Dekolonisasi
Keindahan
Oleh
Winda Patrika Embun Sari, M.Fil
Apa
itu keindahan? Manusia pada dasarnya akan mengemukakan bahwa apa yang dilihat
oleh indera atau sense yang melekat pada dirinya. Konsep pemahaman
setiap orang terhadap kesenian ataupun yang mengandung nilai-nilai estetika
hanya berhenti pada konsep yang dilihat atau didengar saja. Soal perenungan
terhadap kesenian tersebut belum tentu membawa setiap penikmat seni memiliki
suatu kesadaran yang jernih soal ‘keindahan’ atau menemukan nilai-nilai.
Pengalaman-pengalaman
estetis dapat ditemukan di mana saja, pada apa saja. Tidak melulu soal apa yang
tampak atau dapat dilihat di lukisan, desain arsitektur yang megah, music yang
menghanyutkan, bahasa yang terstruktur atau fenomena alam. Pengalaman-pengalaman
estetik justru dapat hadir dalam hal yang sangat sederhana, seperti kenangan
yang tampak sayu.
Menurut
Socrates ‘Keindahan adalah aku tidak tahu apa.’ Tetapi realitas dewasa
ini membawa pergeseran paradigma soal keindahan. Tidak sedikit ditemukan di era
pasca modernitas ini, seniman tampak gagal memberi wahana atas karya seni
mereka. Mengapa? Karena kesempurnaan dalam model adalah tujuan akhir mereka.
Bukan lagi nilai-nilai estetik yang harus ditemukan sendiri oleh penikmat seni.
Saat mereka dapat mencapai kesempurnaan tersebut mereka akan menjadi angkuh dan
sombong. Mereka akan bicara mengenai buku-buku yang mereka baca. Betapa mereka
membenci ide-ide yang membuang waktu. Bukankah seharusnya keindahan hadir
secara abstrak? Kini kreativitas tersebut tampak seperti hal yang sangat
realistis. Para pencipta keindahan dalam bidang arsitektur misalnya,
“…Keinginan
untuk kembali, menjadi lebih baru dan semakin kontekstual,dengan memperlihatkan
identitas lokal maupun dengan
mempertimbangkan potensi lingkungan oleh
para arsitek ditanggapi sebagai sebuah keniscayaan.”[1]
Konsep
pemikiran yang dimiliki oleh yang membidangi arsitektur cukup kompleks, bagi
mereka, “Less is more but more is not enough”. Maksudnya adalah karya
ciptaan atau desain hadir dengan sangat kreatif, tetapi tidak akan pernah
merasa cukup. Mereka adalah orang-orang yang berjalan beriringan dengan
modernitas sampai pada masa pasca modernitas. Meskipun sebelumnya
ornament-ornamen yang terdapat pada bangunan classic[2] tetap dihadirkan tetapi
dihadirkan pula esensi minimalist pada fisik untuk pemenuhan secara sempurna
dalam teori yang mereka miliki. Mereka akan mengkolaborasikan estetika yang ada
pada masa sebelum modernitas, berlanjut sampai kepada masa postmodernitas. Perkembangan
karya yang dihasilkan adalah desain-desain tradisional dan desain modern dengan
segala perkembangan material bangunannya.
Penekanan
yang disampaikan dalam tulisan ini adalah, paradigma berpikir dari apa yang
diciptakan yang dianggap sebagai keindahan dengan sang penikmat keindahan.
Tidak terjadi intimasi yang kuat karena adanya kesenjangan dan kerenggangan di
sana. Pencipta keindahan sangat realistic, penikmat keindahan menginginkan
penemuan nilai-nilai keindahan yang natural.
Cara
pandang soal waktu pun bertolak belakang dengan orang-orang yang mencari
keindahan pada waktu. Bagi mereka, waktu harus dihargai. Menghabiskan waktu
hanya untuk berdialog? Tidak ada aksi? Semuanya adalah omong kosong.
Menyelesaikan masalah yang bukan merupakan ranah atau konteks mereka, jangan pernah
berharap mereka akan menaruh perhatian atau peduli. Orang-orang ini terlalu
hidup dengan rumit. Tetapi bagi mereka, itulah kebenaran, itulah nilai yang
harus dihidupi.
Omong kosong!
O Voltaire! O humanity! O nonsense! There
is something to “truth,” to
the search for truth; and when a human
being is too humane about it –
when “il ne cherche le vrai que pour faire
le bien” – I bet he won’t find
anything!
Mengapa kemudian manusia harus mengoreksi dirinya?
Pendapat-pendapat manusia tentang dirinya dan isi pikirannya tidak sama. Ada
yang berpendapat bahwa pikiran menjadikan orang tersebut dirinya, tetapi ada
pula sebaliknya, pikiran bukanlah dirinya.
Apakah yang dimaksud dengan hakikat pikiran? James
Allan mengemukakan bahwa pikiran ibarat kebun yang berguna dan menghasilkan.
Pikiran dalam menilai keindahan bukankah hasil dari
kebun yang dirawat dengan baik?
Segala sesuatu yang indah tentunya menghasilkan
kebaikan. Tetapi bagaimana jika keindahan yang ditawarkan oleh para pencipta
keindahan bukan lagi keindahan bagi para penikmat?
Komentar
Posting Komentar