori tersebut. [10]
            Mengacu kepada jurnal Stanford, Popper berpendapat bahwa sebuah falsiability merupakan syarat awal untuk mengatakan bahwa sebuah ilmu itu hitam atau putih, ilmiah atau tidak ilmiah. Jika sebuah ilmu tanpa melalui verifikasi apa yang disebut sebagai falsifikasi maka menjadi tidak ilmiah. Falsifiability bukanlah masalah hitam dan putih sederhana karena sebuah teori, bahwa bisa saja sebuah teori dipalsukan dimasa kini. Jika tidak bisa terjadi pada masa yang akan datang. Menurut Popper, ciri khas ilmu pengetahuan adalah falsifiable, artinya harus dapat dibuktikan salah melalui proses falsifikasi. Dengan falsifikasi, ilmu pengetahuan mengalami prosess pengurangan kesalahan (error elimination). Proses falsifikasi inilah yang mengantar ilmu pengetahuan tersebut mendekati kebenaran, namun tetap memiliki ciri falsifiable.[11]
Popper membedakan kemungkinan untuk salah dan prinsip falsifikasi. Kemungkinan untuk salah merupakan suatu kriteria dari setiap sistem teori empiris: artinya, setiap pernyataan empiris mengandung kelas kemungkinan untuk salah. Tetapi falsifikasi merupakan suatu langkah metodologis untuk menguji sebuah sistem teori. Popper sendiri mengakui adanya kebenaran ilmiah, tetapi kebenaran ilmiah itu harus disikapi secara kritis: artinya, kebenaran ilmiah memang ada, tetapi orang harus mengatakan bahwa kita tidak perlu begitu yakin sebelum diuji secara kritis.
Apakah kritik masih memiliki makna positif bagi pemahaman kita tentang pengetahuan pada umumnya dan ilmu pengetahuan pada khususnya?  Popper adalah orang yang tidak mau skeptis terhadap pengetahuan ilmiah.
Tujuan dari ilmu pengetahuan, bagi Popper, adalah mencapai suatu teori ilmiah yang semakin mampu merumuskan kebenaran. Mengakui kemungkinan kebenaran dari ilmu pengetahuan merupakan suatu posisi tersembunyi Popper. Popper sendiri merumuskan hubungan antara penerimaan sebuah teori dengan pengujian terhadapnya sebagai berikut: "Semakin banyak isi empiris dari sebuah hipotesis, semakin ketat teori tersebut diuji." Dan tentang pengujian itu sendiri berlaku prinsip: "Semakin kuat sebuah teori diuji, semakin besar kemungkinan teori tersebut diterima." Maka Popper berpendapat semakin besar jumlah tes yang diberikan terhadap sebuah teori, semakin teori tersebut diterima. Penerimaan sebuah teori tergantung pada sejumlah besar dari tes yang diberikan kepadanya. Kemampuannya untuk bertahan terhadap pengujian kritis merupakan kriteria bagi peneriman teori tersebut.[12]
Mengutip dari sebuah jurnal Pusat Penelitian Politik, dengan prinsip falsifikasi, Popper ingin menghindari objektivisme dan subjektivisme dalam pengertiannnya yang ekstrem. Untuk itulah mengapa Popper mengajukan gagasan ontologis tentang tiga dunia. Dunia 1 adalah dunia fisik, dunia 2 adalah dunia mental, dunia 3 adalah dunia objektif. Dunia 1 dan dunia 2 saling berinteraksi. Dunia 2 dan dunia 3 saling berinteraksi. Akan tetapi, Dunia 1 tidak bisa langsung berinteraksi dengan dunia 3 kecuali melalui dunia 2. Dengan kata lain, benda-benda fisiologis berinteraksi dengan benda-benda psikologis, benda-benda psikologis berinteraksi dengan benda-benda logis, tetapi benda-benda fisiologis tidak bisa langsung berinteraksi dengan benda-benda logis kecuali terlebih dulu melalui dunia psikologis. Apa yang dimaksud dunia 3 tak lain adalah pendekatan objektif. Pada Popper, itu berarti pendekatan yang memandang pengetahuan manusia sebagai suatu sistem pernyataan atau teori yang dihadapkan pada diskusi kritis, ujian intersubjektif, atau kritik timbal-balik. Pendekatan objektif adalah kata lain untuk epistemologi pemecahan-masalah (problem solving).[13]
Analisis yang lahir dari epistemologi Popper ini bersifat situasional, sehingga ia hanya sebuah solusi tentatif. Ia mesti menyesuaikan diri secara terus menerus dengan problem-problem baru. Pendapat Popper tentang Dunia 3 adalah gagasan ontologis yang berpijak pada bahasa sebagai objektifikasi dunia mental manusia yang subjektif. Secara jelas Popper menyatakan bahwa “Diri kita, fungsi bahasa yang tinggi (deskriptif dan argumentatif) dan Dunia 3 telah berevolusi dan muncul bersama dalam interaksi yang terus menerus untuk lebih spesifik, saya menyangkal bahwa binatang mempunyai kesadaran penuh atau bahwa mereka mempunyai diri yang sadar. Diri kita berkembang bersama dengan fungsi-fungsi bahasa yang lebih tinggi yaitu fungsi yang deskriptif dan argumentatif.” Hal ini mengacu pada kritik Popper terhadap kaum positivisme logis yang juga sama-sama berangkat dari permasalahan bahasa.
E.     Implied Reader (Teori Falsifikasi Popper dan Persoalan Agama)
1.      Pengertian Agama
Secara umum agama dipahami sebagai kepercayaan. Agama yang merupakan sistem kepercayaan pada hakikatnya mengatur mau itu  hubungan manusia dengan Tuhan, atau bagaimana seharusnya manusia berinteraksi dengan manusia lain, bagaimana seharusnya manusia berinteraksi dengan alam semesta, dan juga  bagaimana seharusnya manusia berinteraksi dengan dirinya sendiri. [14] Setiap agama punya kitab sucinya masing-masing.
2.      Agama dari Kacamata Popper
Agama dan teologi juga bisa salah (ini adalah sesuatu yang metafisis). Seringkali agama selalu merasa dirinya sempurna. Tidak bisa seperti itu. Agama juga harus bisa dan bersedia terbuka pada kritik.
            Berangkat dari teori falsifikasinya Popper, dewasa ini, suatu pengetahuan selalu baru dan berkembang. Munculnya teori falsifikasi itu karena pengetahuan-pengetahuan baru bisa saja salah, jangan dulu dianggap sebagai suatu kebenaran mutlak. We have to wait, we have to think about any posibilities especially for science. Ini dikarenakan di zaman postmodern segala sesuatu apalagi pengetahuan ilmiah, karena bisa saja itu palsu.
Dengan begitu, Popper hendak menunjukkan bahwa prinsip falsifikasi membuat orang mampu belajar dari kesalahan-kesalahan masa lampau melalui penunjukan kesalahan dan juga koreksi-koreksi. Pengamatan memperoleh peranan yang  penting sebagai ujian yang mungkin bisa membantu orang dalam menemukan kesalahan-kesalahan yang ada pada diri kita sendiri. Peranan yang sama diberikan kepada penalaran rasional (rational argument) untuk mengkritik usaha-usaha kita dalam menjelaskan realitas.
Mengacu kepada itu, konteks orang beragama di Indonesia dapat dikatakan sangat fanatis. Ini adalah fakta yang terjadi dewasa ini. Seringkali agama dipakai untuk menjadi tameng dan dianggap sebagai sumber kebenaran dari kitab sucinya. Ketika agama digunakan sebagai pelindung atas suatu kesalahan, seolah-olah segala sesuatu atas nama  agama selalu benar. Harus memiliki kecerdasan emosional. Hindari arogansi, hormati sesama. Bangun toleransi, redamlah emosi. Gunakan teori falsifikasi.

Daftar Pustaka
Buku
Dua, Mikhael. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Ledalero: 2009.

Jurnal


Dedi Haryono, Gagasan Uji Teori Empiris Melalui Falsifikasi (Analisis Pemikiran Karl Popper dalam Filsafat Ilmu)

 

The Center for Political Studies, Karl Popper dan Masa Depan Masyarakat Terbuka, http://www.politik.lipi.go.id/kolom/590-karl-popper-dan-masa-depan-masyarakat-terbuka-





[1] Mikhael Dua, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Ledalero: 2009), 53.
[3] Mikhael Dua, Filsafat Ilmu pengetahuan... 56.
[5] Mikhael Dua, Filsafat Ilmu Pengetahuan... 51-53.
[6] Mikhael Dua, Filsafat Ilmu Pengetahuan...62.
[7] Mikhael Dua, Filsafat Ilmu Pengetahuan... 67. 
[8] Mikhael Dua, Filsafat Ilmu Pengetahuan...57.
[9] Mikhael Dua, Filsafat Ilmu Pengetahuan... 171-172. 
[10] Dedi Haryono, Gagasan Uji Teori Empiris Melalui Falsifikasi (Analisis Pemikiran Karl Popper dalam Filsafat Ilmu), 2.
[14] Persepsi terhadap agama, mengacu kepada artikel http://e-journal.uajy.ac.id/2407/3/2TA12257.pdf, 9.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lirik Lagu Dayak Kalimantan Tengah Ciptaan Jefri E. Sindem Tamparan Hasupa

Katika ku munduk kabuat Tabayang senyum andi je mamikat Kai..kai tumun tuh angat Handau hamalem santar taingat Curahku akam lewat lagu tuh Mangesah tamparam ku supa dengam mu Dahang tujuan kakam hamauh Salamat mahining duhai sayang ku Tagal haranan cinta ku dengam Angat ku yakin cinta baya akam Munduk mendengku saraba sala Pandangan pertama ku jatuh cinta Aduh akai nah jata Hatalla Taguncang angat ku je jantung jiwa Metuh tamparan ku sundau dengam mu Bisikan cinta je ingkeme ku Angat perasaan ku je tutu-tutu Aku te yakin ikau jodohku

Riwut Karuhei

Universitas Kristen Duta Wacana Nama/ NIM                             : Winda Patrika Embun Sari/ 50190056 Program Studi/ Semester       : Magister Teologi/ Gasal 2019-2020 Mata Kuliah/ Tugas               : Teologi, Spiritualitas dan Seni/ Makalah Akhir (REVISI) Spiritualitas dalam Lagu Karungut Dayak Kalimantan Tengah: “ Riwut Karuhei ” (Angin yang Membiuskan) Pendahuluan             Ada beragam cara bagi seseorang untuk mengekspresikan perasaannya. Salah satunya adalah melalui lagu. Lirik sebuah lagu kadangkala bersumber dari pengalaman pribadi. Hal ini salah satunya saya lihat dalam lagu Riwut Karuhei. Lagu yang berasal dari Kalimantan Tengah ini menarik untuk diperhatikan lebih d...

Hedonisme dalam 2 Samuel 12:1-25

Universitas Kristen Duta Wacana Nama/ NIM                             : Winda Patrika Embun Sari/ 50190056 Program Studi/ Semester       : Magister Teologi/ Gasal 2019-2020 Mata Kuliah/ Tugas               : Tafsir Kontekstual Perjanjian Lama/ Makalah Akhir   Hedonisme dalam 2 Samuel 12:1-25 1.1. Pendahuluan a.     Pengantar Dewasa ini, setiap orang punya kecenderungan untuk hidup konsumtif. Gaya hidup konsumtif lazimnya disebut dengan hedonisme. Kamus Besar Bahasa Indonesia (selanjutnya KBBI) mendefinisikan hedonisme sebagai “ pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup”. Umumnya hedonisme dipahami sebagai satu hal yang negatif. Tapi pada dasarnya hedonisme ...