Universitas
Kristen Duta Wacana
Nama/ NIM : Winda Patrika Embun Sari/
50190056
Dosen Pengampu : Leonard Chrysostomos
Epafras
Tugas : Makalah Akhir Teologi
dan Sains Modern
Membakar
Hutan Menyambung Hidup
Tinjauan Pemahaman Masyarakat Berisiko Terhadap
Peran Manusia dalam Memberdayakan Lahan Gambut
Pendahuluan
Kalimantan
Tengah terkenal dengan kekayaan alam dan hutannya yang asri, hijau dan dapat
dikatakan setengah dari kesuburan itu adalah dedikasi dari lahan gambut. Masyarakat
Kalimantan Tengah yang notabene adalah petani sangat memberdayakan lahan gambut
untuk keperluan bahan pangan. Selain memberi banyak manfaat bagi kesejahteraan
manusia, lahan gambut juga digunakan masyarakat untuk membangun rumah dan
bangunan-bangunan lainnya. Lahan gambut dipilih karena tanah ini adalah jenis tanah
yang subur. Ini dikarenakan tanah gambut bersifat mengikat air yang sangat
banyak. Duka lain menjadikan lahan gambut sebagai pilihan membangun rumah
adalah harus banyak menimbun material pasir agar mampu memadatkan tanah.[1]
Kalimantan
Tengah terkenal juga dengan masyarakat yang begitu bergantung dengan alam.
Sebagai masyarakat yang sangat terikat dengan tradisi, adat dan kebiasaan,
masyarakat Kalimantan Tengah mengelola alam untuk kelangsungan hidup mereka. Bicara
mengenai masyarakat Kalimantan Tengah, hal yang paling melekat dari mereka
adalah terbagi dalam banyak suku, terlebih suku Dayak yang sangat mengutamakan
alam sebagai sumber utama baik pangan dan papan. Masyarakat Dayak tentu
menghormati alam, karena kedekatan orang Dayak dengan alam menjadikan mereka
selalu mengamati gerak lembut perubahan alam. Inilah yang membuat orang Dayak
di Kalimantan sangat unik. Karena kemampuan mereka menyatu dengan alam.
Kebersatuan dengan alam, keheningan, menjadikan mereka mampu menyerap getaran
alam. Tidak heran banyak yang memilih datang kepada tanah, air, dan pohon-pohon
yang dianggap keramat untuk meminta apa yang mereka inginkan. Kepekaan
masyarakat Dayak terhadap alam menjadi semakin terasah karena alam jugalah yang
memberikan jawab kepada apa yang diperlukan oleh mereka. Itulah mengapa
kedekatan mereka dengan alam dipahami bahwa segala sesuatunya adalah pemberian Ranying Hatalla Langit (Tuhan dalam
bahasa suku Dayak, yang sejak dari nenek moyang, Tuhan ini dapat ditemui dalam
wujud burung Tingang, pohon dan benda-benda yang dikeramatkan. Sebelum
Kekristenan masuk dan melakukan dekolonialisasi, masyarakat Dayak semula
awalnya semua beragama suku, taat, hormat dan tidak serakah pada alam). Segala pemberian dari Ranying Hatalla Langit adalah positif,
semacam anugerah bagi masyarakat Dayak.[2]
Seperti yang telah
diungkapkan sebelumnya, melalui alam, hewan-hewan liar, dapat memberi tahu
manusia suatu tanda kapan musibah atau bencana akan datang, pohon-pohon akan
berbunga dan berbuah. Kebanyakan masyarakat Dayak memanfaatkan lahan gambut
untuk mengembangkan pangan dalam hal ini bertani/ berladang. Alam menjadi
pengingat kapan para petani akan memulai mengelola ladang untuk menanam padi,
jagung, sayur-sayuran dan lain sebagainya. Namun, gambaran yang telah
dijelaskan dapat dikatakan mengalami penurunan, kekayaan alam di Kalimantan
Tengah tidak seperti dulu lagi, telah banyak bencana alam seperti banjir,
kebakaran hutan dan kabut asap terjadi hampir setiap tahunnya. Hal ini
dikarenakan tradisi bagi mereka para petani adalah mengharuskan mereka membakar
ketika membuka lahan. Keadaan ini kemudian dianggap hal yang biasa saja oleh
sebagian orang, namun dampak dari itu sangatlah buruk. Melalui ini maka dirasa
penting untuk memiliki kesadaran dari masyarakat untuk menangani keadaan
tersebut bila terjadi lagi. Sebagian besar masyarakat memang menaruh perhatian
yang ekstra juga jika terjadi bencana, akan tetapi tentu masih perlu dukungan
pula. Situasi semacam ini dapat dikatakan risiko (dalam hal ini konteks
ekologi) masyarakat Kalimantan Tengah dalam memberdayakan lahan gambut. Masyarakat
yang tinggal di Kalimantan Tengah khususnya yang menggantungkan hidupnya dengan
lahan gambut, sangat erat kaitannya dengan teori dari Ulrich Beck yaitu
masyarakat berisiko.
Tulisan ini akan melihat dialog dari teori
Ulrich Beck mengenai masyarakat berisiko dengan masyarakat Kalimantan Tengah yang
berdomisili khususnya di daerah lahan gambut dalam upaya menjaga, merawat dan
memberdayakan sebagai bentuk ibadah kepada Tuhan. Teori dari Ulrich Beck
dipakai karena sangat berkaitan erat dengan keadaan dan situasi masyarakat yang
tinggal di daerah lahan gambut di Kalimantan. Sistematika tulisan ini akan
mulai berbicara mengenai teori masyarakat berisiko terlebih dahulu kemudian
permasalahan lahan gambut. Selanjutnya
memuat unsur teologi dalam hal ini meninjau peran masyarakat berisiko
Kalimantan Tengah dalam memberdayakan lahan gambut.
Masyarakat
Berisiko
Semakin modern
masyarakat semakin berisiko, sebagian fenomena yang terjadi di dunia ini bagi
Ulrich Beck adalah risiko. Masyarakat berisiko merupakan kondisi dimana
masyarakat mengalami kerentanan akibat hadirnya modernisasi, industrialisasi
atau mekanisasi kehidupan berdampak pada munculnya kondisi risk society atau
masyarakat berisiko, yakni suatu kondisi di mana masyarakat menghadapi ancaman
dan ketidakpastian hidup. Sehingga membuat masyarakat mau tidak mau ikut larut
dalam arus perubahan dan tuntutan zaman. Sebenarnya masyarakat berisiko dapat
dilihat sebagai sejenis masyarakat industri karena kebanyakan risikonya itu
berasal dari industri. Risiko yang terjadi dilihat dengan menggunakan teori
yang diungkapkan oleh Ulrich Beck, di mana ada beberapa hal yang perlu
diketahui mengenai risiko, dominasi kekuasaan, eksploitasi sumber daya alam,
modernisasi, risiko yang diwariskan, dan masyarakat kelas.[3]
Dalam tulisannya tentang masyarakat
berisiko, Beck menjelaskan bahwa konsekuensi dan keberhasilan modernisasi
menjadi masalah dengan kecepatan dan radikalitas proses modernisasi. Dimensi
baru risiko muncul karena kondisi untuk menghitung dan memprosesnya secara
kelembagaan rusak sebagian. Dalam kondisi seperti itu, iklim moral politik baru
berkembang di mana budaya, dan karenanya bervariasi secara nasional, evaluasi
memainkan peran sentral dan argumen untuk dan melawan konsekuensi nyata atau
yang mungkin dari keputusan teknis dan ekonomi dilakukan secara publik. Dalam
prosesnya, fungsi iptek juga mengalami perubahan.[4]
Beck dalam bukunya menjelaskan bahwa masyarakat
berisiko adalah kondisi struktural yang tak terhindarkan dari industrialisasi
maju dan mengkritik “moralitas matematis” dari pemikiran ahli dan wacana publik
tentang “profil risiko.” Sementara penilaian risiko yang berorientasi pada
kebijakan menunjukkan pengelolaan risiko, Beck menunjukkan bahwa bahkan akun
implikasi risiko yang paling terkendali dan moderat pun melibatkan politik,
etika, dan moralitas yang tersembunyi. Menurut Beck risiko tidak dapat
direduksi menjadi produk kemungkinan terjadinya dikalikan dengan intensitas dan
cakupan potensi bahaya. Sebaliknya, ini adalah fenomena yang dibangun secara
sosial, di mana beberapa orang memiliki kapasitas yang lebih besar untuk menentukan
risiko daripada yang lain. Tidak semua pelaku benar-benar mendapat manfaat dari
refleksivitas risiko, hanya mereka yang memiliki ruang lingkup nyata untuk
menentukan risiko mereka sendiri. Penjelajahan mengenai risiko menggantikan
kelas sebagai ketidaksetaraan utama dalam masyarakat modern, karena bagaimana
risiko secara refleks didefinisikan oleh para tokoh: “Dalam definisinya,
hubungan masyarakat yang berisiko harus dipahami analog dengan hubungan
produksi Marx.” Ketidaksetaraan definisi memungkinkan tokoh berpengaruh untuk
memaksimalkan risiko bagi “orang lain” dan meminimalkan risiko untuk “diri
mereka sendiri.” Definisi risiko, pada dasarnya, adalah permainan kekuatan. Ini
terutama berlaku untuk masyarakat berisiko dunia di mana pemerintah Barat atau
aktor ekonomi yang kuat mendefinisikan risiko untuk orang lain.[5]
Menurut
Beck, ancaman dan ketidakamanan selalu menjadi salah satu kondisi keberadaan
manusia; dalam arti tertentu ini bahkan lebih terjadi di masa lalu daripada
saat ini. Ancaman terhadap individu dan keluarga mereka melalui penyakit dan
kematian dini serta ancaman terhadap masyarakat melalui kelaparan dan wabah
penyakit lebih besar pada Abad Pertengahan daripada saat ini. Dari ancaman
semacam ini kita harus membedakan semantik risiko yang diasosiasikan sejak awal
periode modern dengan semakin pentingnya keputusan, ketidakpastian, dan
probabilitas dalam proses modernisasi. Semantik risiko mengacu pada tematisasi
ancaman masa depan yang sering kali merupakan produk dari keberhasilan
peradaban. Hal ini juga memungkinkan mobilisasi baru masyarakat pasca-utopia,
misalnya, seperti yang telah kita lihat, inisiatif kosmopolitan melawan
perubahan iklim dan pergeseran aliansi antara gerakan sipil, negara dan
perusahaan.
Dalam
bukunya Beck menjelaskan, kedua wajah risiko, yaitu peluang dan bahaya, menjadi
masalah selama industrialisasi, dimulai dengan pengiriman pedagang antarbenua.
Risiko merepresentasikan skema persepsi dan kognitif yang sesuai dengan mana
masyarakat memobilisasi dirinya sendiri ketika dihadapkan pada keterbukaan,
ketidakpastian, dan penghalang dari masa depan yang diciptakan sendiri dan
tidak lagi ditentukan oleh agama, tradisi, atau kekuatan alam yang superior
tetapi memiliki bahkan kehilangan keyakinannya pada kekuatan penebusan utopia.[6]
Beck
juga mengungkapkan bahwa, modernisasi sama sekali tidak bisa dihindari. Oleh
karena itu manusia harus mengantisipasi kehidupannya untuk ke depan. Risiko di
sini sama dengan prediksi akan bencana alam atau pun kejadian buruk. Risiko bisa
juga berarti antisipasi terhadap bencana.
Beck
menjelaskan bahwa kategori risiko membuka dunia di dalam dan di luar perbedaan
yang jelas antara pengetahuan dan ketidaktahuan, kebenaran dan kepalsuan, baik
dan jahat. Kebenaran tunggal dan tak terbagi telah terpecah menjadi ratusan
kebenaran relatif yang dihasilkan dari kedekatan dan kecemasan atas risiko. Ini
tidak berarti bahwa risiko membatalkan semua bentuk pengetahuan. Melainkan
menggabungkan pengetahuan dengan ketidaktahuan dalam horizon probabilitas
semantik. Dengan demikian, kategori risiko mencerminkan respons terhadap
ketidakpastian, yang saat ini sering kali tidak dapat diatasi dengan lebih
banyak pengetahuan tetapi lebih merupakan hasil dari lebih banyak pengetahuan.
Terkadang ketidakmampuan untuk mengetahui (Nicht-Wissen-Können) ini ditekan,
terkadang menjadi pusat perhatian, skenario horor yang bagus untuk bisnis dan
untuk memainkan permainan kekuasaan. Melalui risiko, asumsi arogan tentang
kemampuan untuk dikendalikan, tetapi mungkin juga kebijaksanaan ketidakpastian,
dapat meningkatkan pengaruh.[7]
Dewasa
ini menurut Beck, semantik risiko sangat topikal dan penting dalam bahasa
teknologi, ekonomi dan ilmu alam dan politik. Ilmu-ilmu alam (seperti genetika
manusia, pengobatan reproduktif, nanoteknologi, dan lain sebagainya) yang
kecepatan perkembangannya melampaui imajinasi budaya paling dipengaruhi oleh
dramatisasi risiko publik. Ketakutan yang terkait, yang diarahkan ke masa depan
(yang masih) tidak ada, dan oleh karena itu sulit untuk diredakan oleh sains,
mengancam untuk membatasi kebebasan penelitian. Dalam kondisi tertentu,
politisi merasa terpaksa untuk memberlakukan pembatasan tersebut karena wacana
publik mengenai risiko memiliki dinamika sendiri (yang masih harus dipelajari).
Dengan demikian, risiko merupakan ‘masalah mediasi’ dalam hal pembagian kerja
antara sains, politik dan ekonomi dalam masyarakat yang sangat inovatif pada
akhirnya harus dinegosiasikan ulang.[8]
Beck juga
mengkategorikan risiko secara sosiologis berikut ini:
1. Pertama,
ada kehausan yang tak terbatas akan kenyataan: kategori risiko menghabiskan dan
mengubah segalanya. Itu mematuhi hukum semua atau tidak sama sekali. Jika suatu
kelompok mewakili suatu risiko, fitur lainnya menghilang dan itu menjadi
didefinisikan oleh ‘risiko’ ini. Ia terpinggirkan dan terancam dikucilkan.
2. Perbedaan
klasik bergabung menjadi tingkat risiko yang lebih besar atau lebih kecil:
Risiko berfungsi seperti bak asam di mana perbedaan klasik yang terhormat dilarutkan.
Dalam cakrawala risiko, ‘kode biner’, diizinkan atau dilarang, legal atau
ilegal, benar atau salah, kita dan mereka sebenarnya tidak ada. Dalam cakrawala
risiko, orang tidak baik atau jahat tetapi hanya sedikit atau lebih berisiko.
Setiap orang memiliki risiko yang lebih atau kurang bagi orang lain. Perbedaan
kualitatif baik atau digantikan oleh
perbedaan kuantitatif antara lebih atau kurang. Tidak ada yang bukan risiko,
sekali lagi Beck tegaskan, setiap orang memiliki risiko yang lebih atau kurang
untuk semua orang.
3. Ada
dan tidak ada: Risiko tidak sama dengan malapetaka, tetapi antisipasi malapetaka
demikian yang ingin Beck sampaikan dalam tulisannya. Akibatnya, risiko mengarah
pada keberadaan yang meragukan, berbahaya, calon, dan kiasan: ada dan tidak
ada, ada dan tidak ada, diragukan dan mencurigakan. Pada akhirnya dapat
dianggap ada di mana-mana dan dengan demikian menjadi dasar politik pencegahan.
Antisipasi memerlukan tindakan pencegahan, dan menurut Beck itu harus dipatuhi,
misalnya, kalkulasi ‘Belanjakan satu sen hari ini, simpan Euro besok’, dengan
asumsi bahwa ancaman yang belum (belum) benar-benar ada.
4. Tanggung
jawab individu dan sosial: Bahkan yang terkecil mikrokosmos, risiko
mendefinisikan hubungan sosial, hubungan antara setidaknya dua orang: pengambil
keputusan yang mengambil risiko dan yang dengan demikian memicu konsekuensi
bagi orang lain, yang tidak dapat, atau hanya dengan kesulitan, membela diri.
Dengan demikian, dua konsep tanggung jawab dapat dibedakan: tanggung jawab
individu yang diterima pembuat keputusan atas konsekuensi keputusannya, yang
harus dibedakan dari tanggung jawab untuk orang lain, tanggung jawab sosial.
Risiko pada prinsipnya mengajukan pertanyaan (yang menggabungkan pertahanan dan
devaluasi) tentang ‘efek samping’ apa yang dimiliki risiko bagi orang lain dan
siapa orang lain ini dan sejauh mana mereka terlibat atau tidak terlibat dalam
keputusan.
5. Ruang
tanggung jawab global: Dalam pengertian ini, risiko global membuka ruang
tanggung jawab moral dan politik yang kompleks di mana orang lain hadir dan
tidak ada, dekat dan jauh, dan di mana tindakannya tidak baik atau jahat, hanya
sedikit banyak berisiko. Makna kedekatan, timbal balik, martabat, keadilan, dan
kepercayaan diubah dalam cakrawala ekspektasi risiko global ini.
6. Komunitas
berisiko adalah semacam ‘perekat’ bagi keragaman: Risiko global mengandung
jawaban atas pertanyaan tentang bagaimana jenis baru ‘komunitas berisiko’, yang
tidak didasarkan pada keturunan atau keberadaan spasial, dapat berkembang dan
membangun diri mereka dalam hiruk-pikuk dari dunia yang mengglobal. Salah satu
fitur utama risiko global yang paling mencolok dan hingga saat ini paling tidak
dikenal adalah bagaimana risiko tersebut menghasilkan semacam ‘kosmopolitanisme
wajib’, ‘perekat’ bagi keragaman dan pluralitas di dunia yang batas-batasnya
sama keroposnya dengan keju Swiss, setidaknya seperti salam komunikasi dan
ekonomi.[9]
Istilah
masyarakat berisiko yang dibuat oleh Beck pada
tahun 1986 melambangkan era masyarakat modern yang tidak lagi hanya
membuang cara-cara hidup tradisional tetapi lebih bergumul dengan efek samping
modernisasi yang berhasil, dengan biografi yang genting dan ancaman yang tidak
dapat dipahami yang mempengaruhi semua orang dan yang tidak dapat diasuransikan
secara memadai oleh siapa pun.
Dalam
penjelasannya mengenai masyarakat berisiko, Beck menarik sejumlah kesimpulan
berikut ini:
1. Risiko
memiliki ‘kekuatan destruktif perang’. Bahasa ancaman menular dan mengubah
ketidaksetaraan sosial: kebutuhan sosial bersifat hierarkis, sebaliknya,
ancaman baru bersifat demokratis. Itu mempengaruhi bahkan orang kaya dan
berkuasa. Guncangan dirasakan di semua lapisan masyarakat. Pasar runtuh, sistem
hukum gagal mencatat pelanggaran, pemerintah menjadi sasaran tuduhan sementara
pada saat yang sama mendapatkan kelonggaran baru untuk bertindak.
2. Kita
menjadi anggota ‘komunitas ancaman global’. Ancaman tidak lagi menjadi urusan
internal negara tertentu dan suatu negara tidak dapat menangani ancaman itu
sendirian. Dinamika konflik baru ketimpangan sosial sedang muncul.
3. Kemajuan
ilmiah sekarang terdiri dari menumbangkan peran para ahli. Prinsip dasar sains dan
teknologi visualisasinya, Beck memberi contoh: ‘Saya tidak melihat risiko apa
pun, oleh karena itu tidak ada risiko’, situasi semacam sedang ditantang. Lebih
banyak ilmu pengetahuan tidak selalu berarti lebih sedikit risiko tetapi
membuat persepsi risiko lebih akut dan risiko itu sendiri secara kolektif terlihat
untuk pertama kalinya.
4. Rasa
takut menentukan sikap terhadap hidup. Keamanan menggeser kebebasan dan kesetaraan
dari posisi tertinggi dalam skala nilai. Hasilnya adalah pengetatan hukum, totalitarianisme
pertahanan melawan ancaman yang tampaknya rasional.
5. Bisnis
ketakutan akan mendapatkan keuntungan dari hilangnya keberanian secara umum.
Warga negara yang mencurigakan dan tersangka harus berterima kasih ketika dia
dipindai, difoto, digeledah, dan diinterogasi untuk keselamatannya sendiri.
Keamanan menjadi barang konsumsi sektor publik dan swasta yang menguntungkan
seperti air dan listrik. Terlepas dari nadanya yang dramatis, dunia yang
digambarkannya sangat indah, masih bebas teror.[10]
Ulrich Beck secara lebih
lanjut menjelaskan bahwa masyarakat berisiko adalah berarti masyarakat risiko
dunia. Karena pada prinsip dasarnya adalah bahwa ancaman yang diantisipasi
secara manusiawi tidak dapat dibatasi baik secara temporal, spasial, atau dalam
istilah sosial. Ini membatalkan kondisi kerangka kerja dan institusi dasar dari
modernitas industri pertama yaitu konflik kelas, kenegaraan nasional dan
gagasan kemajuan linier, teknis ekonomi. Dimensi utama dari dinamika masyarakat
berisiko dunia, yaitu, krisis lingkungan, khususnya perubahan iklim dan
konsekuensi yang beragam. Tidak banyak yang bisa dikatakan tentang ‘alam’ atau
‘perusakan alam’, atau tentang ‘ekologi’ atau ‘perusakan lingkungan’, tetapi
lebih banyak lagi tentang ‘masyarakat berisiko dunia’. Konsep ini dipilih
dengan maksud sistematis. Karena Beck ingin mengajukan konsep analisis
sosiologis tentang pertanyaan lingkungan yang memungkinkan untuk dipahami,
bukan sebagai masalah lingkungan dalam arti dunia sekitarnya (Umwelt), tetapi
sebagai masalah yang mempengaruhi dunia batin (Innenwelt) masyarakat. Sebagai
ganti konsep kunci ‘alam’, ‘ekologi’ dan ‘lingkungan’ yang tampaknya terbukti
dengan sendirinya, yang menggarisbawahi perbedaan dari sosial, Beck mengusulkan
kerangka kerja konseptual yang melampaui pertentangan antara masyarakat dan
alam dan menggeser fokus ke ketidakpastian yang dibuat oleh manusia: risiko,
malapetaka, efek samping, ketidakpastian, individualisasi, dan globalisasi.[11]
Konsep ‘ekologi’ telah
menikmati sejarah sukses yang mengesankan. Saat ini, tanggung jawab atas
kondisi alam ada di pintu para menteri dan manajer. Bukti bahwa ‘efek samping’
produk atau proses industri menimbulkan ancaman bagi kehidupan manusia atau
basis alaminya dapat menyebabkan pasar runtuh, menghancurkan kepercayaan
politik serta modal ekonomi dan keyakinan pada rasionalitas superior para ahli.
Keberhasilan ini (dalam banyak hal sangat subversif) menutupi fakta bahwa
‘ekologi’ adalah konsep yang sama sekali tidak jelas; setiap orang menawarkan
jawaban berbeda untuk pertanyaan tentang apa yang harus dipertahankan. [12]
Alam secara khusus
menurut Beck bukanlah alam tetapi lebih dari sebelumnya merupakan konsep,
norma, ingatan, utopia, rencana alternatif. Alam ditemukan kembali dan
dimanjakan pada saat sudah tidak ada lagi. Gerakan ekologis adalah reaksi
terhadap kondisi global dari perpaduan yang kontradiktif antara alam dan masyarakat
yang telah menggantikan kedua konsep dalam hubungan timbal balik dan
pelanggaran yang belum kita ketahui, apalagi konsep. Upaya dalam perdebatan
lingkungan untuk menggunakan kondisi alam sebagai standar terhadap
kehancurannya sendiri bertumpu pada kesalahpahaman naturalistik. Karena sifat
yang dipanggil sudah tidak ada lagi. Apa yang benar-benar ada, dan apa yang
menyebabkan kegemparan politik seperti itu, adalah berbagai bentuk sosialisasi
dan berbagai mediasi simbolik alam (dan perusakan alam), konsep budaya tentang
alam, pengertian yang bertentangan tentang alam dan tradisi budaya (nasional)
mereka, yang menentukan konflik ekologi di seluruh dunia di bawah permukaan
perselisihan di antara para ahli, rumus teknis dan ancaman.[13]
Berpikir dalam istilah
ilmiah alami adalah prasyarat untuk menganggap dunia sebagai makhluk yang
secara ekologis terancam punah. Jadi kesadaran lingkungan adalah kebalikan dari
sikap ‘alami’; ini adalah pandangan dunia yang sangat ilmiah, di mana,
misalnya, model abstrak ahli iklim memengaruhi perilaku sehari-hari. Bagitu
pula pertanyaan tentang jenis pementasan, memang ‘visualisasi’, yang diperlukan
dan mungkin untuk mengatasi keabstrakan ini dan membuat perubahan iklim dan
konsekuensi apokaliptiknya ‘terlihat’ sangat mendesak.[14]
Menarik bahwa Beck
mengatakan tidak ada ontologi dari risiko. Risiko tidak berdiri secara
independen, seperti sebuah benda. Risiko adalah konflik risiko di mana terdapat
perbedaan dunia antara pembuat keputusan, yang pada akhirnya dapat menghindari
risiko, dan konsumen bahaya yang tidak disengaja, yang tidak memiliki suara
dalam keputusan ini dan kepada siapa bahaya dialihkan sebagai efek samping yang
tidak disengaja dan tidak terlihat. Risiko hancur secara sistematis ke dalam
dunia antagonis ini, bahkan mungkin tidak dapat dibandingkan: mereka yang
menjalankan risiko dan mendefinisikannya versus mereka yang diberi alokasi
(artinya penentuan).[15]
Masyarakat
Berisiko Kalimantan Tengah
Sebelumnya Beck telah
menjelaskan ada dua wajah risiko yaitu peluang dan bahaya. Terkait akan hal itu
maka ingin dilihat juga peluang dan bahaya dari pengelolaan lahan gambut oleh
masyarakat berisiko Kalimantan Tengah. Dapat dikatakan ini berkaitan erat juga
dengan risiko ekologi karena hubungannya dengan lahan gambut sebagai berisiko
dunia. Risiko sekali lagi terikat juga dengan kepentingan. Seperti yang
diketahui bahwa notabene masyarakat berisiko Kalimantan Tengah menggantungkan
hidup dengan bertani/ berladang untuk keperluan bahan pangan. Ini mengharuskan
mereka membuka lahan gambut dengan kemudian membakarnya. Cara ini sebenarnya
sudah turun temurun atau membudaya di kalangan para petani. Setelah bencana
kabut asap paling parah yang terjadi pada tahun 2015 membuat pemerintah
kemudian mengambil langkah tegas. Tentu saja dibuatnya larangan membakar lahan,
peraturan sebelumnya yaitu undang-undang tentang lingkungan hidup juga berlaku.
Ketika bencana kebakaran dan kabut asap terjadi, para petani kemudian dianggap
sebagai sumber bencana tersebut. Di sisi lain, bencana adalah aspek yang
dihadapi oleh masyarakat berisiko. Selain karena tradisi yang membudaya yaitu
membuka lahan dengan cara membakar tidak bisa tidak dilakukan. Lalu bagaimana
kemudian solusi para petani yang selama ini menggunakan lahan gambut sebagai
tempat untuk bergantung dan menyambung hidupnya?
Mengacu pada tulisan Daryono tentang
Potensi dan Masalah Lahan Gambut, dikatakan
gambut memiliki sifat kering yang tidak dapat balik (irreversible) maka gambut
mempunyai potensi yang tinggi untuk kebakaran. Sebaliknya di musim penghujan
terjadi bahaya banjir. Terbitnya Inpres No.2 tahun 2007 tentang percepatan
rehabilitasi dan revitalisasi kawasan lahan gambut eks Proyek Pengembangan
Lahan Gambut Kalimantan Tengah, merupakan langkah dan tindak lanjut pemulihan
kerusakan dan pengembalian fungsi ekologis, lingkungan dan sosial, ekonomi dan
budaya pada kawasan lahan gambut tersebut.[16]
Gambut
terdiri dari pepohonan, ranting, daun dan berbagai material organik kemudian
membentuk kubah gambut. Sering terjadi hujan di rawa gambut dan sifatnya
mengikat air seperti spons dalam jumlah yang banyak. Hal ini yang membuat
gambut basah selama bertahun-tahun. Tanah gambut itu sendiri memiliki kadar air
yang sangat banyak. Lahan gambut memiliki karbon alami yang tinggi. Itulah jika
gambut terbakar, tanah gambut dapat menyimpan bara api lebih lama daripada
tanah mineral. Lahan gambut yang terbakar menjadi penyumbang emisi karbon
terbesar.
Tradisi/ budaya membakar untuk
membuka lahan dilakukan oleh para petani di Kalimantan Tengah. Tapi hanya untuk lahan yang baru dibuka, lahan
yang sebelumnya yang sudah tidak ada pohon-pohon besar tidak perlu dibakar
lagi. Namun dari tradisi yang demikian ada resiko yang dihadapi oleh
masyarakat. Resiko-resiko yang dihadapi tentu saja semakin kurang asrinya lahan
gambut atau hutan gambut. Semakin banyak lahan yang dibakar untuk keperluan
petani berladang dan bercocok tanam. Lahan gambut di kalimantan tengah mulai
tidak terpelihara. Telah banyak terjadi kebakaran di lahan gambut dan kabut
asap setiap tahun akibat dari pembakaran. Ini karena sifat tanah gambut yang
memiliki karbon yang sangat tinggi. Selain itu juga bara api bisa bertahan di
tanah gambut selama berhari-hari, sehingga inilah yang menyebabkkan kabut asap.
Namun, kemudian benarkah jika kemudian sepenuhnya memberi justifikasi kepada
para petani yang menyebabkan kabut asap?
Selain itu tradisi/ hal
yang membudaya lainnya yang dilakukan oleh masyarakat berisiko ini adalah tidak
adanya tindak lanjut pemberdayaan lahan gambut dengan penanaman pohon kembali,
tetapi yang dilakukan adalah penanaman sawit yang sebenarnya masyarakat sudah
tahu bahwa hal ini tidak memberdayakan lingkungan lahan gambut.
Semakin masyarakat
modern maka semakin berisiko. Semakin orang-orang menjadi modern maka akan
banyak resiko pula yang dihadapi. Resiko juga terikat juga dengan kepentingan. Sebenarnya
kerusakan di lahan gambut tidak akan terjadi jika tidak ada pembukaan proyek
besar-besaran di zamannya Presiden Soeharto. Menurut sebuah sumber jurnal tentang
lahan rawa berikut ini:
“...ketika
pemerintahan Orde Baru berkuasa, Presiden Soeharto juga berambisi membuka lahan
rawa untuk kegiatan pertanian. Hal itu didasarkan pada kondisi pangan tahun
1970-an yang sangat mencemaskan dan menguras devisa sangat besar. Proyek ini
sampai saat ini dianggap sebagai kesalahan dan diharapkan tidak terjadi lagi. Presiden
Soeharto menggagas ide besar. Ekstensifikasi lahan rawa seluas 5,25 juta ha
harus tercapai selama 15 tahun ke depan. Seiring dengan itu, program
transmigrasi pun menjadi prioritas utama untuk menggarap lahan-lahan rawa
tersebut. Secara bertahap, ribuan petani dari Pulau Jawa didatangkan ke
berbagai daerah yang memiliki lahan rawa. Di bawah koordinasi Menteri Pekerjaan
Umum dan Tenaga Listrik Prof. Dr. Ir. Sutami berhasil dibuka sekitar 1,24 juta
ha melalui Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut (P4S). Perinciannya,
sebanyak 29 skim (jaringan) tata air di Kalimantan Selatan dan Kalimantan
Tengah serta 22 jaringan tata air di Sumatra dan Kalimantan Barat. Hingga tahun
1995 luas lahan rawa yang sudah dibuka untuk kegiatan pertanian mencapai
sekitar 2,36 juta ha. Program ekstensifikasi lahan rawa dan transmigrasi
tersebut berdampak luas antara lain terhadap ekonomi pertanian dan tata kota.
Ekonomi pertanian mulai berdenyut karena tumbuhnya sentra-sentra pertanian
baru. Malah, di beberapa daerah rawa di Kalimantan telah berkembang menjadi
kota-kota kabupaten dan kecamatan.”[17]
Mengacu
pada tulisan Suratman mengenai Peran
Tanah Mineral Pada Kesuburan Tanah Gambut, dijelaskan bahwa gambut sendiri
sebenarnya memiliki banyak definisi tergantung dari jenis tanah tersebut.
Gambut merupakan tanah yang berasal atau didominasi oleh bahan organik, dengan
persyaratan apabila kandungan liat 0-60%, maka harus mempunyai kandungan C
organik 12-18% secara proporsional. Apabila kandungan liat >60% maka C
organik harus >18%. [18]
Menurut
Magasti dan rekan-rekan dalam tulisannya mengenai Potensi dan Pemanfaatan Lahan Gambut Dangkal untuk Pertanian, produktivitas
lahan gambut sangat tergantung dari pengelolaan dan tindakan manusia. Lahan
gambut dikenal sebagai lahan yang rapuh atau rentan terhadap perubahan
karakteristik yang tidak menguntungkan. Pengelolaan lahan gambut perlu
hati-hati agar tidak terjadi perubahan karakteristik yang menyebabkan penurunan
produktivitas lahan, apalagi menjadi tidak produktif. Salah satu pertimbangan
yang harus diperhatikan dalam pemanfaatan lahan gambut adalah tingkat ketebalan
gambut tersebut.[19]
Dalam tulisannya, Daryono juga menjelaskan lahan
gambut merupakan lahan yang mempunyai berbagai fungsi penting guna menjaga dan
mengatur proses berlangsungnya lingkungan kehidupan seperti reservoir air,
rosot dan simpanan karbon, keanekaragaman hayati dan lain-lain kebutuhan untuk kesejahteraan
manusia. Keperluan ekonomi dan permintaan akan kayu dari hutan tropis dan hutan
gambut memaksa ekploitasi terhadap lahan gambut akan terus berlangsung.
Meningkatnya tekanan pada hutan, menyebabkan sektor kehutanan di South East
Asia merencanakan program pengelolaan lahan gambut secara lestari yang
lebih progresif kearah pengembangan lahan gambut dan sumber daya alam yang
lestari, dalam menghadapi ketidaktentuan masalah sosial dan lingkungan daripada
mencapai peningkatkan produksi secara sesaat. Beberapa faktor yang menyebabkan
lahan gambut di saat ini dipandang mempunyai arti dan peran penting adalah :
1.
Semakin meningkatnya kebutuhan dan permintaan
akan air ;
2.
Meningkatnya kemiskinan masyarakat di sekitar hutan lahan gambut ;
3.
Meningkatnya pengaruh globalisasi ; dan
4.
Perubahan iklim (climate change)
Dengan pertimbangan cukup banyaknya fungsi dan
peranan penting keberadaan lahan gambut tersebut, ada beberapa hal yang
menyebabkan lahan gambut pemanfaatannya dan pengelolaannya harus dilakukan
secara bijaksana yakni :
1. Lahan gambut mempunyai sifat dan karakter yang
spesifik, seperti adanya subsidensi lahan gambut, sifat irreversible drying dan
lain-lain sehingga pengelolaan air merupakan hal yang penting;
2. Adanya kegiatan penebangan liar (illegal
logging) atau ekploitasi sumber daya alam tanpa diperhitungkan;
3. Perubahan iklim. Pengelolaan lahan gambut dengan
baik dengan menghindari pembukaan hutan dan lahan untuk drainase dan kebakaran
mencegah terjadinya emisi CO (gas yang beracun) dan lain-lain yang merupakan
penyebab utama terjadinya perubahan iklim global;
4. Adanya bahaya api di lahan gambut;
5. Pengembangan lahan gambut yang tidak tepat; dan
6. Tekanan sosial.
Menurut Daryono, penggunaan secara bijaksana berbeda
dengan pendekatan secara tradisional atau pemanfaatan oleh salah satu sektor
saja. Pemanfaatan secara bijaksana adalah bertujuan mengelola lahan gambut
secara terintegrasi dan optimum untuk keperluan ekonomi, sosial, budaya dan
fungsi ekologi. Selain itu pengelolaan secara bijaksana adalah melibatkan
pengelolaan partisipatif dari para pihak. Pemanfaatan lahan gambut secara bijaksana
adalah bertujuan meminimalkan konflik dan memaksimalkan luas persetujuan bersama
(area agreements). Beberapa strategi yang dapat dilakukan adalah :
1. Keberadaan hutan rawa gambut yang ada harus tetap
dijaga dari kerusakan, sehingga fungsi ekologis, sosial, ekonomi budaya dan
lingkungan yang mempengaruhi hajat hidup manusia tidak terganggu;
2. Pemanfaatan lahan gambut harus memberikan dampak
pengembangan ekonomi dan sosial;
3. Menurunkan dan dapat mencegah timbulnya kebakaran
di lahan gambut;
4. Dalam rangka mengurangi masalah yang dihadapi
diperlukan sesuatu langkah yang urgen yaitu pendekatan ekonomi baru. Hal ini
tercakup masalah carbon stock (penyimpanan karbon), konservasi biodiversity
melalui pendekatan bioright; dan
5. Pendekatan ekonomi baru melalui suatu strategi
implementasi untuk konservasi hutan rawa gambut, dan rehabilitasi lahan rawa
gambut yang terdegradasi, yang dilakukan secara ilmiah.[20]
Selain itu, lahan gambut tidak
saja dimanfaatkan sebagai media tumbuh tanaman, tetapi juga sekaligus sebagai
tempat tinggal dan sumber mata pencaharian petani. Sebagai media tumbuh, lahan
ini telah ratusan tahun dimanfaatkan petani untuk mendukung kehidupan mereka. Lahan
gambut mempunyai berbagai kendala untuk dimanfaatkan sebagai media tumbuh,
sehingga diperlukan strategi, yakni langkah-langkah utama yang diperlukan untuk
mencapai tujuan secara efisien dan efektif. Salah satu strategi yang diperlukan
adalah pemilihan komoditas. Tidak semua komoditas dapat berkembang baik di lahan gambut dangkal. Secara umum komoditas yang berkembang
di lahan gambut dangkal dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yakni tanaman
pangan/palawija, tanaman hortikultura, dan tanaman tahunan.
Pemilihan
komoditas berkaitan erat dengan tipologi luapan, musim, nilai
ekonomiskomoditas, dan ketersediaan teknologi. Penataan lahan pada daerah produksi
membuka peluang untuk membudidayakan komoditas-komoditas seperti padi, jagung,
kedelai, jeruk, sayuran, kelapa, karet dan kelapa sawit. Komoditas hortikultura
(sayuran dan buah-buahan) memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi dari pada tanaman
pangan, tetapi memerlukan teknik budidaya yang lebih intensif.
Pertimbangan
lain yang harus diperhatikan dalam memanfaatkan lahan gambut dangkal adalah sistem
perakaran tanaman. Tanaman tahunan tidak direkomendasikan untuk dibudidayakan
di lahan ini karena memerlukan daerah perakaran yang lebih luasdan
dalam.Ketebalan gambut dangkal terbatas, sehingga sangat berbahaya jika
perakaran tanaman tahunan menyentuh tanah lapisan bawah yang mengandung senyawa
bersifat toksik. Demikian juga jika substratum gambut berupa pasir kuarsa yang
miskin hara, sehingga perlu input hara dan pupuk organik yang lebih banyak.
Selain itu tanah berpasir mempunyai daya simpan air yang rendah, sehingga tidak
hanya memerlukan input air yang lebih banyak, tetapi risiko tanaman mengalami kekeringan
atau layu lebih besar. Oleh karena itu pemanfaatan lahan gambut dangkal hanya
untuk budidaya tanaman pangan dan hortikultura.
Lahan
gambut merupakan kontributor penting dalam penyediaan bahan pangan. Padi, jagung
dan kedelai (pajale) merupakan jenis tanaman yang banyak dibudidayakan di lahan
gambut dangkal. Tanaman pajale, terutama padi merupakan jenis tanaman yang telah
lama dibudidaya-kan petani di lahan gambut dangkal. Tanaman ini berkembang
karena secara tradisional petani telah menguasai teknik budidayanya,
pengelolaan air lebih mudah, dorongan budaya untuk menghasilkan bahan pangan, menjadi
sandaran perekonomian keluarga, dan menyerap tenaga kerja baik langsung maupun
tidak langsung.
Lebih
lanjut dijelaskan bahwa salah satu kunci utama dalam budidaya pajale di lahan
gambut dangkal adalah pengelolaan air, terutama berkaitan dengan pengaturan
tinggi permukaan air tanah. Budidaya pajale di lahan gambut dangkal memerlukan
kedalaman air 20-50 cm dari permukaan tanah. Pengaturan tersebut bertujuan agar
perakaran tanaman berkembang dengan baik, dan tidak menyebabkan genangan (kecuali
untuk tanaman padi yang pada fase tertentu memerlukan genangan), sehingga suplai
oksigen tercukupi. Pengelolaan air tidak hanya memberikan jaminan ketersediaan air
untuk kebutuhan tanaman, tetapi juga harus menjaga kondisi aerasi yang baik
bagi mikro organisme, mengendalikan reaksi kimia tanah dan perkembangan perakaran
tanaman.
Komoditas pajale
biasa ditanam secara monokultur dan tumpang sari dengan tanaman perkebunan seperti
kelapa sawit dan kelapa. Untuk meningkatan kontribusi lahan gambut dangkal
dalam menyediakan bahan pangan perlu memanfaatkan lahan perkebunan kelapa sawit
dan kelapa yang belum menghasilkan dan tanaman tua atau tanaman yang sudah rusak.
Selain ketiga komoditas di atas, ubi kayu dan ubi jalar juga banyak dibudidayakan
di lahan gambut dangkal. Kedua komoditas ini berkembang karena umumnya tanaman ini
tidak memerlukan syarat tumbuh yang spesifik, terutama berkaitan dengan hara
dan serangan organisme pengganggu tanaman. Tanaman ini tidak memerlukan
perawatan yang intensif, sehingga petani mempunyai waktu luang yang lebih
banyak untuk kegiatan lainnya. [21]
Teologi Masyarakat Berisiko Kalimantan Tengah
Sebagai masyarakat yang
menggantungkan hidup pada alam dalam hal ini lahan gambut, masyarakat berisiko
Kalimantan Tengah ada di situasi yang dilema. Manusia bergantung dengan alam. Manusia
diciptakan bersama dengan seluruh alam semesta. Manusia diberi tanggungjawab
untuk mengelola dan memelihara lingkungan hidupnya (Kej. 2:15).
Teori masyarakat
berisiko dari Ulrich Beck sangat menggambarkan keadaan masyarakat berisiko
Kalimantan Tengah yang menggantungkan hidupnya di daerah lahan gambut. Teknologi
semakin berkembang, demikian pula dengan modernisasi yang akan terus berlanjut,
tentu membuat masyarakat berisiko harus terus berupaya untuk menghadapi peluang
dan juga bahaya di masa depan.
Masyarakat berisiko Kalimantan Tengah telah mendapat
solusi atau telah ada suatu upaya dan penanganan yang dilakukan yaitu membuat
waduk untuk pengairan lahan gambut. Sehingga lahan tersebut tetap terus bisa
digunakan tanpa harus membuka lahan baru dan membakarnya. Pemberdayaan hutan
dan lahan gambut perlu dilakukan secara bijaksana dan hati-hati, hal ini
disebabkan karena hutan lahan gambut seperti yang telah dijelaskan di atas
merupakan suatu ekosistem yang mudah rapuh, sehingga kalau pemberdayaan tidak
dilakukan secara benar, hutan tersebut tidak akan lestari.
Paling tidak
dalam menghadapi bahaya risiko, masalah tersebut dapat diantisipasi. Memang
alam sedikit menghalangi manusia agar merasa puas dengan apa yang telah
disediakan oleh alam itu sendiri. Sehingga antisipasi manusia terhadap ancaman
alam di masa kini dan di masa depan memang benar-benar diperlukan. Pemerintah juga
telah berupaya membantu dari segi materi atau dana agar masyarakat
memberdayakan lahan gambut dan pembuatan waduk dapat benar-benar membantu
proses restorasi lahan gambut. Dengan demikian pembakaran lahan untuk pangan
yang dianggap sebagai tradisi telah memiliki jalan keluar yang dianggap baik
demi keberlangsungan atau kelestarian lahan gambut. Selain tetap dapat
bergantung dan menyambung hidupnya, masyarakat
Kalimantan Tengah yang tinggal di daerah
lahan gambut juga berdedikasi menjaga, merawat, dan memberdayakan lahan gambut (alam)
sebagai bentuk ibadah kepada Tuhan.
Penutup
Modernisasi
adalah hal yang tidak bisa dihindari. Selain itu modernisasi memiliki dampak
yang sangat besar pula. Melalui tulisan Beck dapat dipahami bahwa modernisasi
itu dapat memiliki bahaya dan juga peluang. Melalui tinjauan mengenai
masyarakat berisiko ini pun sama, masyarakat yang menggantungkan hidupnya di
daerah lahan gambut, untuk memenuhi kebutuhan pangan. Tradisi membakar lahan
gambut untuk tempat bertanam pun harus dilakukan dengan berbagai resiko. Lahan
gambut dapat menyembuhkan dirinya sendiri jika manusia tidak merusak demi
kepentingannya. Namun, manusia sangat bergantung dengan alam. Di sini peran
penting masyarakat untuk tetap menjaga kelestarian lahan gambut sangat
dibutuhkan. Sehingga adanya keseimbangan. Menjaga kelestarian alam menjadi
bentuk ibadah kepada Sang Pencipta alam dan manusianya.
Daftar
Pustaka
Daryono, “(Potency, problems, policy and peatland
management needed for sustainable peat swamp
forest).” Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan. Vol. 6 No. 2. Agustus 2009 : 71 – 101.
Akbar, M. Fharis, Kondisi Masyarakat Berisiko Di Desa Sungai Buluh Kabupaten Lingga.
Masganti,
Khairil Anwar, Maulia Aries Susanti., Potensi
dan Pemanfaatan Lahan Gambut Dangkal untuk Pertanian, Jurnal Sumberdaya Lahan.
Vol. 11 No. 1, Juli 2017.
Suratman dan Sukarman, Peran Amelioran Tanah Mineral Terhadap
Peningkatan Berbagai Unsur Kesuburan Tanah Gambut pada Perkebunan Kelapa Sawit.
Jurnal Sumberdaya Lahan Edisi Khusus, Desember 2016; 21-32.
Beck,
Ulrich, Risk Society. A Companion
to the Philosophy of Technology Edited by J. K. B. Olsen. S. A. Pedersen
and V. F. Hendricks. 2009.
Beck,
Ulrich. World at Risk-Polity. USA: Polity
Press. 2009.
http://www.litbang.pertanian.go.id/buku/Lahan_Rawa/BAB2.pdf.
[1]Sebuah pengalaman melihat para
kuli bangunan melakukan pekerjaan menimbun tanah gambut sebelum mendirikan
pondasi rumah.
[2] Sebuah pengalaman nyata sebagai
anak dari suku Dayak Kalimantan Tengah yang hidup di lingkungan yang begitu
melekat dengan adat, tradisi dan kebiasaan suku Dayak.
[3] M. Fharis Akbar, Kondisi Masyarakat
Berisiko Di Desa Sungai Buluh Kabupaten Lingga, 1.
[4] Ulrich Beck, World at Risk-Polity, USA: Polity Press,
2009, 6.
[5] Ulrich Beck, Risk Society, A Companion to the
Philosophy of Technology Edited by J. K. B. Olsen, S. A. Pedersen and V. F.
Hendricks, 2009, 2.
[6] Ulrich beck, World at risk,... 4.
[7] Ulrich Beck, World at Risk-Polity, USA: Polity Press,
2009,5.
[8] Ulrich Beck, World at Risk-Polity, USA: Polity Press,
2009, 6.
[9] Ulrich Beck, World at Risk-Polity,...187-188.
[10] Ulrich Beck, World at Risk-Polity,...9.
[11] Ulrich Beck, World at Risk-Polity,... 81.
[12] Ulrich Beck, World at Risk-Polity,... 82.
[13] Ulrich Beck, World at Risk-Polity,... 83.
[14] Ulrich Beck, World at Risk-Polity,... 83.
[15] Ulrich Beck, World at Risk-Polity,...195.
[16] Daryono, “(Potency, problems, policy and peatland management needed for
sustainable peat swamp forest).”
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, Vol. 6 No. 2, Agustus 2009 : 71 –
101, 4.
[18] Suratman dan Sukarman, Peran Amelioran Tanah Mineral Terhadap
Peningkatan Berbagai Unsur Kesuburan Tanah Gambut pada Perkebunan Kelapa Sawit,
Jurnal Sumberdaya Lahan Edisi Khusus, Desember 2016; 21-32, 22.
[19] Masganti, Khairil Anwar, Maulia Aries Susanti
, Potensi dan Pemanfaatan Lahan Gambut
Dangkal untuk Pertanian, Jurnal Sumberdaya Lahan, Vol. 11 No. 1, Juli
2017, 44.
[20] Daryono, “(Potency, problems, policy and peatland
management needed for sustainable peat swamp forest).” Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, Vol. 6 No. 2, Agustus 2009 : 71 –
101, 80-81.
[21] Masganti, Anwar, dan Susanti, “Potensi dan Pemanfaatan Lahan Gambut
Dangkal untuk Pertanian.”
Jurnal
Sumberdaya Lahan Vol. 11 No. 1, Juli 2017; 43-52, 48-49.
Komentar
Posting Komentar