Langsung ke konten utama

Penerimaan dan Keselamatan

 

Universitas Kristen Duta Wacana

Nama/ NIM : Winda Patrika Embun Sari/ 50190056

Makalah Akhir Teologi Agama-Agama

“Penerimaan dan Keselamatan”

Sebuah Perbandingan Konsep Penerimaan dan Keselamatan S. Mark Heim dengan YIPC

A.  Pendahuluan

            Sebuah perbedaan agama, suku, bahasa, jenis kulit dan lain sebagainya bukan hal yang asing lagi dan konflik karena perbedaan tersebut seringkali terjadi dan dijumpai dewasa ini. Kadang kala sebuah perbedaan agama bukannya menjadi sesuatu hal yang dianggap  unik dan diakui di semua kalangan umat beragama. Hal ini memang tidak dapat dihindari mengingat perbedaan kadang dirasa tidak bisa menjadi pelengkap satu dengan yang lain. Di sisi lain, agama dengan segala jenis dogma dan tradisi yang mengikat membuat banyak kesenjangan antara satu dengan yang lain. Kenyataan ini pun seringkali dijumpai dalam kehidupan bermasyarakat. Sangat sulit untuk menumbuhkan bibit-bibit toleransi hanya karena ikatan dogma dan tradisi dari suatu agama.

            Perbedaan dilihat dari banyak sudut pandang akan memiliki banyak perspektif pula. Mark Heim pun demikian melihat sebuah perbedaan dan memberikan pemikirannya bahwa ada suatu keunikan dari perbedaan tersebut. Dalam tulisannya Heim sangat mengupayakan kata “penerimaan” dalam perbedaan.[1]

            Terkait dengan teori Heim, pada bagian pembahasan akan digali lebih lanjut teori Heim mengenai konsep penerimaan dan keselamatan dengan sebuah komunitas interfaith (YIPC). Sejauh saya ikut berpartisipasi dalam komunitas ini, tampaknya ada kesamaan dengan teori-teori Heim dan komunitas ini pun telah sampai pada aksi dari apa yang disampaikan oleh Heim. Pada bagian pembahasan, akan bicara tentang gagasan-gagasan dari Heim mengenai konsep penerimaan dan keselamatan. Selanjutnya juga akan melihat konsep penerimaan dan keselamatan dari komunitas lintas iman. Kemudian akan dilihat perbandingan antara keduanya dan kemudian ditarik reflektif sebagai keberlanjutan teologi agama-agama dewasa ini. Alasan saya memilih tokoh Heim karena pemikirannya mengenai penerimaan dengan kegiatan yang dilakukan oleh komunitas lintas iman sangat relevan. Dengan demikian teori ini benar-benar telah menjembatani dalam berteologi agama-agama. Bisa dikatakan teori bukan hanya sekedar teori tetapi ada realisasi atau aksi nyata dari landasan teori tersebut. Teori ini juga dapat menjadi kritik dan juga memberikan sumbangsihnya terhadap komunitas lintas iman itu sendiri.

B. Pembahasan

1. S. Marx Heim

             Stephen Mark Heim adalah seorang pendeta dan telah menulis banyak buku. Mengacu pada satu laman jurnal Yale University, S. Mark Heim adalah Profesor Kepala Biara Samuel dalam Teologi Kristen di Andover Newton Seminary di Yale Divinity School. Ia adalah lulusan dari Amherst College, Andover Newton Theological School dan Boston College program doktor bersama Andover Newton Theological School dalam teologi sistematika.[2]

             Mark Heim telah banyak menulis tentang masalah pluralisme agama, penebusan, dan ekumenisme Kristen. Buku-bukunya termasuk Salvations: Truth and Difference in Theology; The Depth of the Riches: Sebuah Teologi Trinitarian tentang Akhir Agama; Diselamatkan dari Pengorbanan: Sebuah Teologi Salib; dan, yang terbaru, Hikmat Tersalib: Kristus dan Bodhisattva dalam Refleksi Teologis (2018). Heim juga mengedit beberapa volume, termasuk Faith to Creed: Ecumenical Perspectives on the Affirmation of the Apostolic Faith in the Fourth Century dan Grounds for Understanding: Ecumenical Resources for Responses to Religious Pluralism. Dia juga telah menerima Henry Luce III Fellowship in Theology (2009-2010) dan Pew Evangelical Scholars Research Fellowship (1997-98).

            Mark Heim juga adalah anggota American Theological Society. Menjabat sebagai ketua bersama kelompok teologi komparatif di American Academy of Religion. Pengajarannya di bidang sains dan agama telah menerima beberapa penghargaan nasional, termasuk penghargaan Templeton Foundation pada tahun 1998 untuk salah satu dari dua belas kursus luar biasa di bidang ini. Ia juga menjadi peneliti utama dengan dana dari American Academy for the Advancement of Science yang mengabdikan diri untuk mengintegrasikan sains ke dalam kurikulum teologi. Bersama dengan seorang kolega dari Sekolah Kedokteran Yale, Dr. Benjamin Doolittle, Heim mengajar kursus interdisipliner tentang teologi dan kedokteran. Seorang pendeta Baptis Amerika yang ditahbiskan, dia telah mewakili denominasi di Komisi Iman dan Ketertiban Dewan Nasional dan Dewan Gereja Dunia. Heim telah melayani di banyak komisi ekumenis dan kelompok belajar, termasuk komite hubungan Kristen-Muslim dari Dewan Gereja Nasional. Minat pengajaran dan penelitiannya meliputi teologi komparatif, teologi pluralisme agama, sains dan teologi, Kristologi dan penebusan, dan ekumenis.[3]

 

2. Konsep Penerimaan dan Keselamatan Menurut Heim

Heim menuangkan ide-ide teologisnya mencakup banyak hal dan yang sering menjadi pertanyaan. Heim bicara mengenai Trinitas, Yang Ilahi sebagai terakhir, konsep mengenai keselamatan, juga mengenai dialog.            

Heim mengungkapkan bahwa orang Kristen dapat dan harus terus mengakui Yesus Kristus sebagai jalan, kebenaran, dan hidup. Orang Kristen memang harus melakukannya karena inti dari kesaksian alkitabiah dan pengalaman Kristen berdetak atau terpaku dengan pengakuan ini.[4]

Sebagai seorang teolog, Stephen Mark Heim sangat senang melihat kebaikan dari agama-agama lain. Bagi Heim perbedaan itu menyangkut jiwa, tujuan akhir dan pemenuhan. Agama bagi Heim sudah sejak awal berbeda, sangat berbeda dan selamanya akan berbeda. Budha dan Kristiani itu berbeda, pendapat Heim ini juga merupakan kritik terhadap kaum mutualis.[5] Menurut Heim ketika ingin memahami tentang orang lain, agama orang lain, maka harus ada sikap atau tindakan penerimaan.

Model penerimaan itu bukan model superior, tetapi ia adalah model penyeimbang yang berarti menerima kenyataan bahwa ada diversitas dalam semua agama. Model ini tidak mencari kesamaan dalam agama.[6] Bagi Heim, perbedaan semacam itu motto hidup.  

Gagasan-gagasan dari Heim mengenai model penerimaan pada intinya ingin agar umat Kristiani bisa merangkul diversitas. Dengan adanya diversitas tersebut maka dialog akan terjalin menjadi lebih baik dan kaya.[7] Bukan berarti Heim tidak kritis terhadap model penerimaan. Heim begitu sadar akan resiko dari model tersebut. Akan tetapi dalam ini, ia ingin menekankan bahwa penerimaan itu membuka diri terhadap adanya kebenaran di agama lain.

            Resiko dari model penerimaan, sejauh ini disampaikan bahwa model ini akan mengarah kepada relativisme. Artinya, konsep, pemahaman, perspektif, keyakinan yang dianut selama ini dianggap benar kemudian akan menjadi salah di mata atau agama orang lain. Resiko lain yang dirasa lekat adalah sulitnya bagi yang lain untuk kemudian memperkaya dirinya. Karena sifatnya yang selalu menerima, model penerimaan kemudian membuat yang lain tetap pada prinsip, konsep, tafsiran dan esensi teks yang ada pada mereka tidak mengalami perubahan. Keyakinan bahwa agama yang lain semua benar dan tidak perlu dikritik.[8]

Heim memetakan sendiri mengenai perbedaan agama dan keyakinan umat Kristen. Menurutnya seorang Kristiani tidak bisa memiliki keyakinan mengenai Trinitas jika ia tidak percaya kepada keberagaman agama lain. Adapun keinginan Heim adalah supaya Kristiani juga percaya bahwa ada kebenaran tentang Tuhan dalam agama lain.[9] Bicara mengenai Trinitas, sesungguhnya setiap orang punya cara tersendiri untuk menjelaskan mengenai hal tersebut. Begitu pula dengan Heim yang menjelaskan bahwa Trinitas itu adalah sebuah hubungan.  Manusia tidak dapat hidup jika tidak dalam suatu hubungan dan  harus ada yang lain atau banyak orang lain. Terbentuknya suatu hubungan karena adanya orang lain.[10] Manusia memerlukan orang untuk menciptakan hubungan. Disinilah titik penerimaan itu harus terjadi. Inilah kesempatan untuk kemudian menciptakan hubungan yang saling memperkaya dan diperkaya.

Tuhan dalam bentuk Tritunggal, Tuhan itu bukan sekedar realitas. Bagi Heim, ada banyak cara Allah lakukan dalam hal berhubungan dengan dunia ini. Ada banyak juga Yang Ilahi. Itulah mengapa adanya perbedaan agama karena adanya perbedaan Tuhan.[11]  

Gagasah Heim selalu pada penegasan bahwa umat Kristiani pada faktanya harus berhadapan dengan pluralitas/ diversitas/ keberagaman di dunia ini.[12]

            Ketika melakukan dialog dengan adanya diversitas agama-agama maka langkah ini menurut Heim adalah baik. Baginya diversitas itu tidak bisa ditutup-tutupi bahkan dihapuskan. Heim melihat ini sebagai kesempatan untuk melakukan dialog yang lebih baik dan lebih bermanfaaat. Jika Heim melihat dari sudut pandang para kaum Mutualis yang ingin dialog akan terjadi jika terlebih dahulu meninggalkan keabsolutan yang ada di dalam agama masing-masing supaya bisa saling mendengarkan. Berbeda dengan Heim, justru dengan berbagai ragam jenis absolut tersebut maka ada substansi dan energi untuk berdialog.[13] 

            Trinitas sebagai dasar bagi umat Kristiani, maka satu-satunya yang mampu membangun konsep tersebut adalah Yesus Kristus.[14] Sekali lagi Heim selalu mengatakan bahwa “hubungan” menjadi dasar dalam konsep Tritunggal tersebut. Heim mengatakan bahwa Allah Tritunggal itu bersifat Kristosentris. Karena hanya melalui Yesus Kristuslah, orang Kristiani dapat memahami Allah Tritunggal. Melalui Yesus Kristus juga lah orang Kristiani mampu melihat secara jelas tentang karya Allah yang melalui perbedaan dan partikularitas berhubungan dengan seluruh ciptaan-Nya. Betapa sejak awal ia menciptakan seluruh ciptaan-Nya itu berbeda. Dengan ragam jenis perbedaan itu pun, Allah menjadikan segala sesuatu ciptaan-Nya itu unik. Tetapi tidak sampai disitu saja, Allah sangat mencintai dan mengasihi semua ciptaan-Nya yang berbeda tersebut. [15]

Saya melihat bahwa ungkapan Heim untuk menjelaskan mengenai Trinitas, pada akhirnya juga tetap akan berpusat pada Kristus. Karena Dia adalah yang dijelaskan melakukan aksi nyata dalam menunjukkan karya-karya dalam sejarah. Sesungguhnya Trinitas ini sangat susah dijelaskan, karena itulah Dia menjadi Tuhan. Jika Tuhan mampu dijelaskan maka Dia bukan Tuhan lagi. Namun manusia selalu berupaya untuk sebisa mungkin untuk memahami dan mencari cara menjelaskan dengan bahasanya sendiri. Saya sendiri menggunakan alat yang dirasa mampu untuk memberi pemahaman mengenai Trinitas, yaitu Fidget Spinner. Satu kedudukan, sama, saling berhubungan satu sama lain. Biasanya dibalik kerangka dogmatis dalam kekristenan biasanya tetap diikuti oleh basis filsafat. Berkaitan dengan Trinitas ini juga konsep yang paling lekat adalah “One Jesus, Many Christs.” Bagaimana konsep ini menggambarkan bahwa Yesus Kristus dapat bekerja dan berkarya dipahami dalam banyak agama bukan hanya Kristen saja. Apakah konsep Trinitas cukup jika hanya dilihat/ dijelaskan dan selesai oleh konsep Yesus Kristus sebagai pusat/ Kristosentris?  

            Bagi Heim, keselamatan dipahami sebagai hubungan yang terjalin secara berkesinambungan baik dengan Allah maupun sesama manusia. Heim berpandangan tentang keselamatan, tidak hanya ada di agama Kristen tetapi juga ada di agama lain. Di sini dapat dilihat bahwa Heim telah membuat suatu pemahaman absolutnya sendiri. Di mana perbedaan menjadi hal yang paling mendominasi. Baginya, perbedaan yang nyata yang didalamnya akan terdapat unsur-unsur membingungkan dapat membuat dialog yang lebih nyata, jelas dan bermanfaat. [16] Menurut Heim tentang keselamatan yang majemuk, dalam agama-agama yang berbeda terdapat juga perbedaan dalam hal ini cara, jalan, dan tujuan akhir (surga).[17]

Salvation as Communion

Selain itu juga Heim melihat bahwa keselamatan itu adalah sebagai persekutuan (komuni). Menurutnya jika keselamatan adalah kenyataan yang diyakini, maka mau tidak mau keselamatan tersebut  membebani batas imajinasi dan batas pengetahuan manusia. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa keselamatan adalah hubungan persekutuan dengan Tuhan dan makhluk lain di dalam Kristus. Definisi ini pada kenyataannya mengasumsikan persekutuan sebagai fitur rekursif (paling spesial) dari iman Kristen, sebuah tanda air di beberapa elemen terpisah dalam definisi itu sendiri. Yang dimaksud dengan “Tuhan” adalah Tritunggal, tiga pribadi ilahi dalam persekutuan. Kemudian yang dimaksud dengan “Kristus”, adalah pribadi manusia yang di dalamnya terdapat persekutuan sempurna antara kodrat ilahi dan manusia. Keselamatan mau dijelaskan, sesuai dengan pepatah patristik kuno (sebuah zaman kuno) bahwa Tuhan menjadi manusia agar manusia dapat menjadi ilahi, berbagi dan berpartisipasi oleh rahmat dalam kehidupan ilahi yang dinikmati Kristus secara alami. Keyakinan ini pernah membuat kagum dan terpesona orang-orang Kristen awal. Keyakinan ini membangkitkan kembali imajinasi kita untuk bertanya-tanya pada misteri dan keagungan keselamatan.[18]

Apa maksudnya keselamatan sebagai komuni? Komuni juga adalah komunitas di mana orang lain adalah bagian di dalamnya.

Keselamatan adalah partisipasi dalam kehidupan ilahi tepatnya dalam pengertian hubungan ini yaitu persekutuan. Sangat sulit juga untuk menjelaskan hal semacam ini sehingga Heim juga berpendapat bahwa pribadi ilahi memiliki pertemuan asimetris (ketidakseimbangan) dengan yang lain. Teologi secara tradisional mengakui asimetri hubungan ini, misalnya, dalam perbedaan antara hubungan Roh dengan Firman dan antara Firman dengan Roh. Terakhir, ada dimensi persekutuan dengan hubungan intratrinitarian, di mana kita dapat mengatakan bahwa semua pribadi hadir dalam diri setiap orang, dua orang lain sebagai semacam “kodrat kedua” dalam setiap orang. Partisipasi timbal balik atau persekutuan merupakan fitur integral dari keselamatan Kristen. Perjanjian Baru menekankan hal ini secara khusus, baik dalam kasus hubungan unik Yesus dengan Tuhan maupun dalam kaitannya dengan Tuhan yang mungkin bagi orang percaya melalui persekutuan mereka di dalam Kristus melalui Roh Kudus.[19] Keselamatan itu keadaan yang kompleks, Heim ungkapkan, karena di dalamnya orang terbuka untuk dimensi kehidupan ilahi.[20] Keselamatan pada dasarnya dipandang sebagai sebuah ketiadaan (tidak adanya) dosa.[21]

Keselamatan adalah partisipasi dalam kehidupan ilahi tepatnya dalam pengertian hubungan ketiga ini: persekutuan. Dalam hubungan dimensi ketiga, Heim berpendapat, kita tidak hanya bertemu dan berhubungan dengan orang lain sebagai pribadi, tetapi dalam beberapa hal kita berbagi dalam kehidupan orang itu sendiri. Empati dan keakraban dengan cara orang lain merespons pada akhirnya memunculkan kapasitas perwakilan untuk mengalami respons yang sama dalam diri kita sendiri, semacam sifat kedua. Tanggapan empatik ini muncul dalam diri kita bukan karena reaksi kita sendiri, tetapi di sampingnya, meskipun dalam beberapa kasus garis tersebut mungkin kabur. Heim mengambil contoh dari seorang siswa musisi mengembangkan teknik dan interpretasi tidak hanya dari instruksi eksternal dari seorang guru yang hebat, tetapi lebih banyak lagi dengan menangkap kebiasaan fisik dan perasaan responsif terhadap musik yang menghidupkan guru itu. Ketika pasangan saling melengkapi kalimat satu sama lain, perilaku ini mungkin hanya mencerminkan kemonotonan mendengar cerita yang sama terlalu sering. Tetapi ketika kalimat yang mereka selesaikan adalah kalimat baru, mereka menunjukkan sejauh mana kehidupan batin salah satu pasangan telah menjadi bagian aktif dari kehidupan batin pasangannya. Hubungan cinta atau persahabatan yang akrab biasanya ditandai dengan kualitas empati ini, yang bisa kita sebut komuni.

Lebih lanjut Heim menjelaskan bahwa kontak intim dengan kehidupan orang lain membentuk kehidupan kita sendiri, jadi ada semacam perasaan dan reaksi yang dapat kita katakan dengan tepat bahwa keduanya adalah milik kita sepenuhnya dan bahwa mereka ada di dalam kita hanya berdasarkan hubungan kita dengan orang lain. Bagian dari kepribadian orang lain telah menjadi kodrat kedua bagi kita. Kita tidak begitu tahu apa yang akan dilakukan teman kita dalam situasi tertentu, karena kita secara perwakilan mensimulasikan dalam beberapa ukuran dinamika internal yang mungkin teman kita alami saat ia menghadapi situasi itu. Ini bisa terjadi bahkan ketika prosesnya sangat imajinatif, ketika tanggapan “independen” kita sendiri akan sangat berbeda. Melalui hubungan seperti itu dengan orang lain, dan melalui partisipasi dalam kehidupan internal orang tersebut, kita menemukan diri kita berubah. Partisipasi ini menjadi bagian dari siapa diri kita, tanpa perlu kita menjadi orang itu atau berhenti menjadi diri kita yang khas. Kata “persekutuan” kadang-kadang digunakan untuk dua dimensi lain dari hubungan manusia,  “persekutuan” biologi yang tidak disadari atau “persekutuan” dari keinginan dan pikiran yang bersamaan. Tapi yang dimaksud adalah merujuk secara khusus pada dimensi ketiga ini.[22]

Keselamatan sebagai komuni, di dalamnya sudah ada komunitas (pasti adanya perberbedaan) dan penerimaan juga. Seolah olah sebagai jalan masuk, di dalam teologi itu sendiri sudah ada tindakan penerimaan.

Mengacu pada sebuah jurnal yang berjudul Many True Religions, And Each An Only Way, Heim menunjukkan pemikiran dari para teolog yang mempelajari agama telah lama menekankan pentingnya budaya dan sejarah keragaman agama yang konkret. Para teolog Kristen yang mempertimbangkan hasil akhir dari praktik keagamaan, sebagian besar ragu-ragu untuk menyatakan bahwa keragaman dapat memiliki efek yang dapat memecah belah. Mereka menegaskan berbagai tradisi agama sebagai kebenaran dalam arti yang jauh lebih konkret daripada yang dimungkinkan oleh pilihan paling liberal atau paling konservatif. Praktik dan keyakinan agama yang berbeda pada kenyataannya bertujuan dan merupakan kondisi yang berbeda dari pemenuhan manusia, maka proporsi yang sangat tinggi dari apa yang ditegaskan oleh setiap tradisi mungkin benar dan valid, dalam banyak istilah yang diklaim tradisi. Hal ini terjadi bahkan jika masih terdapat konflik yang dalam antara agama-agama mengenai prioritas, latar belakang kepercayaan, dan realitas metafisik tertinggi. Dua tujuan agama dapat mewakili dua keadaan manusia yang sama sekali tidak mungkin bagi satu orang untuk menghuni pada saat yang sama. Tetapi tidak ada kontradiksi dalam dua orang yang berbeda yang masing-masing secara bersamaan mencapai salah satu dari dua tujuan tersebut. Penganut tradisi agama yang berbeda mungkin dapat mengenali realitas dari kedua tujuan tersebut, meskipun mereka tidak dapat menyetujui penjelasan tentang bagaimana dan mengapa kedua tujuan itu ada atau tentang prioritas mereka harus diberikan. Pada istilah-istilah ini, keselamatan (yang menjadi tujuan orang Kristiani) mungkin tidak hanya berbeda dari kondisi yang secara umum dianggap jahat atau destruktif oleh manusia, tetapi dari kondisi yang dianggap paling diinginkan oleh tradisi agama tertentu dan paling utama.

Orang Kristen percaya bahwa Tuhan adalah pencipta dan pemenuh alam semesta. Mereka percaya ini benar-benar cara dunia ini. Umat ​​Buddha juga percaya ada cara dunia ini (bahkan jika mereka mempertahankan cara tertentu itu membuat istilah metafisik sendiri bermasalah) dan tidak dapat disangkal berbeda dari keyakinan Kristen dalam hal-hal penting. Ada tingkat dasar di mana benar bahwa yang bertentangan tidak mungkin benar. Jika ada hal-hal seperti pemenuhan agama Buddha dan Kristen yang berbeda, maka salah satu dari tiga situasi harus mengikuti. Pada akhirnya, pemenuhan agama Buddha dan Kristen seperti yang ada tertanam di alam semesta yang lebih sesuai dengan keyakinan Kristen daripada keyakinan Buddha. Pemenuhan religius Kristen dan Budha seperti yang ada tertanam di alam semesta yang lebih mendekati keyakinan Buddhis daripada keyakinan Kristen. Atau keduanya tertanam dalam alam semesta yang paling sesuai dengan beberapa kisah lain. Tetapi ada pengertian lain di mana apa yang bertentangan juga bisa benar. Berdasarkan pandangan mereka tentang cara dunia ini, Buddha dan Kristen masing-masing mencari tujuan keagamaan tertentu. Kontras di ujung-ujung ini mungkin tidak hanya tampak tetapi cukup nyata. Setiap tujuan mungkin bisa dicapai. Tujuan keagamaan itu sendiri mungkin masih menjadi alternatif nyata.[23]     

Heim melihat di dalam sebuah perbedaan itu terdapat nilai. Sebagai yang percaya kepada Trinitas maka ia juga percaya bahwa Allah memakai berbagai sistem yang berbeda untuk menyampaikan wahyu dan menyelamatkan. Heim mengatakan bahwa ia sangat menghindari gambaran-gambaran agama lain yang menganggap bahwa Kristuslah yang menyelamatkan dan segala tujuan akhir itu melekat di dalam Kristus. Lebih lanjut ia memberi penegasan bahwa Yesus hanyalah alasan konstitutif yang menyelamatkan bagi orang Kristiani. Heim sangat terbuka jika ada kemungkinan berbagai mediator yang bisa dijadikan alasan keselamatan yang berbeda ada di agama-agama lain.[24]

Heim tidak membayangkan bahwa hanya ada satu konsep keselamatan. Ada banyak keselamatan di agama-agama lainya. Tapi saya merasa bahwa Heim berhenti pada penerimaan yang ia maksudkan menjadi terbuka akan kemungkinan adanya kebenaran di agama lain. Menurut saya,  Agama itu tidak ada yang sempurna. Maka ia harus mau dikritik. Gagasan teologi dari Heim perlu untuk dicek terus menerus.

            Bagi saya konsep penerimaan atau model penerimaan ini juga tetap harus dicek kembali karena dalam penerimaan tidak ditunjukkan adanya konsep “memberi/ pemberian”. Ataukah sudah ada sikap memberi tersebut jika memperhatikan kembali pendapat Heim. Seperti yang diungkapkannya bahwa ada “substansi absolut” dari apa yang kita yakini adalah semacam modal/ energi untuk berdialog[25] , apakah ini menandakan ada hal yang diberi kepada yang lain?

Gagasan yang ditunjukkan oleh Mark Heim adalah semua agama punya sesuatu yang unik untuk diakui. Di mana hal-hal baik dapat digali dan memperkaya diri dalam mengenal agama sendiri. Setidaknya teori dari Mark Heim benar-benar diwujudnyatakan dalam terbentuknya suatu komunitas lintas iman. Dialog yang kaya dengan keberagaman membuat hubungan satu sama lain itu menjadi cair.   

3. Konsep Penerimaan dan Keselamatan dari YIPC

Youth Interfaith Peacemaker Community (YIPC) adalah sebuah komunitas lintas iman, lebih tepatnya penggerak perdamaian lintas iman. Komunitas ini tentu saja belajar tentang nilai-nilai perdamaian dan menyebarkannya pada sesama. Selain itu juga melakukan dialog lintas iman, YIPC berbagi semua hal terkait dengan dalam berita-berita di laman khusus mereka. [26]

Youth Interfaith Peacemaker Community (YIPC), pengalaman pertama kali mengikuti komunitas lintas iman adalah mengenal lingkungan komunitas itu sendiri. YIPC tentu saja orang-orang di dalamnya terdiri dari anak-anak muda dari berbagai jenis suku, bahasa, jenis kulit, usia, universitas dan pekerjaan. Komunitas ini melakukan kegiatan bertemu seminggu sekali untuk kegiatan kemanusiaan, diselingi dengan regular meeting dan ada jadwal Scriptural Reasoning yang akan belajar mengenai konsep Tuhan dari Al-Quran dan Kitab Suci. Selain membaca bahasa asli, akan ada reflektif yang akan sama-sama diterapkan dalam kelanjutan hidup sehari-hari. Di dalam pertemuan ini tentu saja terjadi dialog karena adanya perbedaan agama itu tadi, dalam hal ini ada saling memperkaya satu sama lain dari apa yang telah dibaca. Jika ada pemikiran-pemikiran bahwa YIPC hanya terdiri dari dua agama saja dan menjadi sangat eksklusif. Tentu ada dasar bahwa YIPC terbentuk bukan melihat dari segi agama melainkan kesediaan dalam mewujudkan perdamaian. Di dalamnya, yang Atheis, yang menganut paham Abrahamik, yang beragama Hindu, Budha, Katolik,  bahkan mantan ISIS ada dan tergabung dalam komunitas ini.

YIPC terbentuk karena sejak tahun 2012 dan setiap tahun akan membuka pendaftaran untuk angkatan-angkatan baru dan akan diberi pengarahan terlebih dahulu. Jauh sebelum pandemi tinggal menetap masih belum pindah dari Indonesia dan juga tersebar di Yogyakarta, YIPC mengadakan kegiatan Peace Camp. Kegiatan Peace Camp dilakukan setahun sekali di mana anggota-anggota baru yang mendaftar dan terbentuk dalam satu angkatan akan saling berkenalan dan mengenal diri masing-masing terlebih dahulu. Langkah-langkah selanjutnya adalah mengikuti regular meeting dan semua proyek dari YIPC. Komunitas YIPC juga memiliki pengurus inti yang melalui mereka YIPC bisa tersebar di berbagai daerah sekarang ini.

Selama ikut dalam komunitas ini saya ikut ambil bagian dalam kunjungan dan belajar bersama dengan komunitas waria, kaum disabilitas, nonton film dan berdiskusi dengan banyak topik, berbagi pengalaman dengan orang-orang yang menjadi bagian dari ISIS. Rekan-rekan yang lain yang telah lama menjadi bagian dari YIPC telah banyak melakukan aksi kemanusiaan/ sosial dan menjadi fasilitator dalam berbagai tema atau topik dialog lintas iman di mana-mana.

Berikut ini ungkapan rekan-rekan YIPC mengenai keselamatan:

1.    William (Kristen Katolik): “Wow, pertanyaannya keren sumpah. Kalo secara singkat sih, keselamatan menurut aku adalah kepenuhan damai. Entah itu surga, entah itu nirvana, apapun namanya, tapi itu kayak bener-bener damai sejahtera yang penuh.”

2.    Salwa (Islam): “Tujuan akhir setelah kematian ya pasti surga dan neraka kan? Kalau selamat ya masuk surga, kalo engga ya neraka. Tapi kurasa ga ada yang bisa menjamin untuk itu. Bagiku pokok terpenting tetap berharap mendapat ridho dari Allah dan Rosul-Nya.

3.    Ahmad (Islam): “Islam jarang ngomong konsep kesalamatan secara eksplisit.

4.    Cicy (Kristen Protestan): Menurut aku keselamatan itu hidup ya, sudah terdoktrin sih, ada                                                                                                                                                                                    dua sisi, hidup yang sekarang dan hidup yang akan datang. Soalnya, aku rasa kita ada di dunia ini aja udah ga masuk akal aja gitu, kayak ajaib aja. Jadi rasanya ada aja hal yang dirasa mustahil lain gitu termasuk hidup yang akan datang.

            Teori Heim mengenai penenerimaan dirasa telah memberi langkah nyata bagi komunitas interfaith. Melalui teori Mark Heim, memahami keberagaman dapat dimulai dari niat untuk benar-benar mewujudkan damai dan kerukunan, keadilan dan toleransi dalam suatu perkumpulan lintas iman. Masyarakat Indonesia sesungguhnya sangat punya kesadaran untuk menciptakan damai dan rasa aman antar umat beragama. Namun seringkali ada saja pemicu-pemicu yang agak sulit diintervensi karena biasanya mulai dari oknum yang membentuk kelompok lalu kemudian  memprovokasi banyak orang.

Telah banyak suatu perkumpulan atau komunitas yang terbentuk untuk mewujudkan sikap penerimaan, rasa aman dan damai tersebut. Salah satunya adalah YIPC (Youth Interfaith Peacemaker Community). Pada awalnya dialog lintas iman ini lebih banyak difasilitasi oleh pemerintah dan dihadiri para pemuka agama. Sangat jarang terjadi dialog di kalangan umat (akar rumput). Mahasiswa dikenal sebagai agent of change sudah seharusnya mengambil bagian dalam usaha perdamaian dan dialog antar umat beragama sehingga terbangun generasi damai. Dengan dasar inilah YIPC Indonesia kemudian dikembangkan. Terbentuknya YIPC berawal dari dua mahasiswa ICRS Yogyakarta (Andreas Jonathan dan Ayi Yunus Rusyana) mengadakan  Young Peacemaker Training di Gedung Pascasarjana UGM Yogyakarta pada 9-12 Juli 2012. Itu berarti YIPC di Yogyakarta baru berusia delapan tahun. Dimulai dari Yogyakarta kemudian terbentuklah komunitas YIPC di berbagai kota besar di Indonesia yaitu Medan, Jakarta, Bandung, Surabaya, Malang, Solo, Salatiga. Saat ini sedang merintis YIPC Borneo dan Ambon.[27]

Ada empat nilai yang mau ditanamkan oleh komunitas YIPC berikut ini.

a.    Berdamai kepada Allah

b.    Berdamai kepada diri sendiri

c.    Berdamai kepada sesama

d.   Berdamai kepada lingkungan [28]

Persoalan Teologi Agama-agama yang akan terus menjadi topik salah duanya adalah intoleransi dan tentang perjuangan HAM. Praktik agama lain dianggap mengganggu, tidak logis, dogmatika, tradisi yang berbeda seringkali menjadi penyebab terjadinya konflik antar umat agama di Indonesia. Begitu juga dengan kasus perjuangan hak-hak yang terus-menerus diperdebatkan, Undang-undang yang dirasa tidak masuk akal, berbagai petisi muncul di sana sini. Konflik-konflik yang terjadi ini tentu saja menimbulkan keresahan dan dianggap sebagai masalah bersama. Dengan segala upaya YIPC hadir untuk menciptakan sedikit atmosfir kedamaian.

Selama bersama dengan komunitas lintas iman, kegiatan tidak berhenti sampai dialog saja. Ada aksi nyata dari dialog-dialog yang telah dilakukan. Wujud cinta kasih kepada keberagaman suku, budaya, bahasa, dan perbedaan umat beragama itu benar-benar dilakukan. Benar-benar melaksanakan dan menyebarkan aksi damai yang dipelajari dari Kitab Suci maupun Al-Quran dan juga kitab dari agama-agama lain.

Perbandingan Konsep Penerimaan dan Keselamatan antara Heim dan YIPC

Memang dari sudut pandang Heim tidak bicara di konteks mana penerimaan itu harus diaktualisasikan. YIPC bisa dikatakan berusaha untuk menyesuaikan diri dengan konteks Indonesia yang  sangat rentan dengan rasis, YIPC mencoba menjembatani isu-isu dan rasis tersebut. Proses penerimaan telah diaktuliasasikan oleh YIPC, bahkan melampaui itu, ada aksi yang semakin memperkenalkan wujud cinta damai dengan agama-agama lain. Heim memang bicara mengenai hubungan, tetapi cara untuk mewujudkan hubungan tersebut tidak dijelaskan. YIPC telah mampu untuk tidak berdiri pada teori dalam menciptakan hubungan. Selain karena keterbukaan untuk menerima dan siap dikritik dengan tabah, hubungan antar umat beragama, sesama, diversitas itu kini terjalin secara fleksibel.

Heim bicara keselamatan adalah hubungan, komuni (adanya komunitas), menerima perbedaan. Sedangkan, YIPC agak enggan bicara keselamatan secara eksplisit, tapi menanggapi bahwa keselamatan lebih dekat dengan makna kehidupan dan kedamaian.

Penutup

Menerima bukan berarti semua hal mengenai keberagaman ataupun konsep kebenaran di agama-agama lain itu ditelan mentah-mentah. Harus ada hal yang disaring dan jadi pelajaran untuk kekayaan dalam keyakinan kita. Juga mengenai intoleransi, yang seringkali ini terjadi di tengah keberagamana umat beragama. Sulit untuk menciptakan rasa aman, damai dan rasa toleran terhadap sesama. Mengapa sulit untuk mencintai sesama kita? Intoleransi itu harus dilawan. Sebagaimana adanya kita sebagai individu dengan berbagai latar belakang yang berbeda, kita mampu mendedikasikan diri untuk mewujudkan damai dan saling menghormati. Indonesia dengan ragam kemajemukannya mesti punya cara untuk merespon berbagai perbedaan. Sesungguhnya masyarakat Indonesia telah lama hidup berdampingan dengan yang namanya perbedaan. Melalui perbedaan itu pula seharusnya masyarakat mampu menciptakan jalan untuk berteologi agama-agama. Talenta dan kemampuan yang ada pada diri manusia dapat menjadi alat menunjukkan rasa cinta damai dan kerukunan dan atmosfir yang menenangkan tercipta.

Bersyukurlah karena bisa bertemu dengan penyintas-penyintas di luar sana. Banyak bermain, mengutip Johan Huizinga, “manusia adalah homo ludens”,[29] mahluk yang bermain, kaitannya juga dengan berteologi agama-agama, bermain dalam artian mencari hal-hal yang memperkaya pengalaman dalam menjadi terbuka dan toleran dalam kemajemukan dan keberagaman di Indonesia ini. Hal ini juga secara tidak langsung akan meninggikan martabat sebagai insan yang hidup berdampingan dengan keberagaman itu tadi. Mengutip Soe Hok Gie yang mengatakan, “dunia itu sejauh kaki mu melangkah”,[30] jika manusia hanya berada di lingkungannya yang itu-itu saja, maka dunia dan pengalaman manusia hanya sebatas itu saja. Memang sebagai manusia sangatlah terbatas tetapi setidaknya berilah yang bisa dilakukan sebagai wujud nyata cinta Indonesia yaitu memiliki rasa toleransi (terbuka untuk belajar kebaikan, belajar menghargai orang lain, menjadi pembawa damai).

 

Daftar Pustaka

Disputandi, Ars. Many True Religions And Each An Only Way. Volume 3. 2003.

Heim, S. Mark. Is Christ The Only Way Christian Faith in a Pluralistic World. USA:Judson Press. 1985.

Heim, S. Mark. Salvation as Communion. Theology Today. 2004.

Heim, S. Mark. The Depth of The Riches: Trinity and Religious Ends. Modern Theology. 2001.

Knitter, Paul F. Pengantar Teologi Agama-agama. DIY: PT. Kanisius. 2014. 

Mangunwijaya & Johan Huizinga, Homo Ludens.

https://divinity.yale.edu/faculty-and-research/yds-faculty/stephen-mark-heim diunduh pada 11 Desember 2020.

 

https://yipci.org/#about  diunduh pada 11 Desember 2020.

 

https://komunita.id/2016/02/09/young-interfaith-peacemaker-community-yipc-penggerak-perdamaian-lintas-agama/ diunduh pada 12 Desember 2020.

 

 

 



[1] Paul F. Knitter, Pengantar Teologi Agama-agama, Yogyakarta: PT. Kanisius, 2014,  227.

[2] https://divinity.yale.edu/faculty-and-research/yds-faculty/stephen-mark-heim diunduh pada 11 Desember 2020.                                        

[4] S. Mark Heim, Is Christ The Only Way Christian Faith in a Pluralistic World, USA:Judson Press, 1985, 129.

[5] Paul F. Knitter, Pengantar Teologi Agama-agama,... 227.

[6] Paul F. Knitter, Pengantar Teologi Agama-agama,... 205.

[7] Paul F. Knitter, Pengantar Teologi Agama-agama,... 233.

[8] Paul F. Knitter, Pengantar Teologi Agama-agama,... 233-234.

[9] Paul F. Knitter, Pengantar Teologi Agama-agama,... 231.

[10] Paul F. Knitter, Pengantar Teologi Agama-agama,... 230.

[11] Paul F. Knitter, Pengantar Teologi Agama-agama,... 229-230.

[12] S. Mark Heim, Is Christ The Only Way Christian Faith in a Pluralistic World, USA:Judson Press, 1985, 6.

[13] Paul F. Knitter, Pengantar Teologi Agama-agama,... 233. 

[14] Knitter, 237.

[15] Knitter, 237-238.

[16] Knitter, 270.

[17] Knitter, 271. 

[18] S. Mark Heim, Salvation as Communion, Theology Today, 2004, 2.

[19] S. Mark Heim, Salvation as Communion,  4.

[20] S. Mark Heim, The Depth of The Riches, 29. 

[21] Heim, “Salvation as Communion.” 1.

[22] Heim.Salvation as Communion”, 3-4.

[23] Ars Disputandi, Many True Religions, And Each An Only Way, Volume 3 (2003), 6.

[24] Paul F. Knitter, Pengantar Teologi Agama-agama, 239.

[25] Knitter, Pengantar Teologi Agama-agama, 233.

[27] https://yipci.org/#about  diunduh pada 11 Desember 2020.

[28] https://yipci.org/#about  diunduh pada 11 Desember 2020.

[29] Mangunwijaya & Johan Huizinga, Homo Ludens, 1.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lirik Lagu Dayak Kalimantan Tengah Ciptaan Jefri E. Sindem Tamparan Hasupa

Katika ku munduk kabuat Tabayang senyum andi je mamikat Kai..kai tumun tuh angat Handau hamalem santar taingat Curahku akam lewat lagu tuh Mangesah tamparam ku supa dengam mu Dahang tujuan kakam hamauh Salamat mahining duhai sayang ku Tagal haranan cinta ku dengam Angat ku yakin cinta baya akam Munduk mendengku saraba sala Pandangan pertama ku jatuh cinta Aduh akai nah jata Hatalla Taguncang angat ku je jantung jiwa Metuh tamparan ku sundau dengam mu Bisikan cinta je ingkeme ku Angat perasaan ku je tutu-tutu Aku te yakin ikau jodohku

Riwut Karuhei

Universitas Kristen Duta Wacana Nama/ NIM                             : Winda Patrika Embun Sari/ 50190056 Program Studi/ Semester       : Magister Teologi/ Gasal 2019-2020 Mata Kuliah/ Tugas               : Teologi, Spiritualitas dan Seni/ Makalah Akhir (REVISI) Spiritualitas dalam Lagu Karungut Dayak Kalimantan Tengah: “ Riwut Karuhei ” (Angin yang Membiuskan) Pendahuluan             Ada beragam cara bagi seseorang untuk mengekspresikan perasaannya. Salah satunya adalah melalui lagu. Lirik sebuah lagu kadangkala bersumber dari pengalaman pribadi. Hal ini salah satunya saya lihat dalam lagu Riwut Karuhei. Lagu yang berasal dari Kalimantan Tengah ini menarik untuk diperhatikan lebih d...

Hedonisme dalam 2 Samuel 12:1-25

Universitas Kristen Duta Wacana Nama/ NIM                             : Winda Patrika Embun Sari/ 50190056 Program Studi/ Semester       : Magister Teologi/ Gasal 2019-2020 Mata Kuliah/ Tugas               : Tafsir Kontekstual Perjanjian Lama/ Makalah Akhir   Hedonisme dalam 2 Samuel 12:1-25 1.1. Pendahuluan a.     Pengantar Dewasa ini, setiap orang punya kecenderungan untuk hidup konsumtif. Gaya hidup konsumtif lazimnya disebut dengan hedonisme. Kamus Besar Bahasa Indonesia (selanjutnya KBBI) mendefinisikan hedonisme sebagai “ pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup”. Umumnya hedonisme dipahami sebagai satu hal yang negatif. Tapi pada dasarnya hedonisme ...