Langsung ke konten utama

Membakar Hutan Menyambung Hidup?

 

Universitas Kristen Duta Wacana

                     Nama/ NIM                : Winda Patrika Embun Sari/ 50190056

                     Dosen Pengampu      : Leonard Chrysostomos Epafras

                     Tugas                          : Makalah Akhir Teologi dan Sains Modern

                                                                                                                                                                                         

Membakar Hutan Menyambung Hidup

Tinjauan Pemahaman Masyarakat Berisiko Terhadap Peran Manusia dalam Memberdayakan Lahan Gambut

Pendahuluan

            Kalimantan Tengah terkenal dengan kekayaan alam dan hutannya yang asri, hijau dan dapat dikatakan setengah dari kesuburan itu adalah dedikasi dari lahan gambut. Masyarakat Kalimantan Tengah yang notabene adalah petani sangat memberdayakan lahan gambut untuk keperluan bahan pangan. Selain memberi banyak manfaat bagi kesejahteraan manusia, lahan gambut juga digunakan masyarakat untuk membangun rumah dan bangunan-bangunan lainnya. Lahan gambut dipilih karena tanah ini adalah jenis tanah yang subur. Ini dikarenakan tanah gambut bersifat mengikat air yang sangat banyak. Duka lain menjadikan lahan gambut sebagai pilihan membangun rumah adalah harus banyak menimbun material pasir agar mampu memadatkan tanah.[1]

Kalimantan Tengah terkenal juga dengan masyarakat yang begitu bergantung dengan alam. Sebagai masyarakat yang sangat terikat dengan tradisi, adat dan kebiasaan, masyarakat Kalimantan Tengah mengelola alam untuk kelangsungan hidup mereka. Bicara mengenai masyarakat Kalimantan Tengah, hal yang paling melekat dari mereka adalah terbagi dalam banyak suku, terlebih suku Dayak yang sangat mengutamakan alam sebagai sumber utama baik pangan dan papan. Masyarakat Dayak tentu menghormati alam, karena kedekatan orang Dayak dengan alam menjadikan mereka selalu mengamati gerak lembut perubahan alam. Inilah yang membuat orang Dayak di Kalimantan sangat unik. Karena kemampuan mereka menyatu dengan alam. Kebersatuan dengan alam, keheningan, menjadikan mereka mampu menyerap getaran alam. Tidak heran banyak yang memilih datang kepada tanah, air, dan pohon-pohon yang dianggap keramat untuk meminta apa yang mereka inginkan. Kepekaan masyarakat Dayak terhadap alam menjadi semakin terasah karena alam jugalah yang memberikan jawab kepada apa yang diperlukan oleh mereka. Itulah mengapa kedekatan mereka dengan alam dipahami bahwa segala sesuatunya adalah pemberian Ranying Hatalla Langit (Tuhan dalam bahasa suku Dayak, yang sejak dari nenek moyang, Tuhan ini dapat ditemui dalam wujud burung Tingang, pohon dan benda-benda yang dikeramatkan. Sebelum Kekristenan masuk dan melakukan dekolonialisasi, masyarakat Dayak semula awalnya semua beragama suku, taat, hormat dan tidak serakah pada alam). Segala pemberian dari Ranying Hatalla Langit adalah positif, semacam anugerah bagi masyarakat Dayak.[2]

Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, melalui alam, hewan-hewan liar, dapat memberi tahu manusia suatu tanda kapan musibah atau bencana akan datang, pohon-pohon akan berbunga dan berbuah. Kebanyakan masyarakat Dayak memanfaatkan lahan gambut untuk mengembangkan pangan dalam hal ini bertani/ berladang. Alam menjadi pengingat kapan para petani akan memulai mengelola ladang untuk menanam padi, jagung, sayur-sayuran dan lain sebagainya. Namun, gambaran yang telah dijelaskan dapat dikatakan mengalami penurunan, kekayaan alam di Kalimantan Tengah tidak seperti dulu lagi, telah banyak bencana alam seperti banjir, kebakaran hutan dan kabut asap terjadi hampir setiap tahunnya. Hal ini dikarenakan tradisi bagi mereka para petani adalah mengharuskan mereka membakar ketika membuka lahan. Keadaan ini kemudian dianggap hal yang biasa saja oleh sebagian orang, namun dampak dari itu sangatlah buruk. Melalui ini maka dirasa penting untuk memiliki kesadaran dari masyarakat untuk menangani keadaan tersebut bila terjadi lagi. Sebagian besar masyarakat memang menaruh perhatian yang ekstra juga jika terjadi bencana, akan tetapi tentu masih perlu dukungan pula. Situasi semacam ini dapat dikatakan risiko (dalam hal ini konteks ekologi) masyarakat Kalimantan Tengah dalam memberdayakan lahan gambut. Masyarakat yang tinggal di Kalimantan Tengah khususnya yang menggantungkan hidupnya dengan lahan gambut, sangat erat kaitannya dengan teori dari Ulrich Beck yaitu masyarakat berisiko.

 Tulisan ini akan melihat dialog dari teori Ulrich Beck mengenai masyarakat berisiko dengan masyarakat Kalimantan Tengah yang berdomisili khususnya di daerah lahan gambut dalam upaya menjaga, merawat dan memberdayakan sebagai bentuk ibadah kepada Tuhan. Teori dari Ulrich Beck dipakai karena sangat berkaitan erat dengan keadaan dan situasi masyarakat yang tinggal di daerah lahan gambut di Kalimantan. Sistematika tulisan ini akan mulai berbicara mengenai teori masyarakat berisiko terlebih dahulu kemudian permasalahan lahan gambut.  Selanjutnya memuat unsur teologi dalam hal ini meninjau peran masyarakat berisiko Kalimantan Tengah dalam memberdayakan lahan gambut.

 

 

Masyarakat Berisiko

            Semakin modern masyarakat semakin berisiko, sebagian fenomena yang terjadi di dunia ini bagi Ulrich Beck adalah risiko. Masyarakat berisiko merupakan kondisi dimana masyarakat mengalami kerentanan akibat hadirnya modernisasi, industrialisasi atau mekanisasi kehidupan berdampak pada munculnya kondisi risk society atau masyarakat berisiko, yakni suatu kondisi di mana masyarakat menghadapi ancaman dan ketidakpastian hidup. Sehingga membuat masyarakat mau tidak mau ikut larut dalam arus perubahan dan tuntutan zaman. Sebenarnya masyarakat berisiko dapat dilihat sebagai sejenis masyarakat industri karena kebanyakan risikonya itu berasal dari industri. Risiko yang terjadi dilihat dengan menggunakan teori yang diungkapkan oleh Ulrich Beck, di mana ada beberapa hal yang perlu diketahui mengenai risiko, dominasi kekuasaan, eksploitasi sumber daya alam, modernisasi, risiko yang diwariskan, dan masyarakat kelas.[3]

            Dalam tulisannya tentang masyarakat berisiko, Beck menjelaskan bahwa konsekuensi dan keberhasilan modernisasi menjadi masalah dengan kecepatan dan radikalitas proses modernisasi. Dimensi baru risiko muncul karena kondisi untuk menghitung dan memprosesnya secara kelembagaan rusak sebagian. Dalam kondisi seperti itu, iklim moral politik baru berkembang di mana budaya, dan karenanya bervariasi secara nasional, evaluasi memainkan peran sentral dan argumen untuk dan melawan konsekuensi nyata atau yang mungkin dari keputusan teknis dan ekonomi dilakukan secara publik. Dalam prosesnya, fungsi iptek juga mengalami perubahan.[4]

Beck dalam bukunya menjelaskan bahwa masyarakat berisiko adalah kondisi struktural yang tak terhindarkan dari industrialisasi maju dan mengkritik “moralitas matematis” dari pemikiran ahli dan wacana publik tentang “profil risiko.” Sementara penilaian risiko yang berorientasi pada kebijakan menunjukkan pengelolaan risiko, Beck menunjukkan bahwa bahkan akun implikasi risiko yang paling terkendali dan moderat pun melibatkan politik, etika, dan moralitas yang tersembunyi. Menurut Beck risiko tidak dapat direduksi menjadi produk kemungkinan terjadinya dikalikan dengan intensitas dan cakupan potensi bahaya. Sebaliknya, ini adalah fenomena yang dibangun secara sosial, di mana beberapa orang memiliki kapasitas yang lebih besar untuk menentukan risiko daripada yang lain. Tidak semua pelaku benar-benar mendapat manfaat dari refleksivitas risiko, hanya mereka yang memiliki ruang lingkup nyata untuk menentukan risiko mereka sendiri. Penjelajahan mengenai risiko menggantikan kelas sebagai ketidaksetaraan utama dalam masyarakat modern, karena bagaimana risiko secara refleks didefinisikan oleh para tokoh: “Dalam definisinya, hubungan masyarakat yang berisiko harus dipahami analog dengan hubungan produksi Marx.” Ketidaksetaraan definisi memungkinkan tokoh berpengaruh untuk memaksimalkan risiko bagi “orang lain” dan meminimalkan risiko untuk “diri mereka sendiri.” Definisi risiko, pada dasarnya, adalah permainan kekuatan. Ini terutama berlaku untuk masyarakat berisiko dunia di mana pemerintah Barat atau aktor ekonomi yang kuat mendefinisikan risiko untuk orang lain.[5]

Menurut Beck, ancaman dan ketidakamanan selalu menjadi salah satu kondisi keberadaan manusia; dalam arti tertentu ini bahkan lebih terjadi di masa lalu daripada saat ini. Ancaman terhadap individu dan keluarga mereka melalui penyakit dan kematian dini serta ancaman terhadap masyarakat melalui kelaparan dan wabah penyakit lebih besar pada Abad Pertengahan daripada saat ini. Dari ancaman semacam ini kita harus membedakan semantik risiko yang diasosiasikan sejak awal periode modern dengan semakin pentingnya keputusan, ketidakpastian, dan probabilitas dalam proses modernisasi. Semantik risiko mengacu pada tematisasi ancaman masa depan yang sering kali merupakan produk dari keberhasilan peradaban. Hal ini juga memungkinkan mobilisasi baru masyarakat pasca-utopia, misalnya, seperti yang telah kita lihat, inisiatif kosmopolitan melawan perubahan iklim dan pergeseran aliansi antara gerakan sipil, negara dan perusahaan.

Dalam bukunya Beck menjelaskan, kedua wajah risiko, yaitu peluang dan bahaya, menjadi masalah selama industrialisasi, dimulai dengan pengiriman pedagang antarbenua. Risiko merepresentasikan skema persepsi dan kognitif yang sesuai dengan mana masyarakat memobilisasi dirinya sendiri ketika dihadapkan pada keterbukaan, ketidakpastian, dan penghalang dari masa depan yang diciptakan sendiri dan tidak lagi ditentukan oleh agama, tradisi, atau kekuatan alam yang superior tetapi memiliki bahkan kehilangan keyakinannya pada kekuatan penebusan utopia.[6]

Beck juga mengungkapkan bahwa, modernisasi sama sekali tidak bisa dihindari. Oleh karena itu manusia harus mengantisipasi kehidupannya untuk ke depan. Risiko di sini sama dengan prediksi akan bencana alam atau pun kejadian buruk. Risiko bisa juga berarti antisipasi terhadap bencana.

Beck menjelaskan bahwa kategori risiko membuka dunia di dalam dan di luar perbedaan yang jelas antara pengetahuan dan ketidaktahuan, kebenaran dan kepalsuan, baik dan jahat. Kebenaran tunggal dan tak terbagi telah terpecah menjadi ratusan kebenaran relatif yang dihasilkan dari kedekatan dan kecemasan atas risiko. Ini tidak berarti bahwa risiko membatalkan semua bentuk pengetahuan. Melainkan menggabungkan pengetahuan dengan ketidaktahuan dalam horizon probabilitas semantik. Dengan demikian, kategori risiko mencerminkan respons terhadap ketidakpastian, yang saat ini sering kali tidak dapat diatasi dengan lebih banyak pengetahuan tetapi lebih merupakan hasil dari lebih banyak pengetahuan. Terkadang ketidakmampuan untuk mengetahui (Nicht-Wissen-Können) ini ditekan, terkadang menjadi pusat perhatian, skenario horor yang bagus untuk bisnis dan untuk memainkan permainan kekuasaan. Melalui risiko, asumsi arogan tentang kemampuan untuk dikendalikan, tetapi mungkin juga kebijaksanaan ketidakpastian, dapat meningkatkan pengaruh.[7]

Dewasa ini menurut Beck, semantik risiko sangat topikal dan penting dalam bahasa teknologi, ekonomi dan ilmu alam dan politik. Ilmu-ilmu alam (seperti genetika manusia, pengobatan reproduktif, nanoteknologi, dan lain sebagainya) yang kecepatan perkembangannya melampaui imajinasi budaya paling dipengaruhi oleh dramatisasi risiko publik. Ketakutan yang terkait, yang diarahkan ke masa depan (yang masih) tidak ada, dan oleh karena itu sulit untuk diredakan oleh sains, mengancam untuk membatasi kebebasan penelitian. Dalam kondisi tertentu, politisi merasa terpaksa untuk memberlakukan pembatasan tersebut karena wacana publik mengenai risiko memiliki dinamika sendiri (yang masih harus dipelajari). Dengan demikian, risiko merupakan ‘masalah mediasi’ dalam hal pembagian kerja antara sains, politik dan ekonomi dalam masyarakat yang sangat inovatif pada akhirnya harus dinegosiasikan ulang.[8]

Beck juga mengkategorikan risiko secara sosiologis berikut ini:

1.    Pertama, ada kehausan yang tak terbatas akan kenyataan: kategori risiko menghabiskan dan mengubah segalanya. Itu mematuhi hukum semua atau tidak sama sekali. Jika suatu kelompok mewakili suatu risiko, fitur lainnya menghilang dan itu menjadi didefinisikan oleh ‘risiko’ ini. Ia terpinggirkan dan terancam dikucilkan.

2.    Perbedaan klasik bergabung menjadi tingkat risiko yang lebih besar atau lebih kecil: Risiko berfungsi seperti bak asam di mana perbedaan klasik yang terhormat dilarutkan. Dalam cakrawala risiko, ‘kode biner’, diizinkan atau dilarang, legal atau ilegal, benar atau salah, kita dan mereka sebenarnya tidak ada. Dalam cakrawala risiko, orang tidak baik atau jahat tetapi hanya sedikit atau lebih berisiko. Setiap orang memiliki risiko yang lebih atau kurang bagi orang lain. Perbedaan kualitatif baik  atau digantikan oleh perbedaan kuantitatif antara lebih atau kurang. Tidak ada yang bukan risiko, sekali lagi Beck tegaskan, setiap orang memiliki risiko yang lebih atau kurang untuk semua orang.

3.    Ada dan tidak ada: Risiko tidak sama dengan malapetaka, tetapi antisipasi malapetaka demikian yang ingin Beck sampaikan dalam tulisannya. Akibatnya, risiko mengarah pada keberadaan yang meragukan, berbahaya, calon, dan kiasan: ada dan tidak ada, ada dan tidak ada, diragukan dan mencurigakan. Pada akhirnya dapat dianggap ada di mana-mana dan dengan demikian menjadi dasar politik pencegahan. Antisipasi memerlukan tindakan pencegahan, dan menurut Beck itu harus dipatuhi, misalnya, kalkulasi ‘Belanjakan satu sen hari ini, simpan Euro besok’, dengan asumsi bahwa ancaman yang belum (belum) benar-benar ada.

4.    Tanggung jawab individu dan sosial: Bahkan yang terkecil mikrokosmos, risiko mendefinisikan hubungan sosial, hubungan antara setidaknya dua orang: pengambil keputusan yang mengambil risiko dan yang dengan demikian memicu konsekuensi bagi orang lain, yang tidak dapat, atau hanya dengan kesulitan, membela diri. Dengan demikian, dua konsep tanggung jawab dapat dibedakan: tanggung jawab individu yang diterima pembuat keputusan atas konsekuensi keputusannya, yang harus dibedakan dari tanggung jawab untuk orang lain, tanggung jawab sosial. Risiko pada prinsipnya mengajukan pertanyaan (yang menggabungkan pertahanan dan devaluasi) tentang ‘efek samping’ apa yang dimiliki risiko bagi orang lain dan siapa orang lain ini dan sejauh mana mereka terlibat atau tidak terlibat dalam keputusan.

5.    Ruang tanggung jawab global: Dalam pengertian ini, risiko global membuka ruang tanggung jawab moral dan politik yang kompleks di mana orang lain hadir dan tidak ada, dekat dan jauh, dan di mana tindakannya tidak baik atau jahat, hanya sedikit banyak berisiko. Makna kedekatan, timbal balik, martabat, keadilan, dan kepercayaan diubah dalam cakrawala ekspektasi risiko global ini.

6.    Komunitas berisiko adalah semacam ‘perekat’ bagi keragaman: Risiko global mengandung jawaban atas pertanyaan tentang bagaimana jenis baru ‘komunitas berisiko’, yang tidak didasarkan pada keturunan atau keberadaan spasial, dapat berkembang dan membangun diri mereka dalam hiruk-pikuk dari dunia yang mengglobal. Salah satu fitur utama risiko global yang paling mencolok dan hingga saat ini paling tidak dikenal adalah bagaimana risiko tersebut menghasilkan semacam ‘kosmopolitanisme wajib’, ‘perekat’ bagi keragaman dan pluralitas di dunia yang batas-batasnya sama keroposnya dengan keju Swiss, setidaknya seperti salam komunikasi dan ekonomi.[9]

Istilah masyarakat berisiko yang dibuat oleh Beck pada  tahun 1986 melambangkan era masyarakat modern yang tidak lagi hanya membuang cara-cara hidup tradisional tetapi lebih bergumul dengan efek samping modernisasi yang berhasil, dengan biografi yang genting dan ancaman yang tidak dapat dipahami yang mempengaruhi semua orang dan yang tidak dapat diasuransikan secara memadai oleh siapa pun.

 

 

Dalam penjelasannya mengenai masyarakat berisiko, Beck menarik sejumlah kesimpulan berikut ini:

1.    Risiko memiliki ‘kekuatan destruktif perang’. Bahasa ancaman menular dan mengubah ketidaksetaraan sosial: kebutuhan sosial bersifat hierarkis, sebaliknya, ancaman baru bersifat demokratis. Itu mempengaruhi bahkan orang kaya dan berkuasa. Guncangan dirasakan di semua lapisan masyarakat. Pasar runtuh, sistem hukum gagal mencatat pelanggaran, pemerintah menjadi sasaran tuduhan sementara pada saat yang sama mendapatkan kelonggaran baru untuk bertindak.

2.    Kita menjadi anggota ‘komunitas ancaman global’. Ancaman tidak lagi menjadi urusan internal negara tertentu dan suatu negara tidak dapat menangani ancaman itu sendirian. Dinamika konflik baru ketimpangan sosial sedang muncul.

3.    Kemajuan ilmiah sekarang terdiri dari menumbangkan peran para ahli. Prinsip dasar sains dan teknologi visualisasinya, Beck memberi contoh: ‘Saya tidak melihat risiko apa pun, oleh karena itu tidak ada risiko’, situasi semacam sedang ditantang. Lebih banyak ilmu pengetahuan tidak selalu berarti lebih sedikit risiko tetapi membuat persepsi risiko lebih akut dan risiko itu sendiri secara kolektif terlihat untuk pertama kalinya.

4.    Rasa takut menentukan sikap terhadap hidup. Keamanan menggeser kebebasan dan kesetaraan dari posisi tertinggi dalam skala nilai. Hasilnya adalah pengetatan hukum, totalitarianisme pertahanan melawan ancaman yang tampaknya rasional.

5.    Bisnis ketakutan akan mendapatkan keuntungan dari hilangnya keberanian secara umum. Warga negara yang mencurigakan dan tersangka harus berterima kasih ketika dia dipindai, difoto, digeledah, dan diinterogasi untuk keselamatannya sendiri. Keamanan menjadi barang konsumsi sektor publik dan swasta yang menguntungkan seperti air dan listrik. Terlepas dari nadanya yang dramatis, dunia yang digambarkannya sangat indah, masih bebas teror.[10]

Ulrich Beck secara lebih lanjut menjelaskan bahwa masyarakat berisiko adalah berarti masyarakat risiko dunia. Karena pada prinsip dasarnya adalah bahwa ancaman yang diantisipasi secara manusiawi tidak dapat dibatasi baik secara temporal, spasial, atau dalam istilah sosial. Ini membatalkan kondisi kerangka kerja dan institusi dasar dari modernitas industri pertama yaitu konflik kelas, kenegaraan nasional dan gagasan kemajuan linier, teknis ekonomi. Dimensi utama dari dinamika masyarakat berisiko dunia, yaitu, krisis lingkungan, khususnya perubahan iklim dan konsekuensi yang beragam. Tidak banyak yang bisa dikatakan tentang ‘alam’ atau ‘perusakan alam’, atau tentang ‘ekologi’ atau ‘perusakan lingkungan’, tetapi lebih banyak lagi tentang ‘masyarakat berisiko dunia’. Konsep ini dipilih dengan maksud sistematis. Karena Beck ingin mengajukan konsep analisis sosiologis tentang pertanyaan lingkungan yang memungkinkan untuk dipahami, bukan sebagai masalah lingkungan dalam arti dunia sekitarnya (Umwelt), tetapi sebagai masalah yang mempengaruhi dunia batin (Innenwelt) masyarakat. Sebagai ganti konsep kunci ‘alam’, ‘ekologi’ dan ‘lingkungan’ yang tampaknya terbukti dengan sendirinya, yang menggarisbawahi perbedaan dari sosial, Beck mengusulkan kerangka kerja konseptual yang melampaui pertentangan antara masyarakat dan alam dan menggeser fokus ke ketidakpastian yang dibuat oleh manusia: risiko, malapetaka, efek samping, ketidakpastian, individualisasi, dan globalisasi.[11]

Konsep ‘ekologi’ telah menikmati sejarah sukses yang mengesankan. Saat ini, tanggung jawab atas kondisi alam ada di pintu para menteri dan manajer. Bukti bahwa ‘efek samping’ produk atau proses industri menimbulkan ancaman bagi kehidupan manusia atau basis alaminya dapat menyebabkan pasar runtuh, menghancurkan kepercayaan politik serta modal ekonomi dan keyakinan pada rasionalitas superior para ahli. Keberhasilan ini (dalam banyak hal sangat subversif) menutupi fakta bahwa ‘ekologi’ adalah konsep yang sama sekali tidak jelas; setiap orang menawarkan jawaban berbeda untuk pertanyaan tentang apa yang harus dipertahankan. [12]

Alam secara khusus menurut Beck bukanlah alam tetapi lebih dari sebelumnya merupakan konsep, norma, ingatan, utopia, rencana alternatif. Alam ditemukan kembali dan dimanjakan pada saat sudah tidak ada lagi. Gerakan ekologis adalah reaksi terhadap kondisi global dari perpaduan yang kontradiktif antara alam dan masyarakat yang telah menggantikan kedua konsep dalam hubungan timbal balik dan pelanggaran yang belum kita ketahui, apalagi konsep. Upaya dalam perdebatan lingkungan untuk menggunakan kondisi alam sebagai standar terhadap kehancurannya sendiri bertumpu pada kesalahpahaman naturalistik. Karena sifat yang dipanggil sudah tidak ada lagi. Apa yang benar-benar ada, dan apa yang menyebabkan kegemparan politik seperti itu, adalah berbagai bentuk sosialisasi dan berbagai mediasi simbolik alam (dan perusakan alam), konsep budaya tentang alam, pengertian yang bertentangan tentang alam dan tradisi budaya (nasional) mereka, yang menentukan konflik ekologi di seluruh dunia di bawah permukaan perselisihan di antara para ahli, rumus teknis dan ancaman.[13]

Berpikir dalam istilah ilmiah alami adalah prasyarat untuk menganggap dunia sebagai makhluk yang secara ekologis terancam punah. Jadi kesadaran lingkungan adalah kebalikan dari sikap ‘alami’; ini adalah pandangan dunia yang sangat ilmiah, di mana, misalnya, model abstrak ahli iklim memengaruhi perilaku sehari-hari. Bagitu pula pertanyaan tentang jenis pementasan, memang ‘visualisasi’, yang diperlukan dan mungkin untuk mengatasi keabstrakan ini dan membuat perubahan iklim dan konsekuensi apokaliptiknya ‘terlihat’ sangat mendesak.[14]

Menarik bahwa Beck mengatakan tidak ada ontologi dari risiko. Risiko tidak berdiri secara independen, seperti sebuah benda. Risiko adalah konflik risiko di mana terdapat perbedaan dunia antara pembuat keputusan, yang pada akhirnya dapat menghindari risiko, dan konsumen bahaya yang tidak disengaja, yang tidak memiliki suara dalam keputusan ini dan kepada siapa bahaya dialihkan sebagai efek samping yang tidak disengaja dan tidak terlihat. Risiko hancur secara sistematis ke dalam dunia antagonis ini, bahkan mungkin tidak dapat dibandingkan: mereka yang menjalankan risiko dan mendefinisikannya versus mereka yang diberi alokasi (artinya penentuan).[15]

 

Masyarakat Berisiko Kalimantan Tengah

Sebelumnya Beck telah menjelaskan ada dua wajah risiko yaitu peluang dan bahaya. Terkait akan hal itu maka ingin dilihat juga peluang dan bahaya dari pengelolaan lahan gambut oleh masyarakat berisiko Kalimantan Tengah. Dapat dikatakan ini berkaitan erat juga dengan risiko ekologi karena hubungannya dengan lahan gambut sebagai berisiko dunia. Risiko sekali lagi terikat juga dengan kepentingan. Seperti yang diketahui bahwa notabene masyarakat berisiko Kalimantan Tengah menggantungkan hidup dengan bertani/ berladang untuk keperluan bahan pangan. Ini mengharuskan mereka membuka lahan gambut dengan kemudian membakarnya. Cara ini sebenarnya sudah turun temurun atau membudaya di kalangan para petani. Setelah bencana kabut asap paling parah yang terjadi pada tahun 2015 membuat pemerintah kemudian mengambil langkah tegas. Tentu saja dibuatnya larangan membakar lahan, peraturan sebelumnya yaitu undang-undang tentang lingkungan hidup juga berlaku. Ketika bencana kebakaran dan kabut asap terjadi, para petani kemudian dianggap sebagai sumber bencana tersebut. Di sisi lain, bencana adalah aspek yang dihadapi oleh masyarakat berisiko. Selain karena tradisi yang membudaya yaitu membuka lahan dengan cara membakar tidak bisa tidak dilakukan. Lalu bagaimana kemudian solusi para petani yang selama ini menggunakan lahan gambut sebagai tempat untuk bergantung dan menyambung hidupnya?

Mengacu pada tulisan Daryono tentang Potensi dan Masalah Lahan Gambut, dikatakan gambut memiliki sifat kering yang tidak dapat balik (irreversible) maka gambut mempunyai potensi yang tinggi untuk kebakaran. Sebaliknya di musim penghujan terjadi bahaya banjir. Terbitnya Inpres No.2 tahun 2007 tentang percepatan rehabilitasi dan revitalisasi kawasan lahan gambut eks Proyek Pengembangan Lahan Gambut Kalimantan Tengah, merupakan langkah dan tindak lanjut pemulihan kerusakan dan pengembalian fungsi ekologis, lingkungan dan sosial, ekonomi dan budaya pada kawasan lahan gambut tersebut.[16]

            Gambut terdiri dari pepohonan, ranting, daun dan berbagai material organik kemudian membentuk kubah gambut. Sering terjadi hujan di rawa gambut dan sifatnya mengikat air seperti spons dalam jumlah yang banyak. Hal ini yang membuat gambut basah selama bertahun-tahun. Tanah gambut itu sendiri memiliki kadar air yang sangat banyak. Lahan gambut memiliki karbon alami yang tinggi. Itulah jika gambut terbakar, tanah gambut dapat menyimpan bara api lebih lama daripada tanah mineral. Lahan gambut yang terbakar menjadi penyumbang emisi karbon terbesar.

            Tradisi/ budaya membakar untuk membuka lahan dilakukan oleh para petani di Kalimantan Tengah.  Tapi hanya untuk lahan yang baru dibuka, lahan yang sebelumnya yang sudah tidak ada pohon-pohon besar tidak perlu dibakar lagi. Namun dari tradisi yang demikian ada resiko yang dihadapi oleh masyarakat. Resiko-resiko yang dihadapi tentu saja semakin kurang asrinya lahan gambut atau hutan gambut. Semakin banyak lahan yang dibakar untuk keperluan petani berladang dan bercocok tanam. Lahan gambut di kalimantan tengah mulai tidak terpelihara. Telah banyak terjadi kebakaran di lahan gambut dan kabut asap setiap tahun akibat dari pembakaran. Ini karena sifat tanah gambut yang memiliki karbon yang sangat tinggi. Selain itu juga bara api bisa bertahan di tanah gambut selama berhari-hari, sehingga inilah yang menyebabkkan kabut asap. Namun, kemudian benarkah jika kemudian sepenuhnya memberi justifikasi kepada para petani yang menyebabkan kabut asap?

Selain itu tradisi/ hal yang membudaya lainnya yang dilakukan oleh masyarakat berisiko ini adalah tidak adanya tindak lanjut pemberdayaan lahan gambut dengan penanaman pohon kembali, tetapi yang dilakukan adalah penanaman sawit yang sebenarnya masyarakat sudah tahu bahwa hal ini tidak memberdayakan lingkungan lahan gambut.  

Semakin masyarakat modern maka semakin berisiko. Semakin orang-orang menjadi modern maka akan banyak resiko pula yang dihadapi. Resiko juga terikat juga dengan kepentingan. Sebenarnya kerusakan di lahan gambut tidak akan terjadi jika tidak ada pembukaan proyek besar-besaran di zamannya Presiden Soeharto. Menurut sebuah sumber jurnal tentang lahan rawa berikut ini:

“...ketika pemerintahan Orde Baru berkuasa, Presiden Soeharto juga berambisi membuka lahan rawa untuk kegiatan pertanian. Hal itu didasarkan pada kondisi pangan tahun 1970-an yang sangat mencemaskan dan menguras devisa sangat besar. Proyek ini sampai saat ini dianggap sebagai kesalahan dan diharapkan tidak terjadi lagi. Presiden Soeharto menggagas ide besar. Ekstensifikasi lahan rawa seluas 5,25 juta ha harus tercapai selama 15 tahun ke depan. Seiring dengan itu, program transmigrasi pun menjadi prioritas utama untuk menggarap lahan-lahan rawa tersebut. Secara bertahap, ribuan petani dari Pulau Jawa didatangkan ke berbagai daerah yang memiliki lahan rawa. Di bawah koordinasi Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik Prof. Dr. Ir. Sutami berhasil dibuka sekitar 1,24 juta ha melalui Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut (P4S). Perinciannya, sebanyak 29 skim (jaringan) tata air di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah serta 22 jaringan tata air di Sumatra dan Kalimantan Barat. Hingga tahun 1995 luas lahan rawa yang sudah dibuka untuk kegiatan pertanian mencapai sekitar 2,36 juta ha. Program ekstensifikasi lahan rawa dan transmigrasi tersebut berdampak luas antara lain terhadap ekonomi pertanian dan tata kota. Ekonomi pertanian mulai berdenyut karena tumbuhnya sentra-sentra pertanian baru. Malah, di beberapa daerah rawa di Kalimantan telah berkembang menjadi kota-kota kabupaten dan kecamatan.”[17]

Mengacu pada tulisan Suratman mengenai Peran Tanah Mineral Pada Kesuburan Tanah Gambut, dijelaskan bahwa gambut sendiri sebenarnya memiliki banyak definisi tergantung dari jenis tanah tersebut. Gambut merupakan tanah yang berasal atau didominasi oleh bahan organik, dengan persyaratan apabila kandungan liat 0-60%, maka harus mempunyai kandungan C organik 12-18% secara proporsional. Apabila kandungan liat >60% maka C organik harus >18%. [18]

Menurut Magasti dan rekan-rekan dalam tulisannya mengenai Potensi dan Pemanfaatan Lahan Gambut Dangkal untuk Pertanian, produktivitas lahan gambut sangat tergantung dari pengelolaan dan tindakan manusia. Lahan gambut dikenal sebagai lahan yang rapuh atau rentan terhadap perubahan karakteristik yang tidak menguntungkan. Pengelolaan lahan gambut perlu hati-hati agar tidak terjadi perubahan karakteristik yang menyebabkan penurunan produktivitas lahan, apalagi menjadi tidak produktif. Salah satu pertimbangan yang harus diperhatikan dalam pemanfaatan lahan gambut adalah tingkat ketebalan gambut tersebut.[19]

Dalam tulisannya, Daryono juga menjelaskan lahan gambut merupakan lahan yang mempunyai berbagai fungsi penting guna menjaga dan mengatur proses berlangsungnya lingkungan kehidupan seperti reservoir air, rosot dan simpanan karbon, keanekaragaman hayati dan lain-lain kebutuhan untuk kesejahteraan manusia. Keperluan ekonomi dan permintaan akan kayu dari hutan tropis dan hutan gambut memaksa ekploitasi terhadap lahan gambut akan terus berlangsung. Meningkatnya tekanan pada hutan, menyebabkan sektor kehutanan di South East Asia merencanakan program pengelolaan lahan gambut secara lestari yang lebih progresif kearah pengembangan lahan gambut dan sumber daya alam yang lestari, dalam menghadapi ketidaktentuan masalah sosial dan lingkungan daripada mencapai peningkatkan produksi secara sesaat. Beberapa faktor yang menyebabkan lahan gambut di saat ini dipandang mempunyai arti dan peran penting adalah :

1.  Semakin meningkatnya kebutuhan dan permintaan akan air ;

2. Meningkatnya kemiskinan masyarakat di sekitar hutan lahan gambut ;

3. Meningkatnya pengaruh globalisasi ; dan

4. Perubahan iklim (climate change)

Dengan pertimbangan cukup banyaknya fungsi dan peranan penting keberadaan lahan gambut tersebut, ada beberapa hal yang menyebabkan lahan gambut pemanfaatannya dan pengelolaannya harus dilakukan secara bijaksana yakni :

1. Lahan gambut mempunyai sifat dan karakter yang spesifik, seperti adanya subsidensi lahan gambut, sifat irreversible drying dan lain-lain sehingga pengelolaan air merupakan hal yang penting;

2. Adanya kegiatan penebangan liar (illegal logging) atau ekploitasi sumber daya alam tanpa diperhitungkan;

3. Perubahan iklim. Pengelolaan lahan gambut dengan baik dengan menghindari pembukaan hutan dan lahan untuk drainase dan kebakaran mencegah terjadinya emisi CO (gas yang beracun) dan lain-lain yang merupakan penyebab utama terjadinya perubahan iklim global;

4. Adanya bahaya api di lahan gambut;

5. Pengembangan lahan gambut yang tidak tepat; dan

6. Tekanan sosial.

Menurut Daryono, penggunaan secara bijaksana berbeda dengan pendekatan secara tradisional atau pemanfaatan oleh salah satu sektor saja. Pemanfaatan secara bijaksana adalah bertujuan mengelola lahan gambut secara terintegrasi dan optimum untuk keperluan ekonomi, sosial, budaya dan fungsi ekologi. Selain itu pengelolaan secara bijaksana adalah melibatkan pengelolaan partisipatif dari para pihak. Pemanfaatan lahan gambut secara bijaksana adalah bertujuan meminimalkan konflik dan memaksimalkan luas persetujuan bersama (area agreements). Beberapa strategi yang dapat dilakukan adalah :

1. Keberadaan hutan rawa gambut yang ada harus tetap dijaga dari kerusakan, sehingga fungsi ekologis, sosial, ekonomi budaya dan lingkungan yang mempengaruhi hajat hidup manusia tidak terganggu;

2. Pemanfaatan lahan gambut harus memberikan dampak pengembangan ekonomi dan sosial;

3. Menurunkan dan dapat mencegah timbulnya kebakaran di lahan gambut;

4. Dalam rangka mengurangi masalah yang dihadapi diperlukan sesuatu langkah yang urgen yaitu pendekatan ekonomi baru. Hal ini tercakup masalah carbon stock (penyimpanan karbon), konservasi biodiversity melalui pendekatan bioright; dan

5. Pendekatan ekonomi baru melalui suatu strategi implementasi untuk konservasi hutan rawa gambut, dan rehabilitasi lahan rawa gambut yang terdegradasi, yang dilakukan secara ilmiah.[20]

Selain itu, lahan gambut tidak saja dimanfaatkan sebagai media tumbuh tanaman, tetapi juga sekaligus sebagai tempat tinggal dan sumber mata pencaharian petani. Sebagai media tumbuh, lahan ini telah ratusan tahun dimanfaatkan petani untuk mendukung kehidupan mereka. Lahan gambut mempunyai berbagai kendala untuk dimanfaatkan sebagai media tumbuh, sehingga diperlukan strategi, yakni langkah-langkah utama yang diperlukan untuk mencapai tujuan secara efisien dan efektif. Salah satu strategi yang diperlukan adalah pemilihan komoditas. Tidak semua komoditas dapat berkembang baik di  lahan gambut dangkal. Secara umum komoditas yang berkembang di lahan gambut dangkal dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yakni tanaman pangan/palawija, tanaman hortikultura, dan tanaman tahunan.

Pemilihan komoditas berkaitan erat dengan tipologi luapan, musim, nilai ekonomiskomoditas, dan ketersediaan teknologi. Penataan lahan pada daerah produksi membuka peluang untuk membudidayakan komoditas-komoditas seperti padi, jagung, kedelai, jeruk, sayuran, kelapa, karet dan kelapa sawit. Komoditas hortikultura (sayuran dan buah-buahan) memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi dari pada tanaman pangan, tetapi memerlukan teknik budidaya yang lebih intensif.

Pertimbangan lain yang harus diperhatikan dalam memanfaatkan lahan gambut dangkal adalah sistem perakaran tanaman. Tanaman tahunan tidak direkomendasikan untuk dibudidayakan di lahan ini karena memerlukan daerah perakaran yang lebih luasdan dalam.Ketebalan gambut dangkal terbatas, sehingga sangat berbahaya jika perakaran tanaman tahunan menyentuh tanah lapisan bawah yang mengandung senyawa bersifat toksik. Demikian juga jika substratum gambut berupa pasir kuarsa yang miskin hara, sehingga perlu input hara dan pupuk organik yang lebih banyak. Selain itu tanah berpasir mempunyai daya simpan air yang rendah, sehingga tidak hanya memerlukan input air yang lebih banyak, tetapi risiko tanaman mengalami kekeringan atau layu lebih besar. Oleh karena itu pemanfaatan lahan gambut dangkal hanya untuk budidaya tanaman pangan dan hortikultura.

Lahan gambut merupakan kontributor penting dalam penyediaan bahan pangan. Padi, jagung dan kedelai (pajale) merupakan jenis tanaman yang banyak dibudidayakan di lahan gambut dangkal. Tanaman pajale, terutama padi merupakan jenis tanaman yang telah lama dibudidaya-kan petani di lahan gambut dangkal. Tanaman ini berkembang karena secara tradisional petani telah menguasai teknik budidayanya, pengelolaan air lebih mudah, dorongan budaya untuk menghasilkan bahan pangan, menjadi sandaran perekonomian keluarga, dan menyerap tenaga kerja baik langsung maupun tidak langsung.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa salah satu kunci utama dalam budidaya pajale di lahan gambut dangkal adalah pengelolaan air, terutama berkaitan dengan pengaturan tinggi permukaan air tanah. Budidaya pajale di lahan gambut dangkal memerlukan kedalaman air 20-50 cm dari permukaan tanah. Pengaturan tersebut bertujuan agar perakaran tanaman berkembang dengan baik, dan tidak menyebabkan genangan (kecuali untuk tanaman padi yang pada fase tertentu memerlukan genangan), sehingga suplai oksigen tercukupi. Pengelolaan air tidak hanya memberikan jaminan ketersediaan air untuk kebutuhan tanaman, tetapi juga harus menjaga kondisi aerasi yang baik bagi mikro organisme, mengendalikan reaksi kimia tanah dan perkembangan perakaran tanaman.

Komoditas pajale biasa ditanam secara monokultur dan tumpang sari dengan tanaman perkebunan seperti kelapa sawit dan kelapa. Untuk meningkatan kontribusi lahan gambut dangkal dalam menyediakan bahan pangan perlu memanfaatkan lahan perkebunan kelapa sawit dan kelapa yang belum menghasilkan dan tanaman tua atau tanaman yang sudah rusak. Selain ketiga komoditas di atas, ubi kayu dan ubi jalar juga banyak dibudidayakan di lahan gambut dangkal. Kedua komoditas ini berkembang karena umumnya tanaman ini tidak memerlukan syarat tumbuh yang spesifik, terutama berkaitan dengan hara dan serangan organisme pengganggu tanaman. Tanaman ini tidak memerlukan perawatan yang intensif, sehingga petani mempunyai waktu luang yang lebih banyak untuk kegiatan lainnya. [21]

 

Teologi Masyarakat Berisiko Kalimantan Tengah

Sebagai masyarakat yang menggantungkan hidup pada alam dalam hal ini lahan gambut, masyarakat berisiko Kalimantan Tengah ada di situasi yang dilema. Manusia bergantung dengan alam. Manusia diciptakan bersama dengan seluruh alam semesta. Manusia diberi tanggungjawab untuk mengelola dan memelihara lingkungan hidupnya (Kej. 2:15).

 

            Teori masyarakat berisiko dari Ulrich Beck sangat menggambarkan keadaan masyarakat berisiko Kalimantan Tengah yang menggantungkan hidupnya di daerah lahan gambut. Teknologi semakin berkembang, demikian pula dengan modernisasi yang akan terus berlanjut, tentu membuat masyarakat berisiko harus terus berupaya untuk menghadapi peluang dan juga bahaya di masa depan.

Masyarakat berisiko Kalimantan Tengah telah mendapat solusi atau telah ada suatu upaya dan penanganan yang dilakukan yaitu membuat waduk untuk pengairan lahan gambut. Sehingga lahan tersebut tetap terus bisa digunakan tanpa harus membuka lahan baru dan membakarnya. Pemberdayaan hutan dan lahan gambut perlu dilakukan secara bijaksana dan hati-hati, hal ini disebabkan karena hutan lahan gambut seperti yang telah dijelaskan di atas merupakan suatu ekosistem yang mudah rapuh, sehingga kalau pemberdayaan tidak dilakukan secara benar, hutan tersebut tidak akan lestari.

Paling tidak dalam menghadapi bahaya risiko, masalah tersebut dapat diantisipasi. Memang alam sedikit menghalangi manusia agar merasa puas dengan apa yang telah disediakan oleh alam itu sendiri. Sehingga antisipasi manusia terhadap ancaman alam di masa kini dan di masa depan  memang benar-benar diperlukan. Pemerintah juga telah berupaya membantu dari segi materi atau dana agar masyarakat memberdayakan lahan gambut dan pembuatan waduk dapat benar-benar membantu proses restorasi lahan gambut. Dengan demikian pembakaran lahan untuk pangan yang dianggap sebagai tradisi telah memiliki jalan keluar yang dianggap baik demi keberlangsungan atau kelestarian lahan gambut. Selain tetap dapat bergantung dan menyambung hidupnya, masyarakat Kalimantan Tengah yang  tinggal di daerah lahan gambut juga berdedikasi menjaga, merawat, dan memberdayakan lahan gambut (alam) sebagai bentuk ibadah kepada Tuhan.

 

Penutup

            Modernisasi adalah hal yang tidak bisa dihindari. Selain itu modernisasi memiliki dampak yang sangat besar pula. Melalui tulisan Beck dapat dipahami bahwa modernisasi itu dapat memiliki bahaya dan juga peluang. Melalui tinjauan mengenai masyarakat berisiko ini pun sama, masyarakat yang menggantungkan hidupnya di daerah lahan gambut, untuk memenuhi kebutuhan pangan. Tradisi membakar lahan gambut untuk tempat bertanam pun harus dilakukan dengan berbagai resiko. Lahan gambut dapat menyembuhkan dirinya sendiri jika manusia tidak merusak demi kepentingannya. Namun, manusia sangat bergantung dengan alam. Di sini peran penting masyarakat untuk tetap menjaga kelestarian lahan gambut sangat dibutuhkan. Sehingga adanya keseimbangan. Menjaga kelestarian alam menjadi bentuk ibadah kepada Sang Pencipta alam dan manusianya.

 

 

 

 

Daftar Pustaka

Daryono, “(Potency, problems, policy and peatland management needed for sustainable peat        swamp forest).” Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan. Vol. 6 No. 2. Agustus 2009 : 71      – 101.

 

Akbar, M. Fharis, Kondisi Masyarakat Berisiko Di Desa Sungai Buluh Kabupaten Lingga.

 

Masganti, Khairil Anwar, Maulia Aries Susanti., Potensi dan Pemanfaatan Lahan Gambut Dangkal untuk Pertanian, Jurnal Sumberdaya Lahan. Vol. 11 No. 1, Juli 2017.

 

Suratman dan Sukarman, Peran Amelioran Tanah Mineral Terhadap Peningkatan Berbagai Unsur Kesuburan Tanah Gambut pada Perkebunan Kelapa Sawit. Jurnal Sumberdaya Lahan Edisi Khusus, Desember 2016; 21-32.

 

Beck, Ulrich, Risk Society. A Companion to the Philosophy of Technology Edited by J. K. B. Olsen. S. A. Pedersen and V. F. Hendricks. 2009.

 

Beck, Ulrich. World at Risk-Polity. USA: Polity Press. 2009.

 

http://www.litbang.pertanian.go.id/buku/Lahan_Rawa/BAB2.pdf.



[1]Sebuah pengalaman melihat para kuli bangunan melakukan pekerjaan menimbun tanah gambut sebelum mendirikan pondasi rumah.

[2] Sebuah pengalaman nyata sebagai anak dari suku Dayak Kalimantan Tengah yang hidup di lingkungan yang begitu melekat dengan adat, tradisi dan kebiasaan suku Dayak.

[3] M. Fharis Akbar, Kondisi Masyarakat Berisiko Di Desa Sungai Buluh Kabupaten Lingga,  1.

[4] Ulrich Beck, World at Risk-Polity, USA: Polity Press, 2009, 6.

[5] Ulrich Beck, Risk Society, A Companion to the Philosophy of Technology Edited by J. K. B. Olsen, S. A. Pedersen and V. F. Hendricks, 2009, 2.

[6] Ulrich beck, World at risk,... 4.

[7] Ulrich Beck, World at Risk-Polity, USA: Polity Press, 2009,5. 

[8] Ulrich Beck, World at Risk-Polity, USA: Polity Press, 2009, 6.

[9] Ulrich Beck, World at Risk-Polity,...187-188.

[10] Ulrich Beck, World at Risk-Polity,...9.

[11] Ulrich Beck, World at Risk-Polity,... 81.

[12] Ulrich Beck, World at Risk-Polity,... 82.

[13] Ulrich Beck, World at Risk-Polity,... 83.

[14] Ulrich Beck, World at Risk-Polity,... 83.

[15] Ulrich Beck, World at Risk-Polity,...195.

[16] Daryono, “(Potency, problems, policy and peatland management needed for sustainable peat swamp forest).” Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, Vol. 6 No. 2, Agustus 2009 : 71 – 101, 4.

[18] Suratman dan Sukarman, Peran Amelioran Tanah Mineral Terhadap Peningkatan Berbagai Unsur Kesuburan Tanah Gambut pada Perkebunan Kelapa Sawit, Jurnal Sumberdaya Lahan Edisi Khusus, Desember 2016; 21-32, 22.

[19]  Masganti, Khairil Anwar, Maulia Aries Susanti , Potensi dan Pemanfaatan Lahan Gambut Dangkal untuk Pertanian, Jurnal Sumberdaya Lahan, Vol. 11 No. 1, Juli 2017,  44.

[20] Daryono, “(Potency, problems, policy and peatland management needed for sustainable peat swamp forest).” Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, Vol. 6 No. 2, Agustus 2009 : 71 – 101, 80-81.

[21] Masganti, Anwar, dan Susanti, “Potensi dan Pemanfaatan Lahan Gambut Dangkal untuk Pertanian.” Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 11 No. 1, Juli 2017; 43-52, 48-49.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lirik Lagu Dayak Kalimantan Tengah Ciptaan Jefri E. Sindem Tamparan Hasupa

Katika ku munduk kabuat Tabayang senyum andi je mamikat Kai..kai tumun tuh angat Handau hamalem santar taingat Curahku akam lewat lagu tuh Mangesah tamparam ku supa dengam mu Dahang tujuan kakam hamauh Salamat mahining duhai sayang ku Tagal haranan cinta ku dengam Angat ku yakin cinta baya akam Munduk mendengku saraba sala Pandangan pertama ku jatuh cinta Aduh akai nah jata Hatalla Taguncang angat ku je jantung jiwa Metuh tamparan ku sundau dengam mu Bisikan cinta je ingkeme ku Angat perasaan ku je tutu-tutu Aku te yakin ikau jodohku

Riwut Karuhei

Universitas Kristen Duta Wacana Nama/ NIM                             : Winda Patrika Embun Sari/ 50190056 Program Studi/ Semester       : Magister Teologi/ Gasal 2019-2020 Mata Kuliah/ Tugas               : Teologi, Spiritualitas dan Seni/ Makalah Akhir (REVISI) Spiritualitas dalam Lagu Karungut Dayak Kalimantan Tengah: “ Riwut Karuhei ” (Angin yang Membiuskan) Pendahuluan             Ada beragam cara bagi seseorang untuk mengekspresikan perasaannya. Salah satunya adalah melalui lagu. Lirik sebuah lagu kadangkala bersumber dari pengalaman pribadi. Hal ini salah satunya saya lihat dalam lagu Riwut Karuhei. Lagu yang berasal dari Kalimantan Tengah ini menarik untuk diperhatikan lebih d...

Hedonisme dalam 2 Samuel 12:1-25

Universitas Kristen Duta Wacana Nama/ NIM                             : Winda Patrika Embun Sari/ 50190056 Program Studi/ Semester       : Magister Teologi/ Gasal 2019-2020 Mata Kuliah/ Tugas               : Tafsir Kontekstual Perjanjian Lama/ Makalah Akhir   Hedonisme dalam 2 Samuel 12:1-25 1.1. Pendahuluan a.     Pengantar Dewasa ini, setiap orang punya kecenderungan untuk hidup konsumtif. Gaya hidup konsumtif lazimnya disebut dengan hedonisme. Kamus Besar Bahasa Indonesia (selanjutnya KBBI) mendefinisikan hedonisme sebagai “ pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup”. Umumnya hedonisme dipahami sebagai satu hal yang negatif. Tapi pada dasarnya hedonisme ...